Pria berusia di ujung tiga puluhan yang sedang berhenti di sebelah citycar keluaran Inggris itu membuka kaca helmnya dengan gerah. Ia sedang dalam perjalanan menuju Stasiun Televisi tempatnya bekerja. Hari ini kebagian shif malam, jadi ia harus standby di sana sampai besok pagi. Namun belum juga sampai ke tempatnya bekerja, tubuhnya sudah berkeringat karena hawa jalanan yang panas oleh mesin-mesin kendaraan yang macet.
Kiandro Bagaskara. Demikian nama yang tertulis di seragam hitam yang ia kenakan. Tahun ini usianya 30 tahun dan masih betah hidup sendiri di sebuah kontrakan kecil yang jauh dari tempatnya bekerja.
Hampir tiga puluh menit kemudian. Kian, demikian ia biasa disapa, tiba di Stasiun Tivi Nasional yang cukup populer. Ia memarkir motor maticnya di tempat parkir khusus karyawan di belakang gedung dan bergegas mencangklong tas ranselnya. Sedikit berlari, Kian memasuki gedung utama dan naik lift menuju ruang departemen tempatnya bernaung.
Camera Departement.
Kian mendorong pintu utama ruangan menuju kantor departemennya. Beberapa orang teman yang satu shif dengannya kali ini sudah standby di kubikel masing-masing menunggu perintah dan wish list dari produser.
Saat Kian tiba, selembar kertas wish list sudah ada di mejanya. Ia menyampirkan tas ranselnya di belakang kursi dan menarik lembaran itu. Kian membacanya dengan seksama, ia akan bertugas mengambil video sebuah acara reality show baru di Stasiun Televisi tempatnya bekerja. Bukan acara live, jadi Kian harus segera memberikan hasil rekamannya pada editor. Ia pun bergegas merapikan mejanya sebentar dan berdiri untuk pergi ke ruangan cam store.
"Mas Kian, kamu ngeshoot acara baru ya?"
Kian menoleh pada asal suara. Teman satu divisi dengannya yang bernama Risa sudah berdiri dan bersiap menyusul langkahnya.
"Iya, Ris." Kian tersenyum dan kembali melangkah saat Risa sudah berjalan di sampingnya.
"Kalo ngshoot acara taping tuh enak nggak dikejar waktu, bisa bereksplorasi sesuka hati kita. Aah, kapan aku kebagian ngeshoot acara taping!" sungut Risa tak bersemangat.
"Mau tuker denganku?"
"Emangnya boleh?"
Kian terdiam sesaat, ia belum pernah melakukan tukar tugas acara sebelumnya.
"Sudah ku duga pasti nggak boleh!" lanjut Risa lesu.
"Nanti aku coba tanyakan sama Pak Hendri, barangkali kita bisa tukeran!" janji Kian.
Senyum Risa tersungging. "Terima kasih, Mas Kian!" ucapnya berbinar.
Kian mengangguk dan membuka pintu ruangan Cam Store yang tertutup rapat.
"Selamat malam kalian berdua!" sapa seorang wanita yang menjaga ruangan Cam Store.
"Selamat malam, Mbak Ninis!" sapa Kian.
"Sering banget kalian satu shif bareng. Hati-hati cinlok, loh!" goda Mbak Ninis sambil tersenyum genit.
Kian tertawa kecil, ia mengambil kamera yang ia butuhkan dan memeriksa kelengkapannya.
Risa yang berdiri tak jauh hanya melirik seniornya itu dengan keki. Memang sudah sejak lama ia menyukai Kian, hanya saja lelaki itu tak kunjung peka dan lebih memilih untuk menjaga jarak. Risa jadi gemas sendiri melihatnya!
"Aku cabut dulu, ya!" Kian membawa kameranya dan bersiap untuk pergi.
"Mas Kian, tunggu! Nanti kalo sudah selesai kabarin aku, ya!?"
Kian mengangguk dan tersenyum. Ia menarik handle pintu dan keluar dari ruangan Cam store.
"Hmmm, Risa! Kayanya kamu harus mencoba lebih keras lagi buat naklukin Mr. Ice itu," goda Mbak Ninis terkekeh.
Risa tersenyum dan mengawasi Kian yang berjalan cepat menuju lift. Ia mendesah pelan.
"Iya, Mbak. Aku curiga jangan-jangan Mas Kian nggak suka sama cewek!"
"Hush. Kian nggak begitu, kok!" bela Mbak Ninis tak terima.
Risa memeriksa kelengkapan kameranya sambil menghembuskan nafasnya berat. Setidaknya ia tak memiliki saingan, jadi usahanya menaklukkan Kian terasa lebih mudah.
Di tempat berbeda.
Kian sudah selesai mengatur setelan kameranya dan bersiap untuk shooting. Acara kali ini adalah Reality Show berjudul "My Path". Sebuah acara dengan bintang tamu Artis atau pejabat yang menceritakan pengalamannya dari awal mula berkarier hingga sukses.
"Camera one, stand by!" perintah Director dari headphone yang Kian kenakan di kepalanya.
Kian mulai fokus dan melaksanakan komando, mengarahkan kamera pada objek yang sudah bersiap di stage.
Beberapa jam setelahnya, di Green Area tempat para crew beristirahat usai melaksanakan tugas masing-masing, Kian duduk sendiri menatap keluar jendela gedung yang terbuat dari kaca. Ia sudah mengirim pesan pada Risa sejak tiba di Green Area. Mungkin gadis itu masih belum selesai dengan pekerjaannya di Studio 5 tempat acara live di adakan.
Kiandro Bagaskara. Ia hidup sebatang kara di kota besar ini. Sejak kepergian neneknya dua tahun silam, ia jadi semakin kesepian. Anak tunggal yang tak jelas di mana ayah dan ibunya. Di usia lima tahun, orang tua Kian bercerai dan meninggalkannya di rumah Neneknya. Hidup di kota besar yang keras membuat Kian menjadi sosok yang tangguh. Namun sejak Nenek Sofia meninggal, ia merasa hidupnya tak lagi berarti. Tidak ada yang menginginkan dirinya lagi di dunia ini.
"Mas Kian!"
Kian tersentak. Nafasnya tertahan untuk beberapa saat, lamunannya buyar seketika.
"Ngelamun apa sih, sampai nggak sadar aku berdiri di sini dari tadi!" Risa terkekeh sambil menarik kursi di samping Kian.
"Sudah beres acaramu?" tanya Kian mengalihkan topik.
Risa mengangguk beberapa kali. Ia sudah membawa segelas kopi yang tadi ia ambil di vending mechine.
"Besok Mas Kian libur, kan?"
Kian mengangguk masih dengan senyumnya yang khas.
"Temenin aku ke suatu tempat, yuk!"
"Ke mana?"
"Ada, deh! Mas Kian, besok nggak ada acara?"
"Nggak ada."
"Oke, aku jemput jam 2, ya! Udah bangun kan jam segitu?"
Kian mengangguk. Meski tinggal seorang diri namun ia terbiasa bangun pagi dan bersih-bersih. Hidup sebatang kara mau tak mau mengharuskan Kian melakukan segala hal seorang diri, termasuk memasak dan mencuci. Meskipun ia masuk malam sekalipun.
"Mas Kian sudah makan?"
"Sudah tadi pas mau berangkat," sahut Kian singkat.
"Ini sudah jam 1 malem, loh! Emangnya Mas Kian nggak laper lagi?"
Kian menggeleng, ia membuang tatapannya keluar jendela. Gemerlap pemandangan kota yang menentramkan hati membuat Kian sangat menyukainya.
"Besok aku mau ajak Mas Kian kenalan sama orang tuaku."
Kian terkesiap, ia menolehi Risa dengan cepat.
"Tenang aja, orang tuaku udah meninggal, kok! Mereka nggak akan tanya macem-macem sama Mas Kian!" terang Risa terkekeh.
"Meninggal?"
Risa mengangguk. "Iya. Papa sama Mamaku positif covid dua tahun yang lalu. Dan meninggal di waktu yang hampir bersamaan."
Kian menatap Risa dalam, jadi gadis di depannya ini juga yatim piatu sepertinya?
"Besok aku jemputnya tepat jam 2 siang, ya! Nggak usah makan siang, biar nanti aku bawakan bekal dari rumah."
"Oke, Ris!"
*************************
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 123 Episodes
Comments