"Kita bisa kerja keluar dengan mobil kantor sebenarnya, tapi sopirnya lagi gak ada. Lagi kekurangan sopir dan ada yang sakit," kata Lia saat keluar gedung ingin mendatangi klien didampingi Nasti. "Kita naik taksi saja." Namun kemudian ia heran ketika Nasti menyentuh lengannya.
"Memangnya kita boleh pakai mobil kantor?"
"Itu fasilitas sebenarnya, tapi jumlah sopir tidak memadai, jadi timpang. Tunggu ada sopir nganggur dulu baru ...." Lia menatap Nasti ketika wanita itu kembali menyentuh lengannya.
"Kita pakai sendiri, bisa 'kan?"
"Bisa, kalau bisa nyetir."
"Ya udah, ayok! Aku bisa nyetir."
Lia terkejut. "Eh, kenapa ngak bilang dari tadi. Ayo, kita kembali lagi. Kita minta salah satu kunci mobilnya."
Tak lama, mereka kembali keluar.
Lia bernapas lega. "Hah ... aku gak tau kalau Mbak bisa nyetir mobil."
"Kamu 'kan gak nanya."
"Iya, sih."
"Mobilnya yang mana?"
"Itu." Lia menunjuk sebuah mobil sedan keluaran lama berwarna biru tua yang masih terawat kebersihannya. Mereka berdua kemudian masuk. "Ih, tau gitu, aku minta tolong anterin ke mana-mana, bisa nih?"
"Siap." Nasti yang telah memasang seatbelt-nya segera menjalankan mobil.
Di sudut lain, Iwabe terkejut melihat Nasti bisa mengendarai mobil. Ia yang baru masuk perparkiran, tak sengaja melihat Nasti dan Lia masuk ke mobil dan Nasti mengendarainya. Wah, hebat juga dia bisa mengendarai mobil. Pria itu melongo.
-----------+++----------
"Mmh." Wanita cantik itu bergumam saat menutup map itu. Ia menyerahkan kembali pada wanita yang menunggu di depan mejanya. "Untuk sementara belum bisa aku rubah, karena aku masih mau mempelajari lagi produknya."
"Baik, Bu." Wanita itu kemudian berdiri dari duduknya. Ia kemudian melangkah ke pintu.
"Oya, boleh aku tanya sedikit?"
Sekretarisnya itu berhenti dan menoleh. "Iya, Bu?"
Sarah mengetuk-ngetuk meja dengan jemarinya karena sedikit ragu. "Mmh, kau bilang pemilik perusahaan, anaknya sedang bersekolah di luar negri, di Oxford, betul begitu?"
"Iya, Bu. Ambil S2."
"Ganteng?"
"Katanya sih begitu."
"Mmh." Ia menyatukan tangannya di depan dada seraya tersenyum. "Mmh, ya sudah. Terima kasih."
Sekretaris itu sedikit heran tapi kemudian keluar.
-----------+++-----------
Bus kembali mendatangi rumah Nasti dan terlihat Bian berlari-lari ke arah pagar mengetahui bus yang menjemputnya datang. "Mamaaa ...."
Ibu mengikuti dari belakang. Ia segera memegang bocah itu sebelum membuka pintu pagar. Nasti kemudian turun menjemputnya.
"Gimana, Bu? Nakal?" Nasti mencium punggung tangan ibunya.
"Seperti biasa sih," Ibu tersenyum melirik cucunya. "tapi belakangan dia sedikit agak bosan sih, dan agak murung."
"Mmh?"
"Mama!" Bian tersenyum lebar dan meloncat-loncat. "Gendong." Bocah itu mengangkat tangannya dengan wajah senang.
"Mungkin rindu padamu," kata ibu pelan.
Nasti kembali melirik Bian dan menggendongnya. "Anak Mama, kangen ya sama Mama?"
Bocah itu langsung menyandarkan kepalanya pada bahu wanita itu.
"Pamit dulu, Bu. Sampai besok."
"Iya, hati-hati."
"Assalamu'alaikum."
"Waalaikumsalam."
Sesampainya di kursi mereka, Bian tak mau lepas. Ia ingin tidur di pangkuan ibunya. Akhirnya Nasti terpaksa memangku bocah bule itu.
Mata bocah itu terlihat sayu. Sepertinya ia sudah mengantuk sedari tadi tapi ia coba tahan, demi melihat Nasti menjemputnya sore itu. Wanita itu mengusap rambut bocah itu ke samping. "Kamu masih main ke dapur ya?"
Bocah itu tak peduli. Ia pelan-pelan mulai tertidur di pangkuan ibunya. Wanita itu sesekali mengusap rambut anaknya saat tidur.
Iwabe mengintip dari cermin diatasnya, betapa menyejukkan melihat ibu dan anak itu berdua. Bukan Iwabe saja, beberapa orang terenyuh hingga ingat keluarga di rumah.
"Aku jadi ingat anak di kampung," ujar salah seorang pegawai pria.
"Aku ingat ibu," sela seorang pegawai wanita.
Bian dengan tenang tidur dipelukan Nasti karena lega bertemu ibunya. Ia belum pernah berpisah dengan sang ibu sehingga ia teramat rindu. Pelukan Nasti adalah obat terbaiknya.
-----------+++----------
Iwabe baru saja hendak makan ketika dilihatnya Nasti masuk ke gedung serba guna itu bersama anaknya. Sepertinya ia baru belanja di pasar dekat mess itu. Pasar itu buka hampir 24 jam dan selalu mendapat pasokan baru setiap malamnya.
Bian berlari-lari di sekitar ibunya yang sedang mencari dapur untuk memasak, sementara ruang itu sudah terisi oleh beberapa orang yang sedang makan di meja-meja yang sudah di sediakan. Nasti segera menemukan dapur dan mulai masak di sana.
"Mbak, kalau nasi dan minum di sini gratis ya? Ambil saja," ujar salah seorang wanita yang ikut masak di sana.
"Oh, iya. Makasih."
Nasti juga harus kerepotan memperhatikan Bian yang keluar masuk dapur, tapi bocah itu senang. Selain bertemu lagi dengan ibunya, ia senang suasana di tempat tinggal ibunya yang baru, karena tempatnya luas dan banyak orang. Bian ternyata senang bertemu dengan orang-orang baru.
Nasti akhirnya selesai memasak makanannya dan membawa makanan itu keluar.
"Mamaaa!" Bian mendekat. Aksi bocah itu menarik banyak perhatian karena ia terus berlari dan kadang memperhatikan orang-orang yang sedang makan.
Nasti malah mendekati Iwabe yang sedang makan malam, membuat pria itu bingung.
"Ada apa?"
"Oh, aku hanya menawarkan saja. Aku membuat Capcay banyak." Nasti menurunkan mangkuk kecil berisi Capcay ke atas meja.
"Tunggu!" Seketika Iwabe menghentikan makannya.
Nasti terkejut.
"Kamu tidak lihat semua orang memandangiku?"
Nasti menoleh ke belakang. Benar saja. Semua orang yang makan di sana menatap mereka.
"Tingkahmu membuat semua orang berpikir, aku sedang mendekatimu atau sebaliknya. Padahal, di sini ada larangan untuk pacaran."
"Eh." Tenggorokan wanita itu serasa tercekat. "Ma-maaf, Pak. A-aku tidak bermaksud begitu. Maksudku hanya berterima kasih ...." Namun rasanya sia-sia apa yang diucapkannya karena semua orang kini menatap ke arah mereka berdua. Buru-buru ia mengambil kembali mangkok itu, tapi ternyata pria itu menahan mangkuk itu.
"Ya sudah."
"Eh?" Nasti terlihat bingung.
"Ya sudah, sana. Biar aku coba makananmu." Iwabe mengusirnya.
"Oh, i-iya." Dalam gugup dan kebingungan Nasti meninggalkannya dan mencari meja lain yang agak jauh. Ia duduk di sana dan berusaha tidak melihat pria itu. Dalam gugup karena diperhatikan orang banyak, wanita itu mencoba makan sambil menyuapi anaknya.
Pria itu menghela napas. Ia bisa merasakan pandangan orang-orang yang mencuri pandang menatapnya, padahal ia berusaha netral. Ia memang gampang terenyuh, apalagi melihat Nasti yang terpaksa membawa anaknya tinggal di mess itu, padahal ia terkenal sebagai pria yang sangat disiplin di sana. Dialah yang membuat peraturan dilarang pacaran di dalam mess itu.
Kembali ia meneruskan makannya.
Tak lama. "Ini." Ia meletakkan mangkuk itu di atas meja tempat wanita itu makan dengan anaknya, tapi ia tak berkomentar apa-apa. Ia segera pergi ke dapur untuk mencuci piringnya sendiri.
------------+++----------
Iwabe terbangun di tengah malam karena mendengar suara yang mencurigakan. Ia mengambil senter.
___________________________________________
Yuk intip novel baru dari author ini yuk!
DIKIRA MELARAT TERNYATA KONGLOMERAT
Author : Nirwana Asri
Apa jadinya jika gadis yang berasal dari keluarga kaya tiba-tiba memilih untuk menjalani hidup tanpa kemewahan dari orang tuanya?
Kristal Quenara ingin membuktikan pada keluarganya kalau dia bukanlah gadis manja dan bisa hidup mandiri. Di tengah penyamarannya dia bertemu dengan Ruli Megantara, pemilik restoran tempatnya bekerja.
Akankah terjalin hubungan percintaan di antara mereka?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Roslina Dewi
modus pasti tuh si Sarah
2022-12-29
1