Hari kedua Baby bekerja, tak seperti hari kemarin, ia kali ini bangun lebih awal dan akan berangkat lebih pagi agar dirinya bisa santai di jalan.
Di saat semua orang sudah bersiap akan sarapan, dirinya masih berkutat dengan cermin dan berbagai alat make up. Dirinya harus tampil sempurna untuk Cakra yang tampan dan kekayaannya juga sempurna.
"Sempurna, kecantikan Baby Clarissa memang tidak bisa diragukan. Mau pake make up apa nggak, seorang Baby tidak pernah jelek. Ah, imut dan cantik sekali diriku ini." Baby dengan bangga memuji dirinya sendiri hingga tumpah-tumpah.
Selesai memagut diri dengan make up, ia berjalan ke luar kamar dengan gaya anggunnya. Ia langsung menuju meja makan dan duduk di sana, seakan tidak punya dosa. Gadis itu menyendok nasi tanpa menyapa satu orang pun yang duduk di sana memperhatikan dirinya.
"Ya Allah, lo mau kerja apa mau apa sih? Sumpah, ya norak benget lo pake parfum," cemooh Bian menutupi hidungnya.
"Berisik."
"Bagaimana kemarin kerjanya Baby? Lancar, betah?" tanya Pak Rahmat seraya mengambil suiran daging ayam yang tersangkut di gigi.
"Alhamdulillah lancar, Yah. Semua akan berjalan lancar jika ada Baby. Nggak ada ceritanya Baby nggak betah di suatu tempat. Wc aja Baby jadikan tempat nongkrong." Entah apa yang ada dalam pikiran gadis itu, dengan mudahnya ia mengucapkan satu kata yang membuat jijik siapapun orang yang mendengar ketika sedang makan.
"Sialan! Hilang sudah selera makan gue gara-gara babi. Udah ah, Bu, Yah, Bian berangkat. Ayah buruan jodohin dia sama juragan tanah desa sebelah deh, stress lama-lama pelihara dia, Yah," ujar Bian menyalami kedua orang tuanya sebelum berangkat kuliah.
"Sembarangan lo ngomongnya. Lo aja sana yang nikah sama perawan tua desa sebelah. Nggak perlu kerja lo kalau nikah sama dia. Udah kaya dia, jadi gue juga nggak perlu bagi warisan Ayah ke lo."
"Babi lucknut. Gue kaya gue buang lo dari KK," tukas Bian meninggalkan meja makan.
Bu Nur dan Pak Rahmat sudah bosan melerai pertengkaran kedua saudara itu. Mereka tak pernah akur barang sehari pun. Ada saja yang mereka ributkan jika sudah betemu muka. Hal sepele bisa jadi besar jika mereka yang meributkan.
"Baby, masih ingat apa pesan Ayah ke kamu?" tanya Pak Rahmat setelah menenggak habis segelas air putih.
"Masih, harus jujur di mana pun Baby berada. Baby akan ingat pesan Ayah terus kok. Ayah tenang saja. Baby berangkat, ya. Masih pagi, udara masih segar dan Baby bisa santai di jalan. Biar nggak ugal-ugalan dan nabrak mobil orang kayak kemarin." Baby menutup mulutnya seketika ketika ia sadar mulutnya keceplosan.
"Nabrak mobil orang? Mobil siapa yang kamu tabrak? Mobilnya nggak apa-apa?" tanya Pak Rahmat yang lebih peduli dengan kendaraan orang dari pada anaknya.
Baby sudah biasa mendapatkan pertanyaan seperti itu. Ayahnya itu memang berbeda dari ayah lain. Jika ayah lain akan menanyakan keadaan anaknya ketika menabrak sesuatu, maka tidak dengan Pak Rahmat. Keluarga Baby ini memang sedikit menyimpang dari kebanyakan keluarga pada umumnya.
"Penyok, sih. Tapi yang punya nggak marah, aku juga udah minta maaf. Selesai urusan."
"Kamu ada yang luka?" Ibu Nur yang bertanya.
"Nggak ada. Tenang aja, semua aman terkendali. Ya udah anakmu yang cantik ini berangkat nyari duit dulu." Baby beranjak dari duduknya dan mencium punggung tangan kedua orang tuanya sebelum berangkat.
Selang beberapa menit, Pak Rahmat juga ikut berangkat ke pabrik yang tak jauh dari rumahnya. Beliau bekerja sebagai satpam di sana. Dari hasilnya menjadi satpam itulah beliau bisa menyekolahkan ke dua anaknya hingga menjadi sarjana.
Kembali pada Baby yang menyelami udara pagi dan terik matahari yang menghangatkan tubuhnya. Gadis itu mengendarai motornya dengan santai hingga beberapa kilo meter kendaraan itu melaju, Baby merasa ada yang aneh dengan motornya. Tiba-tiba saja kendaraannya itu terasa tak nyaman digunakan, seperti ada yang salah.
Baby menepikan motornya, ia berdecak kesal begitu melihat ban depan motornya yang nampak kempes. Gadis itu berkacak pinggang seraya menatap sekitar barangkali ada bengkel di sekitar sana.
"Kesialan apalagi ini? Tidak ada bengkel, ban motor kempes. Gimana caranya berangkat ke kantor coba? Gue taruh di mana ini motor kalau gue naik ojek." Dari berkacak pinggang, Baby menggigit ujung kukunya berpikir bagaimana berangkat kerja dengan tetap memakai motornya.
Satu menit, dua menit, baby semakin frustasi dengan detik yang terus berjalan tak mampu ia hentikan. Ia melihat sekeliling untuk yang entah ke beberapa kalinya.
Merasa tak akan berguna jika berdiam diri di pinggir jalan, ia akhirnya memilh untuk menuntun motornya, entah seberapa jauh mendorong motornya nanti, yang penting ia harus segera mendapatkan bengkel agar segera bisa berangkat ke kantor. Membayangkan wajahnya ngeri pangeran idamannya membuat Baby merasa bergidik ngeri.
Setelah kira-kira sepuluh menit ia mendorong motor sialan yang membuat ia berkeringat dan kegerahan itu akhirnya ia menemukan tukang tambal ban yang baru membuka usahanya itu.
"Pak, saya mau tamban ban. Tapi saya tinggal, ya. Saya buru-buru soalnya udah telat ini. Nanti sepulang kerja saya ambil. Saya pulang jam tiga sore. Ini uangnya sekalian saya bayar. Jangan di jual motor saya, ya Pak," seloroh Baby panjang lebar. Tukang tambal ban itu sampai menganga mendengar penuturan Baby yang lebih pantas disebut omelan.
"Iya, neng."
Baby kembali ke pinggir jalan begitu selesai menyerahkan uang. Tangannya sibuk mengotak-atik ponsel untuk memesan ojek online.
"Ya Tuhan, sejak kerja kenapa gue jadi selalu sial begini, sih? Dari kemarin gue telat mulu, yang sekarang udah benar-benar telat. Udah sepuluh menit gue telat. Tukang ojek sialan, nggak sampe-sampe lagi," omel Baby.
Tangannya sejak tadi tak berhenti untuk mengipasi wajahnya. Terik matahari yang sedikit mulai menyengat dan lelah yang mendera membuat ia ingin pingsan. Keringat bercucuran memenuhi dahi yang selalu ia tutup dengan poni. Rambut panjang yang ia gerai indah akhirnya terpaksa ia cepol dengan asal.
"Ini tukang ojek bener-bener minta di santet, ya. Awas aja kalau sampai di sini gue kasih hadiah dia biar sawan."
Tak berselang lama dari Baby mengomel yang kedua kalinya, tukang ojek yang berjaket hijau berhenti di depannya. Dengan tanpa rasa bersalah ojek itu bertanya apa benar gadis yang berada di dekatnya adalah Baby Clarissa.
"Iyalah, sampai ubanan gue nungguin lo. Habis ngapain, sih lama amat?"
Tukang ojek yang masih muda itu nampak tekejut, ia melihat kembali pukul berapa orderan masuk dan membandingkan jam berapa sekarang.
Hanya dua menit, setan benget ni orang kelakuannya.
"Maaf, Mbak Baby ini susah termasuk cepat. Kan jaraknya hanya dua menit dari mbak order tadi."
"Dasar laki-laki, nggak mau di salahin. Ya udah cepat berangkat."
Tukang ojek yang masih muda itu seketika memutar gas dengan cepat saking kesalnya.
Baby hampir saja terjungkal karena posisi duduknya yang miring membuat duduknya tak seimbang.
"Kampret lo, ye. Nggak gue bayar baru tahu rasa lo," teriak Baby.
Tiba-tiba motor itu berhenti.
"Kok berhenti?"
"Lo nggak mau bayar, ya turun lah."
Baby menghentakkan kakinya tak kalah kesal.
"Gue udah telat. Jangan baperan, ah!" Baby kembali naik dengan brutal.
Beberapa orang yang melintas di trotoar memusatkan perhatian pada Baby dan tukang ojek online itu. Mungkin mereka berpikir bahwa mereka adalah sepasang kekasih yang sedang ribut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments