Hari kelulusan tiba. Disha berhasil meraih nilai tertinggi dan menduduki peringkat pertama di sekolahnya. Iyan ikut menghadiri acara kelulusan Disha, dan datang bersama Maryam, serta Hamzah.
Acara berlangsung cukup lama. Hingga sampai akhir, Iyan terus saja memotret dara jelita yang telah menawan hatinya.
"Potret terus, Yan! Dari tadi kamu kok ya nggak bosan-bosan motret si criwis. Heran ...!" celetuk Hamzah.
"Ahh, Mas Hamzah ini bagaimana? Mana mungkin aku bosan dengan Disha. Hehehe."
"Sudah sudah. Acaranya mulai memasuki akhir. Doa yang khusyu', biar diijabah sama Gusti Allah!" peringat Maryam pada Iyan dan Hamzah. Keduanya, Iyan dan Hamzah langsung mengangguk.
Setelah lantunan doa yang dibacakan selesai, para tamu undangan beserta para siswa-siswi SMA tersebut pun mulai bangkit dan meninggalkan panggung acara. Disha langsung berlari kecil, menghampiri keluarga dan kekasihnya. Rona bahagia terpancar jelas dari wajah Disha.
Rambut panjang sepinggang, dengan bagian bawahnya yang curly, dibiarkan tergerai begitu saja oleh Disha. Kulit putih, wajah mulus, hidung mancung yang mungil dan bibir tipis berwarna merah muda yang dimiliki oleh Disha, tak pernah membosankan untuk ditatap oleh Iyan. Apalagi, Disha memiki sikap yang lembut, sopan, dan tegas.
"Ibu ... Mas Hamzah!"
Maryam memeluk dan mencium kedua pipi dan kening Disha, pun dengan Hamzah. Hanya saja, Hamzah sambil menjahili adiknya. Ia terus mencubit gemas hidung sang adik. Iyan memotret tiap momen yang ada di hadapannya saat ini.
"Kalian mau pulang sekarang?" sela Iyan.
Maryam pun menatap kedua putra-putrinya, untuk meminta jawaban dari ajakan Iyan.
"Pulang sekarang ... Tapi, nanti mampir makan bakso ya, Mas! Boleh nggak?" Disha menatap penuh harap pada Iyan.
Iyan mengangguk dan tersenyum. Lalu, ia menjawab, "Tentu saja boleh. Nanti, Mas yang traktir deh."
Semua tersenyum senang mendengar ucapan Iyan. Kemudian, semuanya langsung masuk ke mobil yang dibawa Iyan. Ya, Iyan sudah memiliki mobil sendiri, pemberian sang ayah.
Saat Disha akan masuk ke mobil, Sisca datang menghampiri.
"Disha, tunggu! Kita foto berdua, yuk!"
"Oh ... Hayuk lah! Hehehe."
Usai berfoto sebanyak tiga kali, Disha kembali masuk ke mobil. Ia duduk di kursi depan, menemani sang pemilik mobil, Iyan. Sedang Hamzah dan Maryam, duduk di kursi tengah.
"Dek, itu tadi teman kamu? Kok, Mas baru lihat ya?" Hamzah bertanya, sembari mengintip ke arah Disha.
"Dia bukan teman aku, kok. Dia sahabat aku. Soalnya selalu ada buat aku, Mas."
Disha menoleh ke belakang. "Dia emang jarang main ke rumah. Seringnya, ngerjain tugas sama aku di sekolah, nemenin aku curhat juga di kelas. Hehehe," lanjut Disha.
"Begitu?" Hamzah mengangguk-anggukkan kepalanya. "Boleh 'kan, kalau Sisca dikenalkan ke Mas?" sambung Hamzah.
"Ya ampun, Mas ... Ternyata ujung-ujungnya mau modus!"
"Hahahaha ...!" Keempatnya kompak tertawa bersama.
Akhirnya, hari itu mereka memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama-sama. Iyan yang akan melanjutkan kuliah ke luar kota, membuat hati Disha menjadi sedih. Namun, Iyan sudah berjanji akan mengajak Disha bertunangan, sebelum nanti dirinya dan Disha menjalani hubungan jarak jauh. Iyan ingin memupus keraguan dalam benak Disha dengan menjadikan Disha tunangannya.
***
Dua setengah tahun telah berlalu. Disha yang saat ini sedang menempuh pendidikan di salah satu Universitas modern, tengah memikirkan sesuatu tentang tunangannya, Iyan. Saat tengah asyik berpikir, Sisca muncul tiba-tiba di hadapannya, sembari melambai-lambaikan tangan.
"Hello! Are you okay, Disha?" Sisca lalu duduk disamping Disha. "Mikirin siapa sih, serius amat? Hahaha," sambung Sisca, sembari menyenggol pelan lengan sahabatnya itu.
Disha menghela napas dan menjawab "Aku memikirkan mas Iyan, Sisca. Apa dia nggak akan macam-macam di sana ya?"
Ekspresi Disha yang terlihat sedih dan murung, membuat Sisca merasa iba. Lalu, Sisca pun berusaha menghibur Disha. Diam-diam, Sisca mengambil ponsel Disha yang ada ditengah-tengah tempat keduanya duduk.
"Halo! Lagi sibuk nggak?"
"Enggak. Kenapa kamu yang nelepon aku? Disha mana? Ini 'kan ponselnya Disha," jawab Iyan dari seberang sana.
"Ah, itu ... Dia sedang sedih mikirin kamu tau! Dia khawatir sama kamu!" balas Sisca dengan nada ketus. Lalu, ia menyodorkan ponsel pada si pemilik. "Nih, ngomong sama pacar, eh .. tunangan kamu! Jangan sedih-sedih, nanti cantiknya berkurang. Hahaha ...!"
Disha lalu tersenyum malu, sembari menerima ponselnya sendiri. Kemudian ....
"Halo, mas Iyan, sedang apa di sana?"
"Sedang duduk, dek. Kebetulan ini jam istirahat. Kamu sendiri, sedang apa?"
"Sama, mas. Aku juga lagi duduk, bareng sama Sisca. Emm ... Mas, jaga diri dan hati .. baik-baik ya, di situ!"
"Iya, dek. Kamu juga ya! Ya sudah ... Mas mau nyusul kawan ke kantin. Bye!"
"He-em, mas. Bye!"
Sambungan telepon terputus. Disha langsung menatap Sisca lekat. Sisca pun menjadi salah tingkah mendapat tatapan seperti itu dari Disha.
"Makasih lho, Sisca. Kamu emang sahabat yang peka!" ucap Disha, yang kemudian memeluk Sisca.
Sisca pun membalas pelukan Disha dan berkata, "Selagi masih bisa menghibur dan membantumu, aku akan selalu ada untuk melakukan hal itu, Disha."
Keduanya lalu pergi ke kantin, dan makan siang bersama.
***
"Sisca, apa aku sudah rapi? Aku kurang apa nih? Kenapa aku merasa masih belum oke ya?" tanya Disha berderet pada sahabatnya, Sisca.
"Sudah rapi, Disha! Sudah lah ... Apa Iyan akan mempermasalahkan penampilanmu, hm?" Sisca mencoba menenangkan Disha yang tengah gugup untuk bertemu Iyan.
Disha menjemput Iyan di stasiun, ditemani sahabatnya itu. Waktu kedatangan kereta yang dinaiki Iyan akan segera tiba. Disha mulai mengamati wajah penumpang satu per satu. Hingga beberapa saat kemudian ....
"Mas! Mas Iyan! Sini, Mas!" seru Disha sambil melambaikan tangan pada Iyan.
Iyan yang melihat Disha memanggilnya, segera berlari menghampiri sang pujaan hati.
"Dek, kangen banget sama kamu," ucap Iyan, sembari mengusap kepala Disha lembut.
"Ekhem! Ada aku lho, di sini," sela Sisca dengan nada kesal. Sisca melipat tangan ke depan dada dan memasang wajah cemberut, untuk menggoda dua sejoli yang tengah melepas rindu.
"Eh, maaf Sisca. Emang Mas Iyan aja nih, yang nggak peka sama si zombielowati macam kamu. Hahaha."
Iyan ikut tertawa mendengar ucapan Disha. Sedangkan Sisca mulai mengerucutkan bibirnya.
"Sudah lah, Dek. Ayo, kita pulang! Tapi, kita makan siang dulu deh, sebelum pulang. Pasti kalian lapar 'kan?"
"Nah, gitu dong. Aku mau sih kalau ditraktir," jawab Sisca dengan nada melunak.
"Hem ... Kalau udah nyangkut makanan aja, gercep kamu, Sis!" goda Disha.
"Memang aku lagi laper sih, Sha. Hehehe."
"Ya sudah, ayo kita pergi makan." Iyan menatap Disha lekat. Lalu, Iyan mencubit pelan pipi Disha sembari bertanya, "Dek, sudah pesan taksi online?"
"Ish! Kirain mau ucapin kalimat romantis, ternyata zonk. Iya, itu sudah nunggu di luar, taksinya," jawab Disha sembari menunjuk ke arah luar stasiun.
Kemudian, ketiganya sepakat untuk makan di sebuah cafe milik teman Iyan. Saat sudah duduk dan memesan makanan, datanglah teman Iyan, dan menyapa.
"Bro! Siapa nih?" tanya Dio, teman Iyan. Dio menunjuk Disha, dengan menoleh sekilas pada Disha.
"Aku calon istrinya Mas Iyan," Disha menjawab dengan ramah dan tersenyum pada Dio.
Dio sedikit bingung mendengar jawaban Disha. Lalu, Dio pun menatap Iyan. Tatapannya menyiratkan sesuatu, yang hanya Dio dan Iyan yang paham. Iyan menggelengkan kepalanya pelan, dan Dio langsung paham.
"Kalau begitu, selamat menikmati hidangan di cafe ini ya!" Kemudian, Dio melenggang pergi meninggalkan ketiganya.
Suasana menunggu pesanan datang, sedikit sunyi tanpa adanya percakapan.
Disha sibuk dengan pikirannya sendiri. Iyan dan Sisca sibuk dengan ponselnya masing-masing. Lalu, Disha bangkit dan pergi dari tempat duduknya.
"Yan, tunanganmu mau ke mana tuh? Pergi kok nggak bilang ke kamu?" tanya Sisca yang merasa heran dengan kelakuan Disha.
"Biarkan saja lah. Aku masih capek, setelah menempuh perjalanan jarak jauh."
Disha sebenarnya ingin berbicara empat mata dengan Dio. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Iyan dan Dio. Itulah sebabnya, Disha ingin mencari tahu sendiri.
"Mas Dio!" seru Disha, yang mendapati Dio tengah berdiri di samping kasir. Lalu, Disha menghampiri Dio.
"Ada apa?"
"Aku ingin tanya sesuatu. Tolong jawab jujur," ucap Disha tanpa basa basi.
"Apa yang ingin kamu tanyakan? Jangan di sini, kita ke belakang saja!"
Dio dan Disha pun pergi ke taman belakang cafe. Lalu, Disha langsung bertanya, "Kenapa tadi saat aku menjawab bahwa aku calon istri Iyan, kamu seperti tak percaya dan merasa heran?"
"I-itu ... Itu, karena—"
"Karena apa?" desak Disha.
"Itu .. karena yang aku tahu, bukan kamu yang jadi calon istrinya Iyan."
"Kenapa kamu bilang begitu?"
"Ya, karena aku kira .. wanita yang duduk di sebelah kamulah yang akan menjadi calon istri Iyan."
Kedua mata Disha membulat sempurna. Ia terkejut mendengar jawaban dari Dio. Kemudian, Disha menanyakan hal sama sekali lagi pada Dio, dan jawabannya tetap sama. Bahwa Sisca lah yang dianggap sebagai calon istri Iyan oleh Dio.
"Apa mereka sering datang ke mari?"
Dio nampak bingung dan serba salah. Tapi, ia juga merasa tak tega jika harus berbohong pada Disha.
"I-iya. Me-mereka berdua, sering datang ke mari."
Lagi, Disha harus menelan fakta pahit tentang Iyan dan Sisca. Lalu, tanpa berkata apapun lagi pada Dio, Disha kembali ke meja, tempatnya menunggu pesanan datang. Disha bersikap seolah tak tahu apa-apa ... Meskipun dalam hatinya, ia merasa sangat kesal, marah, dan kecewa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments