Tepat jam dua siang, Risa menjemput Kian di rumah kontrakannya. Mobil citycar keluaran dalam negeri berwarna putih itu berhenti cukup lama karena Kian menggantikan Risa menyetir.
"Di mana makam orang tuamu?" tanya Kian saat mobil sudah melaju jauh dari kontrakannya.
"Nanti aku tunjukin deh jalannya. Kita terus lurus aja sampe tiba di underpass!"
"Oke," sahut Kian seraya tetap fokus pada kemudi.
Saat masih SMA dulu, Kian pernah belajar menyetir mobil pick up milik Bosnya semasa ia bekerja paruh waktu. Kian bekerja sebagai asisten juru foto dan video di sebuah Studio yang lumayan besar. Dari sanalah ia belajar teknik foto dan video yang akhirnya ia kuasai.
"Mas Kian anak rantau, ya?" tanya Risa memecah sunyi.
Kian meliriknya sekilas, inilah yang tak ia sukai dari sebuah pertemanan. Kehidupanmu akan di korek sampai ke akar-akarnya.
"Iya," jawab Kian berdusta. Ia hanya tidak ingin membicarakan hal privasi.
"Asli mana?" tanya Risa lagi.
Kian menarik nafasnya berat, ia melirik spion karena mobilnya akan berpindah ke bahu jalan di sisi kanan menuju underpass.
"Jauh. Kamu nggak akan tahu di mana," sahutnya lirih.
Risa mendesah kecewa, tembok kokoh di antara mereka berdua sangat jelas menghalangi.
"Emangnya Mas Kian nggak kesepian, ya? Kok aku ngeliat hidup Mas Kian flat banget kaya tivi jaman now!"
Kian tertawa mendengar umpatan Risa.
"Pergi kerja, pulang buat tidur. Habis gitu besok kerja lagi, gituuuu aja terus sampe Mas Kian jadi kakek-kakek!"
"Hahahaha...."
"Aku serius! Kalo aku jadi Mas Kian udah mati dari sepuluh tahun yang lalu kayanya!"
"Hahaha..." tawa Kian semakin terpingkal-pingkal.
Risa merengut dan melipat kedua tangannya di dada. Ia membuang muka mendengar Kian semakin tertawa menanggapi ocehannya.
"Maaf, Risa. Aku hanya nggak biasa terbuka dengan orang lain. Maaf, ya," pinta Kian kemudian. Ia menoleh pada Risa yang masih menatap keluar jendela.
"Kita ketemu hampir tiap hari di kantor, dan Mas Kian masih menganggapku orang lain, begitu?!"
"Bukan begitu. Maksudku... hmm, aku hanya tidak terbiasa berkomunikasi intens dengan siapapun. Maaf."
"Ya sudah, kalo gitu sebagai permintaan maaf, Mas Kian harus traktir aku besok Senin di Kantor!"
Kian menoleh sebentar, di saat bersamaan Risa juga sedang menatapnya.
"Baik. Aku akan mentraktirmu selama seminggu."
Risa terbelalak. "Seminggu??"
Kian mengangguk dan tersenyum. Ia akan mentraktir selama apapun itu asal Risa tak mengorek tentang kehidupannya lagi.
Setiba di makam orang tua Risa yang terletak di kawasan pemakaman mewah, Kian hanya mengikuti gadis itu melangkah hingga sampai di dua makam berjejer yang telah ditutup oleh kijing yang terbuat dari marmer berwarna hitam.
Kian memperhatikan nama di batu nisan dan tanggal wafat. Tanggal wafat Mama Risa selisih tiga hari dengan wafat Papanya. Kian mendesah sedih, ia ikut duduk berjongkok di sebelah Risa.
Wajah Risa berubah sendu saat ia menabur bunga yang tadi ia beli di toko depan makam. Ia rindu pada mendiang orang tuanya yang sudah dua tahun ini pergi meninggalkannya.
"Pa, Ma, Risa ngajak temen, nih! Namanya Mas Kian, dia yang jagain Risa selama di kantor!" ucap Risa mulai bercerita.
Kian menolehinya iba. Ia paham betapa sepinya hidup sendirian sebatang kara.
"Jadi hari ini Risa sudah nggak kesepian lagi pas ulang tahun!" lanjut gadis itu ceria.
Kian tertegun, Risa menolehinya dan tersenyum lebar.
"Kamu ulang tahun?" tanya Kian kaget.
Risa mengangguk, masih dengan senyum lebarnya. "Makasih ya, Mas Kian sudah mau nemenin aku hari ini!"
Kian tak menyahut, suaranya seperti tercekat di tenggorokan. Ia hanya bisa merespon dengan anggukan kepala.
Cukup lama Risa bercerita panjang lebar di atas pusara orang tuanya. Kian hanya mendengar dengan pilu saat sesekali Risa mencoba untuk kuat meski suaranya bergetar menahan tangis.
Dan benar saja, saat sudah kembali dan berada di dalam mobil, tangis Risa pecah. Kian hanya bisa sesekali menenangkan gadis itu dengan menepuk bahunya. Ia tak berani melakukan hal yang lebih dari itu.
Setelah dua puluh menit menangis, Risa akhirnya bisa tenang. Ia menolehi Kian yang sedari tadi diam membisu.
"Makasih ya, Mas Kian. Di ulang tahunku kali ini Mas Kian sudah mau ngeluangin waktu," ucap Risa tulus.
Kian tersenyum kikuk. "Aku juga baru tahu kalo ternyata hari ini kamu ulang tahun, maaf ya, Risa!"
Risa menggeleng dan kembali tersenyum meski kedua matanya tak bisa berbohong.
"Selamat ulang tahun, Risa. Semoga hidupmu dipenuhi kebahagiaan dan berkah!" ucap Kian tulus.
"Aku boleh minta satu hal nggak hari ini?"
Kian mengangguk cepat.
"Boleh kan, aku minta satu pelukan dari Mas Kian?!" pinta Risa penuh harap.
Untuk sesaat Kian menahan nafasnya gugup mendengar permintaan gadis di depannya ini. Tubuhnya tiba-tiba jadi kaku dan tegang.
"Boleh, kan?" ulang Risa.
Kian akhirnya mengangguk dan merentangkan tangannya dengan grogi. Tanpa menunggu waktu lama, Risa segera berhambur ke dalam pelukan itu dan merapatkan tubuhnya hingga wangi tubuh Kian yang maskulin membuat darahnya berdesir hangat.
Sementara itu, Kian berusaha mati-matian menahan degub jantungnya yang menggaduh. Ini adalah kali pertama ia berpelukan dengan perempuan selain Nenek Sofia. Sebelumnya ia bahkan tak pernah berani menyentuh perempuan manapun. Jangankan berpacaran, berkenalan dengan wanita saja sudah membuat nyali Kian ciut sebelum membuka suara.
Cukup lama Risa membenamkan dirinya dipelukan Kian sebelum kemudian ponsel lelaki itu berdering. Kian lekas mengurai pelukannya dan merogoh saku celana.
Pak Nathan is calling...
*****************
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 123 Episodes
Comments