Gemuruh sakit di dada mulai menjalar. Semakin deras air keluar dari pelupuk matanya. Jia Li ingin tidak percaya dengan pendengaran barusan, akan tetapi semakin lama di depan kamar Mei Yin, semakin jelas bahwa Mei Yin sama sekali tidak menganggapnya ada.
Jia Li mencoba mengatur pernapasan pelan. Suara Mei Yin dan Jia Lian masih terus berlangsung.
"Memang Lian'er melihat ada kemiripan wajah ibu atau ayah di wajah Jia Li?" Mei Yin menaikkan sebelah alis sambil bertanya. Dirinya kembali bertutur, "hmph. Sama sekali tidak ada. Itu sudah jelas menandakan Jia Li bukan anak ibu maupun ayah."
Jia Lian tersenyum senang mendengar perkataan barusan. Dirinya tertawa manis dan mengusap-usap telapak tangan Mei Yin ke pipi.
"Itu benar, ibu. Kalian sama sekali tidak mirip."
Mei Yin tertawa kecil melihat tingkah lucu putri di depannya ini.
"Lian'er, bidadari ibu, kau semakin hari semakin cantik, ya."
Mei Yin mengusap pipi Jia Lian dengan gemas, walaupun usia Jia Lian baru menginjak 7 tahun, tetapi wajahnya sudah menampakkan kecantikan yang luar biasa. Kecantikan itu berasal dari Mei Yin yang juga sangat cantik ditambah ketampanan sang ayah, kecantikan Jia Lian semakin bertambah.
"Tentu saja, aku 'kan anak ibu."
Jia Lian tersenyum, dirinya memeluk Mei Yin dengan erat, begitupun dengan sang ibu yang memeluknya.
Entah dua orang itu merasakan kehadiran orang lain atau tidak. Mei Yin seakan hanya memiliki satu putri, padahal di bibir pintu putri pertamanya tengah memandang mereka dibalik pintu kamar yang sedikit terbuka.
Jia Li segera mengusap air mata menggunakan lengan, tanpa pikir panjang berlari keluar rumah dengan cepat, ttidak peduli ada murid yang ditabraknya begitu saja. Selama ini, Jia Li berpikir bahwa Ibunya menyayanginya sama seperti Jia Lian. Namun semua itu salah. Semua pemikiran itu hancur berkeping-keping malam itu. Kepingan harapan yang mungkin tidak akan pernah bisa disatukan kembali.
Jia Li terus berlari dengan kencang, tangannya terkepal kuat. Hatinya kembali terluka dan semakin parah mengingat ucapan Mei Yin. Selama ini dia beranggapan bahwa semua hinaan yang didapatnya akan hilang seiring berjalannya waktu, akan tetapi dugaannya itu salah. Selama Ibu dan Ayahnya yang walaupun jarang berbicara padanya, Jia Li tetap menjadikan hinaan itu seperti dukungan dari orang-orang. Namun sekarang dia tak memiliki orang yang mau menerima dirinya. Sangat menyakitkan! Dia terlalu polos dan berpikir naif di dunia kejam ini.
Air mata Jia Li terus keluar, bibirnya sulit kelu hanya untuk mengeluarkan sepatah kata. Dia berlari digelapnya malam. Ketika dia melewati gapura Sekte Awan Petir, dirinya merasa dadanya sangat sakit. Beruntung Jia Li tak bertemu murid Sekte Awan Petir saat melarikan diri dari sekte.
Angin malam begitu dingin, awan tiba-tiba saja muncul dan siap menyemburkan air. Hawa yang begitu aneh mulai terasa disekeliling kota Awan Ungu, bahkan beberapa warga segera masuk ke rumah dengan mengunci pintu dan jendela. Perasaan yang pernah mereka rasakan ini pernah terjadi sekitar 8 tahun lalu. Sebuah bencana akan terjadi yang akan menewaskan banyak orang. Bagi pendekar yang mengetahui tentang awan yang tiba-tiba muncul dengan warna ungu ini, mereka akan segera pergi mencari tempat yang aman dari derasnya hujan yang akan datang. Mereka menyebut peristiwa ini dengan,
BADAI HUJAN PENGHILANG NYAWA
Di kota Awan Ungu bersebelahan dengan Hutan Terlarang yang konon siapa pun yang masuk ke dalamnya disaat peristiwa Badai Hujan Penghilangan Nyawa, tidak akan selamat. Tubuh mereka akan lenyap begitu saja bak ditelan bumi. Kecuali orang itu mendapat keberuntungan.
Awan Ungu tiba-tiba saja menyelimuti Hutan Terlarang, suasana mencekam mulai keluar dari sana. Kota Awan Ungu beruntung Awan Ungu hanya berada di atas.
Suasana mencekam itu membuat Tua Bangka yang tengah ditodong pedang hanya diam di gang pasar kota Awan Ungu. Perasaannya benar-benar tidak enak. Beberapa kali dirinya mengatakan akan terjadi suatu bahaya. Namun Pendekar Aliran Hitam yang merasa Tua Bangka di depannya membual hanya tertawa bersama kedua temannya.
"Kau ingin mengelabui kami, Tua Bangka?"
Dai Yu menyeringai, hanya dalam satu tebasan, kepala Tua Bangka di depannya akan menggelinding. Namun detik berikutnya temannya merasakan hal yang tidak wajar.
"Wah, ada awan ungu! Lihat, sangat jarang ada awan berwarna ungu!" Tao Ping menatap langit dengan kagum. Dirinya baru melihat awan yang berwarna ungu selama hidupnya ini.
Hu Jing menaikkan sebelah alisnya, dirinya seperti pernah mendengar cerita mengenai Awan Ungu. Sesaat dia terdiam sebelum tubuhnya gemetar.
"Dai Yu, sepertinya kita harus cepat kembali ke Sekte."
Ucapan Hu Jing membuat Dai Yu menyerngit heran. Apalagi mendengar perkataan Tao Ping membuatnya menggelengkan kepala. Memangnya ada ada dengan Awan Ungu?!
"Apa maksudmu? Kita akan membunuh Tua Bangka ini!"
Dai Yu berdecak kesal, dirinya menatap Tua Bangka di depannya dengan tajam. Tua Bangka itu menelan ludah susah payah, tubuhnya telah terluka, jika dirinya melawan kemudian tewas ditempat ini, lalu bagaimana dengan tanggung jawabnya di tempat lain?
"Sebelum kau membunuhnya, sebaiknya kau lihat langit itu."
Hu Jing menunjuk di atasnya dengan wajah yang mulai memucat. Mereka harus segera pergi dari kota Awan Ungu, jika tidak sesuatu yang buruk akan terjadi.
Di tempat Hutan Terlarang, baru saja seorang bocah masuk tanpa mempedulikan Awan Ungu yang mengelilingi hutan. Dia terus meneteskan air mata tanpa mengeluarkan suara. Hatinya benar-benar hancur, bahkan mungkin akan sulit disatukan kembali.
Dia berlari kecang sampai tersandung akar besar, membuat tubuhnya terjatuh. Suara petir bergemuruh di atas, bocah itu bahkan tak mendengarkannya sebab terlalu larut dalam suasana hatinya.
"K-knapa?! Kenapa aku memiliki kutukan ini?!"
Bersamaan dengan kalimat Jia Li yang baru saja keluar, petir mulai menyambar di atasnya. Angin mulai berhembus kencang.
"Apa jika aku tidak memiliki kutukan, semua orang akan mencintaiku? Aku akan mendapat kasih sayang keluarga? Tidak dikucilkan dan memiliki kehidupan normal?!"
Jia Li berteriak kencang di tengah-tengah hutan. Jia Li memukul tanah dengan keras sampai membuat retakan tanpa disadari. Dia terus menangis. Perkataan Ibunya, Jia Lian, Bao Yu, dan yang lainnya terngiang-ngiang di kepala sampai membuat Jia Li merasa tak layak hidup. Dia tak menyalahkan Tuhan untuk segalanya, hanya saja Jia Li merasa dirinya yang salah dalam segala hal.
Jia Li berdiri dengan cepat menarik pedang dari sarungnya dan kemudian menebas angin untuk menghilangkan rasa sakit di dada. Angin kejut yang dihasilkan membuat beberapa pohon tumbang. Bahkan Jia Li berteriak keras berharap dengan begitu seluruh sakitnya akan hilang. Anak perempuan itu menebas pohon secara liar dan penuh dengan tenaga dalam. Bahkan saat ada Siluman Beruang Merah yang lewat dengan cepat Jia Li menyerang beruang itu secara brutal. Entah sadar atau tidak yang dilakukan Jia Li benar-benar diluar dugaannya sendiri.
Arrrghhhh
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments