4. Sisi Lain Cakra

Emang lagi syantik

Tapi bukan sok syantik

Syantik syantik gini hanya untuk dirimu.

(Siti Badriah-syantik)

"Woi, Mbak kamar mandi cuman satu, gantian. Jangan konser di situ! Udah sore, waktu sholat ashar keburu habis," teriak Bian sejak tadi menunggu Baby usai mandi, namun yang di tunggu nampak tidak mengerti.

"Belagak banget, lo. Ngincer anak ustad lo? Tampang kayak sapu lidi aja belagak playboy." Baby keluar dari kamar mandi dengan rambut basahnya. "Kuliah sono yang bener, jangan motor doang lo benerin."

"Kelakuannya kayak udah bener aja lo," sungut Bian berjalan ke kamar mandi.

Seperti biasa, Bian yang gampang kaget akan selalu terkejut jika masuk kamar mandi setelah Baby. Gadis dua puluh dua tahun itu selalu melupakan pakaian dalamnya. Ia selalu memajang benda haram itu dengan jelas di gantungan kamar mandi.

"Mau marah, tapi udah kebiasaannya dia begini. Salah milih keluarga gue," gumam Bian geleng-geleng kepala.

***

Jika kegaduhan selalu terjadi setiap hari di keluarga Baby, maka hal sebaliknya terjadi di keluarga Cakra. Rumah besar yang hanya dihuni oleh para wanita itu nampak damai dan tenang. Cakra adalah satu-satunya pria yang tinggal di rumah mewah milik neneknya.

Ya, Cakra sudah kehilangan ayahnya sejak dirinya masih kecil. Di saat usianya masih tujuh tahun, ia sudah ditinggalkan sang Ayah. Ia adalah anak satu-satunya, tidak punya saudara, namun ia sudah mempunyai anak di usia yang masih terbilang muda.

Dua puluh enam tahun usianya sekarang. Satu tahun yang lalu, ia dijodohkan oleh sang Nenek dengan wanita pilihannya. Dengan terpaksa ia menuruti saja apa yang neneknya mau, karena memang wanita tua itu masih berkuasa atas apapun yang mengenai anak dan cucunya.

Namun, status suami yang di sandang Cakra hanya bertahan satu tahun saja. Sang istri meninggalkan dirinya saat berusaha keras melahirkan sang penerus keluarga Bramantyo.

Di saat kebanyakan pemuda seusianya masih menikmati kesendirian, bersenang-senang dengan para temannya atau kekasihnya, Cakra harus bergelut dengan seorang bayi yang baru berusia tiga bulan.

"Uluh-uluh, sayangnya Ayah bangun tidur, ya. Mau susu, iya? Iya-iya, kita minta sama Mbak buat susu, ya. Kita turun dulu." Cakra dengan lembut membawa bayinya ke dalam dekapannya.

Jangan samakan Cakra ketika ia di kantor dan di rumah. Kepribadian yang ditunjukkan pria itu begitu berbeda, bahkan sangat jauh berbeda. Ia akan berperan sebagai pria yang tegas dan berwibawa ketika di kantor. Tapi, ketika di rumah ia begitu manis dan lembut. Tak pernah sekalipun sifatnya ketika di kantor ia bawa di rumah, begitu pula sebaliknya. Sifat lemah lembutnya tak pernah ia bawa ke kantor.

"Mbak tolong buatkan susu!" titahnya begitu sampai di lantai bawah.

Bayi gembul yang belum bisa menyangga kepala dengan tegak itu ia bawa ke ruang tengah bersama dengan Nenek dan juga ibunya yang sedang asyik melihat acara televisi.

"Eh Aura baru bangun, ya. Yuk, sini sama Oma, yuk. Masih wangi nggak ya, masa habis mandi sore tidur lagi. Oh masih wangi ternyata," timang Bu Nisa, Ibu Cakra.

Meski tanpa sosok Ibu di sampingnya, Aura sudah mendapatkan limpahan kasih sayang dari keluarga sang Ayah. Sungguh ia beruntung hadir di tengah-tengah keluarga Bramantyo.

Sosok bayi kecil itu mampu membuat Cakra kehilangan lelahnya setiap ia pulang beraktivitas. Aura, ia menyematkan nama itu bukan tanpa alasan. Nama Aura adalah nama wanita yang terpaksa ia nikahi.

Saat menikah tidak ada cinta di hati Cakra untuk istrinya, ia juga tidak siap untuk menikah di usianya yang masih dua puluh lima tahun kala itu. Namun, saat wanita itu hamil dan melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana susah dan kesakitannya sang istri saat melahirkan keturunannya membuat hati Cakra melunak.

Cakra akhirnya berjanji pada dirinya sendiri untuk belajar mencintai istrinya sepenuh hati. Namun sayangnya, janji yang ia buat dalam hati tak akan pernah  bisa ia curahkan pada istrinya.

"Mas, aku nitip anak kita." Itulah kalimat terakhir yang terus terngiang di telinga Cakra.

Setelah kalimat itu berhasil lolos dari mulut istrinya. Cakra tak di beri kesempatan untuk bicara lebih lama. Istrinya tak memberinya kesempatan bahkan hanya untuk mengatakan kata cinta dan sayang.

"Aura, Aura jangan bercanda! Aura bangun, buka matamu!" teriak Cakra.

Di detik itulah ia baru merasakan kehilangan istrinya. Istri yang selama setahun sedikit ia abaikan.

Kenapa kamu pergi di saat aku mulai berniat untuk mencintaimu?

Cinta Cakra yang ingin ia limpahkan pada sang istri, akhirnya ia limpahkan pada sang anak. Ia sengaja memberi nama Aura, agar anaknya itu tumbuh menjadi wanita yang sama seperti ibunya, berhati lemah lembut, sabar dan penyayang.

Setahun memang waktu yang singkat bagi Cakra. Tapi waktu satu tahun itu sudah cukup untuk mengenal kepribadian almarhumah istrinya. Wanita itu tak pernah marah sekalipun padanya, bahkan di saat ia melukai hatinya dengan kata-kata maupun tindakan, istrinya itu selalu saja tetap bersikap lemah lembut padanya. Ia berharap anaknya juga akan tumbuh seperti ibunya.

"Cakra, Aura tidur sama Mama, ya. Biar kamu juga sesekali bisa tidur nyenyak sampai pagi. Kamu cape kalau harus sering kebangun malam hari, pagi kamu kerja. Sesekali aja Cakra."

"Nggak boleh, Aura harus tetap tidur di bawah ketiak ayahnya. Aku nggak akan bisa tidur nyenyak kalau nggak ada gadisku ini di sampingku. Lelahku hilang kalau sama dia, Ma."

"Biarkan saja, Nisa. Dia sedang bertanggung jawab dengan apa yang seharusnya dia emban. Kalau memang dia butuh bantuan kita, pasti dia akan bilang. Kamu kayak nggak kenal Cakra aja. Dia, kan anakmu masa lebih hafal Ibu dibanding kamu," seloroh Oma Ning. Mertua yang kurang di sukai oleh para menantu wanita karena kata-katanya yang tidak bisa di bantah dan terkadang menyakitkan para menantu.

Bungkam adalah jalan satu-satunya para menantu agar tetap selamat dunia akhirat. Wanita tua yang tak suka di bantah itu akan merajuk sepanjang hari dan siapapun akan menjadi tempat pelampiasan kekesalannya.

"Ya udah, nih kamu bawa ke kamar. Biar kamu bisa istirahat juga."

Bu Nisa menyerahkan Aura yang sudah kembali tertidur setelah semuanya menyelesaikan ritual makan malam.

Seperti biasa, Cakra akan mengecup singkat seluruh wajah bayi gadisnya sebelum ia juga ikut tertidur. Ritual yang sekan wajib ia lakukan, jika tidak, maka sepanjang malam ia akan terjaga.

Cakra menghela nafas panjang, ia selalu sedih di kala memandang anaknya yang sedang tertidur dengan pulas. Wajah ayunya yang mirip dengan sang Ibu, kulit yang mulus seperti dirinya. Hatinya begitu ngilu setiap melihat wajah pulas Aura yang akan tumbuh tanpa sosok Ibu yang menemani.

Terpopuler

Comments

Serli Ati

Serli Ati

ayah idaman banget.

2022-12-13

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!