Wanita Tawanan Tuan CEO

Wanita Tawanan Tuan CEO

Part - 001

"Ayah, aku rindu ayah. Kenapa ayah harus pergi secepat ini? Aku dan ibu selalu kesepian tiap malam. Apa ayah juga rindu dengan kebersamaan kita? Hiks ..."

Seorang gadis remaja berusia 15 tahun, duduk di samping tanah makam yang masih basah. Diusapnya nisan yang bertuliskan nama sang ayah, Adam Mirza. Sedangkan gadis itu, Disha Maharani namanya.

Disha baru saja kehilangan sang ayah untuk selamanya. Ia masih belum bisa merelakan kepergian Adam yang mendadak. Bulir bening yang terus saja mengalir dari sudut mata, langsung ia seka dengan punggung tangan.

"Ayah, aku akan terus mencari siapa pelakunya! Aku tidak rela, jika orang yang bersalah, bebas berkeliaran!" Ucap Disha tegas, dengan sorot mata tajam.

Lalu, Disha bangkit, dan pergi meninggalkan makam ayahnya. Langkahnya gontai, kala ia sudah sampai di gerbang pemakaman. Ia masih ingin menceritakan berbagai hal pada mendiang sang ayah. Namun, ia juga tak boleh melupakan sekolahnya.

Disha menarik napas dalam, sebelum akhirnya, ia benar-benar meninggalkan area TPU. Tanpa Disha sadari, ada seorang pemuda yang diam-diam mengamatinya sedari awal ia keluar dari rumah, hingga menuju ke TPU.

***

Hari begitu cepat berlalu, membuat Disha perlahan-lahan bisa menerima ketiadaan sang ayah. Ia disibukkan dengan kegiatan les tambahan, dan belajar kelompok. Menduduki bangku kelas tiga SMP, membuatnya harus lebih giat belajar, agar ia bisa lulus dengan nilai tinggi dan menjadi yang terbaik di sekolah.

Pagi ini, Disha sedang menali sepatunya. Usai sarapan, ia bersiap untuk berangkat ke sekolah. Kemudian, ia mencari keberadaan Maryam, ibunya, yang masih ada di dapur. Ia hendak berpamitan pada Maryam, karena sudah waktunya untuk pergi menuntut ilmu.

"Ibu, aku berangkat dulu ya!"

Disha mengambil tangan Maryam, untuk diciumnya dengan takzim. Namun, Disha melihat Maryam seperti habis menangis. Lalu, Disha duduk disamping Maryam, dan dengan lembut, Disha mengusap naik turun punggung ibunya. Ia mencoba untuk menenangkan sang ibu yang sedang bersedih.

Ibunya yang duduk di amben dapur, matanya terlihat sembab dan tangannya basah. Disha tahu, Maryam pasti habis menangis. Karena, itu terlihat dari mata dan hidung ibunya yang memerah.

"Ibu, kenapa menangis? Apa Ibu rindu pada ayah, hm?"

Mendengar pertanyaan seperti itu dari Disha, hati Maryam bak tersayat sembilu. Memang benar, Maryam sedang merindukan mendiang Adam. Sebelum kepergian Adam, Maryam selalu dibantu memasak oleh Adam. Maryam meracik bumbu, sedangkan Adam memotong sayurannya. Pun kalau menggoreng lauk, Maryam meracikkan bumbu, Adam yang menggorengnya. Kata Adam, "Bu, tiap goreng lauk pasti ada percikan minyak yang keluar bebas dari penggorengan ke tangan dan wajahmu. Sini, biar ayah saja yang menggantikan ibu menggoreng lauk!"

Mata Maryam kembali mengembun, teringat kenangan bersama Adam. Ia memeluk Disha, sembari mencurahkan semua isi hatinya. Maryam hanya bisa berbagi pada putrinya, karena anak sulungnya sedang ada di tanah rantau. Entah kenapa, sudah beberapa bulan ini anak sulungnya sulit untuk dihubungi.

"Nduk ... Ibu rindu sekali dengan ayahmu. Manalah tiap hari ayahmu itu selalu menyempatkan waktu untuk membantu Ibu di dapur. Padahal, ayahmu juga masih harus bekerja."

Disha yang mendengar penuturan sang ibu, seketika langsung ikut meneteskan air mata. Sosok Adam begitu istimewa bagi istri dan anak-anaknya. Lalu, Disha pun merenggangkan pelukannya, meraup kedua pipi Maryam, dan mengatakan kalau ia akan berusaha terus untuk mencari pelaku tabrak lari ayahnya. Ia berpesan juga pada Maryam, untuk tidak selalu menangis.

Meski pengganti ayahnya sedang berada di tempat jauh, Disha harus bisa menguatkan Maryam. Ya, walaupun Disha sendiri terkadang masih sangat rapuh, tapi ia harus bisa menguatkan ibunya. Disha menjadi semakin terbakar emosinya, karena bahu Maryam kembali berguncang. Lagi, Disha memeluk Maryam, dan mengusap punggung sang ibu. Bisa Disha rasakan, betapa kehilangannya Maryam akan separuh napasnya, Adam.

"Ibu, tenanglah. Sebentar lagi, mas Hamzah pasti pulang. Mas Hamzah tentu bisa mengobati rasa rindu kita pada ayah. Jangan menangis lagi ya, Bu! Disha akan berusaha terus, untuk mencari tahu siapa yang menabrak ayah dan lari dari tanggung jawab. Mau dia orang kaya atau orang dengan jabatan tinggi sekalipun, aku tak takut! Berikan do'amu padaku, Bu!"

Maryam menarik diri dari pelukan, dan menatap tajam pada putrinya. Maryam juga ingin tahu siapa pelaku tabrak lari pada hari sebelum suaminya dinyatakan kritis. Ia pun mengenggam tangan Disha dan berjanji, akan selalu berdo'a untuk putra-putrinya. Maryam ingin keadilan atas kematian Adam.

"Do'a Ibu selalu mengiringi langkah Hamzah dan kamu, Nduk! Kamu benar, kita tak perlu takut kalau pelaku yang menabrak ayahmu punya jabatan tinggi. Karena, semua di mata Allah itu sama."

Maryam menjeda ucapannya, karena ia memperbaiki posisi duduknya. "Tuntutlah ilmu sampai ke perguruan tinggi nanti. Kalau perlu, jadilah seorang pengacara, agar kamu bisa membantu orang yang tak mendapat keadilan seperti kita ini. Biayanya, nanti akan Ibu carikan, dan kamu tak perlu ikut berpikir soal biaya!

Entah kenapa, hukum di negeri kita ini masih lemah, dan mudah dibayar dengan beberapa gepokan rupiah. Ibu merasa kasihan pada nasib kita, dan juga pada orang-orang yang tak mendapat keadilan, seperti kita ini. Hah ...."

Maryam membuang napas di akhir kalimat. Disha yang melirik jam di tangan kirinya, langsung berpamitan pada Maryam, karena takut terlambat sampai sekolah. "Bu, Disha akan belajar dengan giat dan sungguh-sungguh, agar harapan Ibu padaku, bisa aku wujudkan. Aku pamit dulu, Bu! Assalamualaikum."

Maryam mengangguk dan tersenyum penuh pada putrinya. Diusapnya pipi Disha dengan lembut. Lalu, Maryam menjawab salam dari putrinya, "Waalaikumsalam. Hati-hati ya, Nduk!"

Disha langsung bangkit dengan semangat baru, yang ia dapatkan dari sang ibu. Dengan langkah mantap, ia pergi menuju tempatnya menuntut ilmu. Ya, sekolah yang tak jauh dari rumahnya. Hanya sekitar lima menit, jarak dari rumah Disha ke sekolah. Hari ini, ia sedang menjalani ujian menuju kelulusannya.

***

"Bagaimana sekolahmu hari ini, Dek?"

Disha yang baru saja melangkahkan kaki keluar dari gerbang sekolah, menoleh pada sumber suara dan berseru, "Mas Iyan!"

Rona bahagia, terpancar dari wajah Disha, karena ditemui sang pujaan hati, Erwin Septian . Disha lebih suka memanggilnya 'Iyan'.

"Gimana hari ini, ujiannya?" Iyan mengambil tas milik Disha, dan memindahkan benda itu ke pundaknya. Disha yang sudah biasa mendapat perlakuan tersebut, hanya bisa tersenyum bahagia, karena merasa di istimewakan.

"Alhamdulillah lancar, Mas Iyan. Mas Iyan kok jam segini sudah pulang sekolah?"

Pertanyaan Disha membuat Iyan semakin gemas padanya. Iyan mengacak rambut Disha pelan, dan menjawab, "Belum pulang, Dek. Mas, ada praktek mengemudi di luar sekolah. Jadi, Mas mampir ke sini saja dulu, biar pujaan hati Mas ini senang."

Pipi Disha langsung bersemu merah. Lalu, ia naik ke atas motor yang dibawa Iyan untuk menjemputnya. Iyan memang selalu menjemput Disha saat jam pulang sekolah. Namun, kali ini Iyan memang harus ijin ke guru otomotifnya, dengan alasan ingin membeli obat di apotik untuk temannya yang mendadak sakit.

Bila tidak sedang praktek mengemudi mobil di luar sekolah, sudah pasti ia tak diijinkan sang guru. Motor yang Iyan pakai adalah motor milik jasa ojek pangkalan yang kebetulan sedang berada tak jauh dari tempat Iyan praktek. Iyan rela membayar lebih pada si pemilik motor, demi bisa menemui Disha.

Dalam perjalanan pulang, Iyan sengaja membawa motor dengan pelan. Keduanya, Iyan dan Disha, berbicang diatas motor.

"Mas, apa nggak apa-apa, kalau Mas Iyan ketemu aku terus?"

"Kenapa tanya begitu? Kalau ada apa-apa, 'kan nggak mungkin sampai sekarang, Mas masih suka jemput kamu."

"Tapi, apa orang tua Mas Iyan sudah tahu, kalau aku sering dijemput sama panjenengan?"

"Hahaha. Kamu ini, dasar random!"

Disha ikut tertawa mendengar kata 'random' dari Iyan. Disha hanya merasa khawatir, kalau orang tua Iyan marah padanya. Keluarga Iyan adalah orang kaya dan terpandang. Disha tak mungkin bisa berharap lebih pada Iyan.

"Kamu, memikirkan keluarga Mas ya, Dek?"

Disha terkejut karena Iyan bisa tahu, apa yang sedang ia pikirkan tentang Iyan.

"Lho? Mas Iyan kok tahu? Jangan-jangan ...."

Mendengar jawaban Disha, Iyan pun menimpali, "Kita jodoh! Amin."

Disha langsung tertunduk malu, dan tak berkata apa-apa lagi. Sesampainya di jalan setapak menuju rumah, Iyan menepikan sepeda motor. Iyan heran, tumben sekali Disha tak mau diantar hingga depan rumahnya. Rupanya, Disha tak ingin Iyan terlambat kembali ke tempat prakteknya. Iyan pergi, setelah beberapa kali Disha membujuknya.

Dari kejauhan, sesosok pria dengan setelan ala detektif, tengah memantau Disha dari jauh. Ia memotret beberapa kali, saat Disha sedang berbincang dengan Iyan waktu menepi tadi. Lalu, ia menelepon seseorang, yang ia panggil 'Tuan Muda'.

Note :

Amben \= Ranjang

Panjenengan \= Kamu

Nduk \= Sebutan untuk anak perempuan

Terpopuler

Comments

Lala tsu

Lala tsu

disha aku mampir,dapet salam dari discha hehehe 11 12 ya kita.

2023-03-07

1

Inada Ytiva

Inada Ytiva

aku mampir dishaaaa 😍

2023-02-10

0

ayu sitha

ayu sitha

eh, mas iyan so sweet ...

2022-12-31

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!