Esoknya, Maryam yang baru saja selesai menghidangkan sarapan pagi ke meja makan, mendengar suara ketukan pintu. Lalu, Maryam pun setengah berlari menuju pintu. Setelah pintu terbuka, Maryam tak melihat siapa pun. Padahal, tadi jelas-jelas Maryam mendengar suara pintu diketuk.
"Bu, ada apa?" Hamzah berjalan menghampiri Maryam yang masih bergeming di ambang pintu.
"Itu, tadi ada yang mengetuk pintu, Nang. Tapi, kok ya pas dibuka pintunya, nggak ada siapa-siapa."
"Begitu? Coba, biar Hamzah lihat dulu ke luar, Bu."
Hamzah melihat ke sekitar rumah untuk memastikan, siapa yang tadi mengetuk pintu. Lalu, Hamzah menemukan sebuah bungkusan. Lekas, Hamzah mengambil bungkusan tersebut dan membukanya. Hamzah membuka bungkusan itu dengan hati-hati.
Ia mengernyitkan kening begitu melihat isi bungkusan tersebut. Ternyata, ada sepucuk surat di dalamnya.
Kepada Ibu Maryam.
Saya adalah anak dari penabrak suami Anda. Saya turut berduka cita yang sedalam-dalamnya atas meninggalnya Tuan Adam, dan saya tidak membenarkan sama sekali perilaku tabrak lari yang ayah saya lakukan. Saya sungguh meminta maaf atas tindakannya yang tidak bertanggung jawab tersebut.
Sebagai ungkapan duka cita, saya menyertakan kartu ATM berisi sejumlah uang yang bisa Anda akses. Saya tahu sekali bahwa uang tidak akan bisa menggantikan rasa kehilangan suami Anda. Namun, setidaknya hanya ini yang bisa saya lakukan. Harap diterima.
Selesai membaca surat, Hamzah mengecek kembali, isi dari bungkusan itu. Dan benar saja, ada kartu ATM di dalamnya, selain surat tadi.
"Bu! Kemarilah, Bu!" Seru Hamzah.
Maryam yang mendengar suara Hamzah, langsung berlari keluar, tepatnya ke samping rumah. Hal itu membuat napas Maryam sedikit tersengal.
"Ada apa, Nang?"
"Bu, ada yang kirim surat. Dia bilang ...."
"Bilang apa, Nang?"
"Mmm ... Anu ... Itu, Bu," jawab Hamzah yang mendadak jadi gagap.
"Anu apa sih, Nang?!"
"Ibu, baca surat ini saja, ya?"
Hamzah menyerahkan surat tadi pada Maryam. Lalu, Maryam pun membacanya. Hingga pada saat surat tersebut selesai dibaca, Maryam langsung menangis. Hamzah yang melihat Maryam menangis, langsung memeluk ibunya.
"Bu, tenanglah ... Jangan menangis lagi. Mungkin, orang itu ingin menebus kesalahannya pada keluarga kita, Bu."
"Nang ... Apakah kita harus menerima bantuan darinya?"
"Bu, untuk saat ini, kita memang butuh banyak biaya 'kan? Tenanglah, Bu. Ibu gunakan kartunya, saat benar-benar butuh saja. Tapi, semoga Ibu tak perlu memakainya. Aku akan mencari pekerjaan lain, Bu."
"Nang, semoga kamu bisa segera mendapat pekerjaan baru, ya! aamiin."
"Aamiin ...."
Hamzah melepas pelukan, mengambil kembali surat yang dikirim oleh si penyebab kematian ayahnya. Hamzah merangkul Maryam, dan menuntunnya untuk kembali masuk rumah. Surat dan ATM yang masih ada dalam genggaman Hamzah, tak sengaja terlihat oleh Disha.
Disha yang baru saja selesai mandi dan bersiap untuk pergi ke sekolah, berjalan mendekati Hamzah dan bertanya, "Mas, Ibu kenapa? Kok, Ibu kayak habis nangis?"
"Nggak apa-apa kok, Dek. Tadi, Ibu hanya dapat surat dari sudara Ibu. Jadi, Ibu merasa terharu."
Hamzah menatap Maryam, yang masih ada dalam rangkulannya. Maryam pun mengangguki ucapan Hamzah. Lalu, Disha meminta untuk membaca surat itu. Tapi, Maryam menolak permintaan Disha, dan menyimpan amplop tersebut ke kamar.
"Mas, benarkah itu surat dari keluarga jauh ibu?" tanya Disha, saat Maryam sudah berlalu ke kamar.
Hamzah mengangguk. "Iya, kenapa? Kamu curiga?"
Disha langsung menggelengkan kepalanya. Lalu, Hamzah mendaratkan pukulan kecil ke kepala Disha. Hal itu membuat Disha meringis sakit dan menggerutu, "Ihh! Mas Hamzah ini, lho! Aku bilangin ke pacarnya Mas Hamzah nanti!"
"Apa? Kamu bilang apa? Aku nggak dengar. Eh, tapi ... Emang ada yang ngomong ya? Kok, nggak kelihatan orangnya sih? Ihh, serem ...!" Hamzah bergidik, meledek sang adik yang mulai mengerucutkan bibirnya.
Disha melipat tangannya ke depan dada. Mulutnya mulai komat kamit membalas ledekan Hamzah. Kemudian, Hamzah mencubit gemas pipi Disha dan berkata, "Dek, kalau nanti Mas nikah, kamu nggak kesepian 'kan?"
"Nggak tahu, aku mau tempe aja!" Disha langsung berbalik badan dan berlalu meninggalkan sang kakak. Ia masuk ke kamar, menangis setelah mendapat pertanyaan dari kakaknya itu. Ya, Disha tentu akan merasa kesepian tanpa kakaknya. Tapi, ia juga tak mau terlihat lemah di depan kakaknya.
***
Beberapa tahun telah berlalu. Kini, Disha sudah menduduki bangku kelas tiga SMA. Ia masih menjalin hubungan dengan Iyan. Bahkan, Iyan masih sering mengantar dan menjemput Disha, dari rumah ke sekolah.
Pagi ini ... Disha yang sudah rapi dengan seragam putih abu-abunya, tengah menunggu sang pujaan hati, untuk mengantarnya ke sekolah. Hamzah ... Ia sudah punya kerjaan baru, yaitu menjadi karyawan di salah satu toko bangunan. Ponsel Disha yang tadinya jauh dari kata modern, kini sudah berganti menjadi ponsel pintar. Pun dengan Hamzah.
Baru saja, Disha mendapat pesan dari Iyan untuk segera menunggu di depan rumah. Karena Iyan sudah hampir sampai di rumahnya. Disha yang masih duduk di dalam kamar, bergegas keluar dan menghampiri Maryam yang sedang menjemur pakaian di halaman belakang.
"Bu, Disha berangkat sekarang, ya! Mas Iyan sebentar lagi akan segera sampai."
Maryam tersenyum, dan menjawab, "Iya, Nduk. Sekolah yang benar! Dengar dan perhatikan setiap pelajaran dari guru-gurumu, ya!"
"Siap, Kanjeng Ibu!"
Kemudian, Disha mencium punggung tangan Maryam, dan memeluk ibunya sebentar. Lalu, Disha keluar untuk menunggu Iyan. Ternyata, Iyan sudah sampai, dan tengah menanti Disha keluar.
"Lho, Mas Iyan ini kok cepet amat sampainya?"
"Kebetulan, tadi habis mampir ke rumah teman, Dek. Ibu mana?"
"Ada di belakang, lagi jemur pakaian. Kenapa, Mas?"
"Masa kamu lupa? Kan, tiap Mas antar jemput kamu, selalu pamit dulu."
"Owalah ... Iya, Mas. Sebentar."
Disha kembali masuk, dan memanggilkan Maryam untuk Iyan. Beberapa saat kemudian, Disha dan Maryam keluar bersama. Iyan pun langsung menghampiri Maryam dan berpamitan.
"Hati-hati di jalan, Nak Iyan!" peringat Maryam pada Iyan, setelah Iyan mencium takzim punggung tangannya.
"Nggih, Bu," jawab Iyan dengan tersenyum ramah.
Setelahnya, Disha dan Iyan pun pergi. Menempuh perjalanan sekitar lima belas menit, mereka sudah sampai di depan pintu gerbang sekolah. Disha turun dari motor sport yang mengantarnya. Lalu, ia tersenyum manis pada Iyan.
"Mas Iyan, semangat kuliahnya, ya!"
"Pasti dong, Dek. Kamu juga semangat belajarnya. Biar cepet lulus, terus kita nikah. Hehehe."
"Ish! Mas Iyan ini ada-ada sa—"
Ucapan Disha terjeda, karena ada suara yang memanggilnya. Ternyata, teman sebangku Disha baru saja turun dari mobil, dan menyapa Disha dengan antusias, "Pagi, Disha!"
Ia adalah Sisca, Alexa Fransisca. Teman sebangku Disha, sedari awal masuk SMA.
"Pagi, Sisca!"
"Dek, Mas pergi dulu, ya! Nanti kabari ke Mas, pulang jam berapa? Siapa tahu, Mas bisa jemput. Oke?" pamit Iyan pada Disha.
"Hu-um, Mas. Hati-hati di jalan! "
Iyan kembali menyalakan motornya, dan melaju meninggalkan Disha yang masih menatap padanya.
"Pacar kamu, Sha?" tanya Sisca, yang menyadari kalau tatapan Disha masih tertuju ke arah perginya Iyan.
"Eh, iya, Sisca. Emm ... Yuk, kita masuk!"
Keduanya, Disha dan Sisca pun masuk ke sekolah. Sesampainya di kelas, Sisca masih terus bertanya-tanya tentang hubungan Iyan dan Disha, pada Disha.
"Wah, semoga kalian berdua bisa sampai ke pelaminan ya, Sha! Kalian serasi banget lho," puji Sisca, yang berhasil membuat kedua pipi Disha merona merah.
"Iya, Sisca. Semoga saja bisa sampai ke pelaminan. Aamiin."
Disha mengikuti mata pelajaran dengan penuh semangat dan konsentrasi. Hingga tak terasa, jam pulang sekolah pun tiba. Lalu, saat ia sudah berdiri di gerbang sekolah, tak sengaja ia melihat Sisca, sedang mengobrol dengan pujaan hatinya, Iyan. Tanpa pikir panjang, Disha pun menghampiri keduanya.
"Kalian, ngobrolin apa? Oh iya, Mas Iyan kok nggak ngabarin aku, kalau sudah sampai di depan sekolah?"
"Kami ngobrol tentang kamu, Sha. Kebetulan, kita 'kan teman sebangku. Jadi, yang aku tahu tentang kamu, aku beritahu padanya," jawab Sisca, sembari menunjuk Iyan dengan menoleh sekilas pada Iyan.
"Ah, iya. Maaf, Dek. Mas lupa, nggak ngabarin kamu. Ya sudah, ayo kita pulang!" timpal Iyan, yang kemudian menyerahkan helm pada Disha.
"Sisca, aku pulang duluan ya! Kamu, semoga jemputannya segera datang."
Sisca menganggukkan kepalanya sambil tersenyum, dan menjawab, "Iya, Disha."
Kemudian, Disha dan Iyan pun pulang. Sementara Sisca, ia masih berdiri di tempatnya tadi, menunggu mobil jemputannya. Sisca bermain ponsel, dan kemudian ia mengirim pesan pada seseorang. Tak lama setelahnya, mobil yang menjemput Sisca pun tiba. Segera Sisca masuk ke mobil, dan pulang.
Sisca : I Love You!
Sisca mengirim pesan pada seseorang yang ia anggap istimewa bagi dirinya. Senyum bahagia terbit dari bibirnya. Lalu, sang supir yang melihat majikannya tersenyum sendiri pun bertanya, "Non, sedang bahagia ya?" Sang supir melirik sekilas ke arah spion yang ada di atas dashboard mobil dan tersenyum.
"Eh, Pak Marwan tahu saja. Hehehe."
"Tahu lah, Non. Soalnya, Non jarang tersenyum begitu."
Keduanya mengobrol sepanjang perjalanan. Hingga tak terasa, telah sampai di tujuan. Saat Sisca akan turun dari mobil, ponselnya berbunyi, yang menandakan adanya pesan masuk dari aplikasi hijau.
***
Di rumah Maryam ....
"Bu, aku mau ganti baju dulu, ya! Nanti aku bantu Ibu lagi."
Disha yang tengah melipat baju bersama Maryam, merasa risih karena belum ganti baju. Maryam pun mengangguki ucapan putrinya itu. Sesampainya di kamar, Disha mengecek ponselnya, karena tadi sempat berbunyi.
Disha mengernyitkan kening, ketika ia membaca sebuah pesan di ponselnya. "Padahal 'kan, aku nggak kirim pesan apa-apa. Kenapa tiba-tiba, dia kirim pesan begini?" Disha bergumam lirih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Dydy Ailee
up lagi thor, penasaran nih
2022-11-29
0