Disha pulang dengan perasaan lega dan bahagia. Lega, karena ia berhasil melewati ujian pertamanya. Bahagia, karena diantar pulang sang pujaan hati, tanpa ia memintanya. Padahal, Disha belum memberi tahu pada Iyan, akan pulang jam berapa hari ini. Itulah sebabnya, Disha merasa sangat di istimewakan oleh Iyan.
Saat ini, Disha tengah membantu Maryam melipat baju. Semenjak kepergian Adam, Maryam menjadi tukang cuci pakaian. Jasanya dipakai para tetangga yang dekat dengan rumah Maryam. Ada yang hanya sekadar mencuci baju, ada pula yang mencuci dan menyetrika.
Disha menatap sang ibu, yang tak pernah luntur senyumnya. Wajah ayu yang sudah termakan usia, tak membuat kecantikan Maryam berkurang. Mengetahui Disha sedang memperhatikannya, Maryam pun berkata, "Ibumu memanglah cantik, Nduk. Makanya, kamu juga cantik. Begitu pula dengan Hamzah."
Disha tertawa lirih mendengar perkataan Maryam. Lalu, Disha pun bertanya, "Maksud Ibu, mas Hamzah cantik, begitu? Hahaha." Disha tak dapat menahan tawanya lagi.
Maryam menggelengkan kepalanya, sembari terus melipat baju yang tinggal sedikit lagi akan selesai. Maryam menjelaskan pada Disha, tentang maksud dari ucapannya ... "Maksud Ibu, kamu cantik kayak Ibu. Kalau Hamzah, ya sudah jelas. Dia mirip Ayahmu, Nduk. Tapi, watak Hamzah, persis dengan Ibu. Kalau kamu, tak beda jauh dengan mendiang ayahmu."
Tawa Disha terhenti saat Maryam menyebut wataknya, sama dengan mendiang Adam. Disha terdiam beberapa saat, hingga akhirnya Maryam menepuk bahunya. Maryam tahu, Disha masih teringat pada mendiang Adam.
Belum lah genap satu bulan kepergian Adam, pasti masih sulit bagi Disha untuk melewati hari-hari tanpa ayahnya. Namun, Maryam selalu berusaha untuk menguatkan Disha, bagaimanapun caranya. Hanya satu yang belum bisa Maryam lakukan, yaitu menghubungi anak sulungnya, Hamzah.
Merasa khawatir dengan keadaan Hamzah, Maryam menyuruh Disha untuk menelepon sang kakak. Ponsel Disha yang masih jauh dari kata modern, hanya bisa untuk mengirim sms dan melakukan panggilan suara.
"Bu, ini tersambung. Tapi, belum diangkat-angkat sama mas Hamzah."
"Tunggu saja, Nduk! Yang penting sudah tersambung."
Dering panggilan tersambung pun berubah ....
"Halo, assalamualaikum."
Ya, Hamzah kali ini menjawab telepon dari Disha, setelah beberapa bulan ini, ponselnya rusak. Disha pun langsung mencecar Hamzah dengan berbagai pertanyaan.
"Waalaikumsalam. Alhamdulillah, mas Hamzah dari mana saja? Kenapa susah sekali dihubungi dari kemarin, mas? Apa mas Hamzah tidak rindu pada keluarga di kampung, hm?"
"Tenang, dek, tenang. Coba kamu tanyanya satu-satu."
Disha menghela napas. Lalu ... "Baiklah. Mas Hamzah apa kabar?"
"Kabar baik, alhamdulillah. Kamu dan orang tua kita apa kabar? Mas rindu sekali dengan kalian."
Disha menjauhkan ponselnya, ia menitikkan air mata, mendengar pertanyaan dari Hamzah. Maryam pun mengusap punggung Disha. Maryam berbisik lirih di telinga Disha, "Jangan katakan apapun dulu. Bilang pada mas mu, kita semua di sini baik-baik saja. Tanyakan padanya, kapan dia akan pulang?"
Disha menganggukkan kepalanya. Lalu, Disha kembali meletakkan ponselnya ke telinga, dan ia pun menjawab, "Kabar baik, mas. Mas Hamzah, kapan pulang?" Sebisa mungkin Disha berucap dengan nada biasa saja. Ini ia lakukan, agar Hamzah tak menaruh rasa curiga.
"Lusa, dek. Lusa, mas pulang ke kampung. Kalau sekarang, mas belum ada ongkos untuk pulangnya. Hehehe."
"Ya sudah, mas. Yang penting selalu ngabarin aku, ya! Ini, Ibu juga mau ngomong sesuatu sama mas Hamzah."
Disha menyerahkan ponselnya pada Maryam. Maryam menerima ponsel Disha, dan meletakkan benda pipih itu ke telinga kirinya.
"Nang, ndang mulih o!"
(Nak [untuk anak laki-laki], cepat lah pulang!)
"Nggih, sendiko kanjeng ibu."
(Iya, siap kanjeng ibu.)
"Kamu sedang apa sekarang, nang?"
"Ini, baru saja selesai makan, bu. Ibu sedang apa?"
"Baru selesai beres-beres rumah, nang. Ya sudah, kamu lanjutkan aktivitasmu lagi saja. Ibu, masih ada beberapa yang harus dibereskan."
Maryam sengaja berbohong, karena tak ingin kelepasan berbicara pada anak sulungnya itu. Maryam masih belum ingin Hamzah tahu, tentang kabar Adam yang sebenarnya. Ia tak ingin membuat Hamzah bersedih di perantauan.
Lalu, percakapan di telepon pun terputus. Maryam mengembalikan ponsel milik Disha. Keduanya lalu berpelukan, saling menumpahkan air mata.
***
Dua hari kemudian ....
"Assalamualaikum ...."
Disha dan Maryam yang tengah menjemur baju di halaman belakang rumah, langsung berhenti dari aktivitasnya dan menuju ke pintu utama. Dibukanya pintu oleh Maryam, sedangkan Disha berada di belakang ibunya.
"Waalaikumsalam. Ya Allah ... Sulungku. Alhamdulillah ...."
Maryam memeluk anak sulungnya dan mencium kedua pipi, serta kepala Hamzah. Hamzah tersenyum bahagia mendapati perlakuan tersebut. Setelahnya, Hamzah mencium takzim punggung tangan sang ibu.
Disusul oleh Disha yang tak kalah senang mendapati Hamzah yang tiba-tiba datang tanpa memberi kabar, meskipun sudah memberitahu Disha sebelumnya. Bahwa Hamzah akan pulang lusa. Disha mencium takzim punggung tangan sang kakak, dan memeluknya. Disha tak kuasa menahan air matanya.
Hamzah yang sudah rindu pada adiknya, membelai rambut Disha dan mengusap punggungnya.
"Kenapa, Disha? Kok kayak sedih banget sih?" Tanya Hamzah, merasa heran dengan adiknya yang tiba-tiba menangis dalam pelukannya.
Disha mengusap air matanya dan menjawab, "Nggak apa-apa, Mas Hamzah. Sudah yuk, masuk dulu! Sini, Disha bantu bawakan tasnya."
Disha mengambil tas milik Hamzah, yang sudah diletakkan di bawah. Lalu, ketiganya, Maryam, Disha, dan Hamzah masuk ke rumah. Maryam langsung menemani Hamzah duduk di ruang tamu. Sedangkan Disha langsung menuju dapur, setelah meletakkan tas ke kamar Hamzah.
"Disha, tolong buatkan teh hangat untukku, ya!" Seru Hamzah, saat Disha tengah berjalan menuju dapur.
Disha pun menyahut, "Baiklah, Mas. Akan aku buatkan. Mas, duduk saja dulu, sambil ngobrol sama Ibu."
Beberapa menit kemudian, Disha membawa nampan yang berisi dua cangkir teh hangat, dan sepiring ubi rebus. Senyum Hamzah mengembang, manakala mendapati suguhan dari Disha. Pun dengan Maryam, ia ikut tersenyum melihat akurnya kakak-adik itu.
"Bu, ayah mana?"
Pertanyaan Hamzah, sukses membuat senyum Maryam yang bahagia, menjadi senyum lesu. Maryam bingung harus menjawab bagaimana. Ia menatap Disha yang baru saja ikut duduk.
"Mas, diminum dan dimakan dulu, teh juga ubi rebusnya."
Hamzah menoleh pada Disha, "Iya, Dek. Mas minum dan makan dulu, deh."
Hamzah menyeruput teh yang dibuat oleh Disha. Lalu, ia mengambil satu potong ubi rebus, dan memakannya. Maryam dan Disha saling tatap, merasa bingung bagaimana menjelaskannya pada Hamzah.
Disha mendekati Maryam dan berbisik pelan, "Bu, nanti biar aku yang bicara pada mas Hamzah. Ibu tenang saja, aku akan membawa mas Hamzah jalan-jalan ke luar."
Maryam menatap sendu pada Disha. Disha menganggukkan kepala, untuk meyakinkan sang ibu. Lalu, Maryam pun menganggukkan kepalanya pelan.
"Alhamdulillah ... Teh dan ubi rebusnya mantap jiwa, Dek!" Puji Hamzah, sembari mengacungkan kedua jari jempol tangannya. "Kalau bisa kasih empat jempol, akan Mas kasih deh, Dek. Hahaha," sambung Hamzah.
"Ah, Mas Hamzah ini. Yuk Mas, kita jalan-jalan!"
"Ke mana? Mas 'kan baru sampai ini, lho."
Maryam pun menimpali, "Nduk, biarkan Mas mu istirahat dulu. Ini masih terlalu pagi juga. Hamzah, istirahatlah di kamar!"
Hamzah meledek Disha, dengan menjulurkan lidahnya. Disha yang tak terima, langsung menghampiri sang kakak, untuk mencubitnya. Merasa akan dijahili oleh Disha, Hamzah pun langsung berlari menuju kamar, dan menutup pintu.
"Mas, buka pintunya! Baru pulang udah ngeledekin aku aja, ish!" Gerutu Disha, sembari mengetuk dengan keras, pintu kamar Hamzah.
Hamzah tertawa melihat tingkah adiknya itu. Lalu, ia pun menjawab, "Nyenyenyenye! Nanti aku aduin ke Iyan, malu kamu, Dek! Hahaha."
"Huu ... Beraninya ngadu, cemen!"
Pintu kamar terbuka, karena Hamzah tak terima dengan ejekan Disha. Disha langsung mencubit lengan Hamzah berkali-kali. Maryam yang menyaksikan hal itu, menggelengkan kepalanya dan tersenyum.
Sesaat kemudian, Maryam kembali sedih, mengingat Adam yang sudah tiada. Sedangkan Hamzah belum tahu akan hal itu.
"Bentar bentar, Dek. Ayah ke mana sih, Dek?"
Disha berhenti tertawa, dan langsung terdiam mematung. Hamzah yang melihat adiknya bergeming, langsung mengguncang pelan bahu Disha. "Dek, kenapa malah melamun? Ke mana ayah, Dek? Jawab!"
"Mas, ayah sudah tinggal di rumah baru, yang jauh lebih indah. Insya Allah ...." jawab Disha, dengan suara yang mulai terdengar parau. Ya, Disha sedang menahan tangisnya, agar tidak tumpah di hadapan kakaknya.
Hamzah mengerutkan keningnya. Hal itu membuat alisnya bertaut. "Apa maksud ucapan kamu, Dek?" Hamzah merasa bingung dengan jawaban Disha, dan terus bertanya.
Kemudian, Disha mengambil tangan Hamzah, dan menggenggam jemari tangan sang kakak. Sebelum mengucapkan kebenarannya, Disha menatap Maryam terlebih dulu. Lalu, Maryam menganggukkan kepalanya.
Disha menatap lekat wajah Hamzah. Ia menutup matanya sebentar, lalu berkata ... "Mas, ayah sudah meninggalkan kita. Ayah telah berpulang kepada-Nya."
Setelah mengucapkan kebenaran tentang kematian Adam, bulir bening yang sedari tadi Disha tahan, mulai jatuh tanpa ijinnya. Disha tertunduk lesu, dan menangis pilu.
Sedangkan Hamzah, ia syok mendengar ucapan adiknya. Tangannya gemetar dan terlepas dari genggaman adiknya.
"Bagaimana mungkin, Dek? Kamu bohong 'kan, Dek?"
Hati Hamzah bak tersayat sembilu, perih ... mendengar ucapan adiknya. Disha lalu memeluk Hamzah yang terduduk di lantai, dan mulai menangis. Maryam pun ikut menghampiri kedua anaknya yang sedang terisak. Maryam merangkul keduanya, Hamzah dan Disha. Tak ada sepatah kata pun yang terucap dari mereka. Hanya suara isak tangis yang terdengar.
Hingga beberapa menit kemudian, Hamzah mulai bertanya pada Maryam, tentang penyebab kematian ayahnya. Lalu, Maryam pun menceritakan semuanya pada Hamzah. Disha yang harus kembali mendengar kronogi tabrak lari yang menimpa ayahnya, sudah lebih bisa tenang, dan tidak menangis lagi.
"Dek?" Hamzah menggenggam erat jemari Disha.
Disha pun langsung menatap Hamzah. "Iya, Mas?"
Hamzah menarik napas dalam sebelum berkata ... "Dek, kita harus berjuang bersama, untuk menemukan siapa pelakunya!"
Melihat Hamzah begitu kuat tekadnya, Maryam memegang pundak kedua anaknya, "Berjuanglah kalian berdua. Doa Ibu, selalu mengiringi usaha kalian, putra-putriku."
Disha dan Hamzah menatap Maryam bersamaan. Kemudian, tatapan kakak-adik itu beradu sejenak, dan di akhiri dengan anggukan kepala mantap, dengan sorot mata penuh keyakinan. Ketiganya kembali berpelukan, untuk saling menguatkan. Kali ini, Maryam merasa jauh lebih baik, setelah kepulangan anak sulungnya.
"Dari mana kita memulai pencarian pelakunya, Mas?" tanya Disha setelah melepaskan diri, dari pelukan.
"Untuk hal itu, nanti kita bisa minta bantuan dari orang yang bisa kita percaya, Dek."
"Baiklah, Mas. Semoga kita bisa bertemu dengan orang yang memiliki kriteria tersebut."
"Sepertinya Ibu tahu, Nang ... Nduk, siapa orangnya yang tepat," sela Maryam pada percakapan kedua anaknya.
"Siapa itu, Bu?" jawab Hamzah dan Disha bersamaan.
"Dia adalah ...."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Dydy Ailee
semoga segera menemukan pelakunya
2022-11-29
0