Roman membuka kedua matanya secara perlahan. Rasa sakit ditubuhnya pun menghilang seiring dengan kesadarannya. Roman kemudian bangkit dari tidurnya dan bergegas meninggalkan ruang UKS, menuju ruang kelas.
Sial! Di hari pertama sekolah malah sakit! batin Roman.
Perutnya seketika berbunyi. Rasa lapar kini menjalar di sekujur tubuh Roman. Ia lalu menoleh ke arah jam di ruangan kelas lain.
Roman mendapati waktu menunjukan pukul dua siang hari. Ia juga tak mendapati seorangpun di lingkungan sekolah. Sudah pulang kah? batinnya.
Roman berniat melangkahkan kakinya menuju loker siswa. Lemah dan lapar, itulah yang dirasakannya saat ini.
Selepas membuka pintu loker, ia mendapati Rika memperhatikannya. Gadis itu pun turut membuka pintu lokernya. "Ada apa?" tanya Roman sambil meraih tas dalam loker.
"Apa sepeda yang diluar sana itu milikmu?" Rika balik bertanya pada Roman yang telah mengenakan tasnya.
"Ya! Kenapa? Kau tidak suka dengan sepedaku?"
"Bodoh! Lihat sana! Sepedamu terbakar! Aku melihat seorang siswi menyiram bensin lalu menyalakan api ke sepeda itu," ujar Rika seraya mengarahkan tangannya ke arah luar.
"Hah! T-tidakk mungkin!" Roman bergegas menghampiri sepedanya yang terparkir di tempat parkir.
Rasa cemas dihatinya seketika meledak saat mendapati kendaraan roda duanya menghilang. Roman kemudian kembali ke ruang loker untuk mempertanyakan maksud Rika. "Rika!" ucap Roman dengan nada keras.
Namun yang didapatinya hanyalah keheningan. Rika telah pergi meninggalkan ruang loker. Roman menjadi panik tak tertolong. Ia kemudian melihat sebuah kertas yang tertempel pada pintu loker miliknya.
Sepedamu ada dibelakang gedung sekolah. Tepatnya, di bekas gudang peralatan olahraga. Cepat! Atau sepedamu akan hangus! Rika.
Begitulah isi dari kertas tersebut. Roman yang tak ingin putus asa pun mempercayai isi dari kertas itu. Ia kemudian bergegas melangkahkan kakinya memutari gedung sekolah.
Roman tetap berharap bila semua hanyalah ulah iseng dari Rika. Ia berusaha tenang melawan rasa cemas yang semakin menguasai pikirannya. Roman pun tiba didepan sebuah gedung yang merupakan bekas gudang peralatan olahraga.
Dimana? Dimana sepedaku? batin Roman.
Dengan nafas yang tersengal-sengal, Ia menoleh kekanan dan kekiri. Tak ada sedikitpun asap yang muncul. Roman pun jadi kebingungan, dimanakah letak sepedanya itu. Ia kemudian terduduk dan bersandar pada dinding gedung.
Rika, apa kau sedang mempermainkanku? batin Roman.
Roman seketika menoleh kearah pintu gudang yang ada disampingnya. Perhatiannya pun tertuju pada secarik kertas yang menempel pada pintu tersebut.
Dengan rasa kesal, Roman beranjak dari tempatnya bersandar. Ia kemudian menarik kertas itu dan mendapati sebuah pesan yang tertulis didalamnya.
Jika kau ingin mengetahui keberadaan sepedamu, pergilah keatas gedung sekolah. Ada seseorang yang menjelaskannya. Rika.
"Rikaaa!!!" sorak Roman alih-alih tidak percaya dengan perbuatan Rika. Roman pun menyeka peluh dikeningnya. Ia mengatur nafasnya yang telah terhembus berantakan. Dengan tangan yang terkepal secara erat, Roman memantabkan diri untuk melangkahkan kaki, menuju atas gedung sekolah.
Ia mengingat kembali kenangannya akan sepeda yang sangat berharga, bagi dirinya itu. Roman pun meneteskan air matanya seketika, saat membayangkan sosok mendiang ayahnya.
Sepeda itu merupakan pemberian terakhir sang ayah, sebelum beliau meninggal karena kecelakaan. Aku tidak akan memaafkan seseorang yang telah merusak pemberian ayah! batin Roman.
Roman meneguhkan hatinya. Ia menghitung anak tangga yang dinaikinya satu persatu. Hingga tibalah Roman pada sebuah pintu yang menutupi area atas gedung sekolah.
Dengan berlandaskan rasa sayang yang kuat pada mendiang ayahnya, Roman membuka pintu itu secara perlahan. "Hei, Kau! Kemarilah!" himbau salah seorang siswa kelas dua yang telah menanti Roman ditengah area gedung.
"Paul. Ingat, Jangan sampai kelewatan!" tegur Rika kepada Paul yang menghimbau Roman dari kejauhan.
Roman pun mendapati tiga orang siswa termasuk Rika dan Valentine yang berdiri dibelakang seorang siswa lainnya. Seraya memandang tajam, ia pun menghampiri Paul yang tengah menantinya dengan wajah sinis. "Dimana sepedaku?" tanya Roman setelah mendaratkan kakinya dihadapan Paul.
Paul sontak meraih kerah baju Roman. Ia mencengkeramnya dengan kuat. Paul seperti sudah tak sabar ingin menghajar Roman.
Senyuman yang tipis dari wajahnya menandakan orang itu telah bersiap untuk mengintimidasi Roman. "Begitukah caramu bertanya pada senior?" tanya Paul seraya mengencangkan genggamannya pada kerah seragam Roman.
"Aku bertanya! Dimana letak sepedaku?" kata Roman dengan nada keras. Keadaan pun jadi berbalik.
Paul yang berniat memancing emosi Roman, malah emosinya yang seketika memuncak, setelah melihat sikap Roman. Dengan mata yang membelalak lebar, Paul melayangkan tinjunya.
(Bughhh...)
Rasa sakit untuk kesekian kalinya pun bertamu pada perut Roman. Ia sontak membungkukkan badan setelah menerima hantaman tinju yang amat keras dari Paul. "K-kembali ... kembalikan s-sepedaku," kata Roman dengan terbata-bata sambil menggenggam perutnya.
Paul belum merasa puas dengan tindakannya. Emosinya semakin terbakar saat melihat keteguhan Roman. Rasa penasaran pun telah menyuapi Paul untuk menguji seberapa kuat Roman, menghadapi intimidasi darinya. "Hanya karena sepeda usang itu, kau rela mengorbankan dirimu? Hah!!!"
(Bughhh... Bughhh... Bughhh... Bughhh...)
"Hentikan, Paul!" tegur Rika dari kejauhan setelah menyaksikan Paul terus-menerus memberikan pukulan kepada Roman.
"Biarkan! Itu akan membuatnya sadar, siapa dirinya!" sambung Valentine seraya melipat tangan di depan dadanya.
Paul seketika menghentikan aksinya. Ia melepaskan genggamannya pada kerah seragam Roman dan membiarkan anak itu jatuh tersungkur dihadapannya. "Cuih! Sekolah ini tak membutuhkan pecundang sepertimu! Kau lemah hanya karena sepeda usang!" bentak Paul pada Roman yang meringkuk kesakitan.
Ia bergegas meninggalkan Roman yang sudah lemah tak berdaya. Paul merasa puas setelah memberikan pelajaran pada anak itu.
Namun, setelah mendengar sindiran Paul, Roman dengan tegar menahan rasa sakitnya seraya bangkit dari keterpurukan. "Aku lemah bukan karena sepeda yang usang itu," kata Roman yang berusaha mendirikan tubuhnya.
Paul sontak tercengang, setelah mendengar perkataan Roman. Ia menoleh kearah Roman dan mendapati adik kelasnya itu berusaha bangkit, seraya menatap tajam ke arah dirinya.
Tak senang dengan kegigihannya, Paul lalu berbalik menuju Roman. "Apa kau bilang? Coba katakan sekali lagi!" ucap Paul dengan penuh emosi.
Ia kembali mencengkeram kerah seragam Roman dengan kuat. Rasa iba nya telah mati saat mendapati darah yang menetes dari mulut Roman.
Paul kemudian melanjutkan intimidasinya pada adik kelasnya itu. "Berbicaralah sesukamu. Ayo, katakan! Ucapkan semua yang ada dalam pikiranmu!!" bentak Paul.
"Kau tidak akan pernah merasakan bagaimana rasanya bila, benda berhargamu telah dirusak orang," balas Roman seraya menunjukkan senyuman tipisnya.
"Hah? Lalu bagaimana rasanya bila tubuhmu dirusak olehku!" kata Paul yang bersiap melayangkan lututnya pada perut Roman.
(Bughhh... Bughhh... Bughhh... Bughhh...)
Ia semakin membabi-buta dalam menghujam perut Roman dengan hantaman lutut yang sangat keras. Berandalan itu berharap Roman akan menyerah, dan tak lagi mengatakan sesuatu yang dapat membuatnya kesal.
Paul seketika menghentikan hantaman lututnya. Ia mengangkat wajah Roman dan mendapati bibir adik kelasnya itu telah dipenuhi dengan darah.
Paul benar-benar melebihi Iblis. Ia pun melihat Roman yang tersenyum, seraya bersiap menggerakkan bibirnya. "Sepeda itu adalah pemberian terakhir dari ayahku," kata Roman.
(Bugh...)
Roman membiarkan tubuhnya menjadi sasaran pukulan Paul. "A-atas keberhasilanku m-mendapatkan beasiswa di sekolah i-ini," Ia melanjutkan perkataannya dengan terbata-bata.
(Bugh...)
Paul terus menerus memberikan pukulan pada Roman. Ia merasa kesal dengan keteguhan anak itu dalam menghadapi intimidasi darinya.
Semakin Roman meneruskan perkataannya, semakin semangat Paul mendaratkan tinjunya. "A-ayah bekerja k-keras untuk m-mendapatkan sepeda i-tu," tutur Roman dengan terbata-bata. Darah pun semakin membasahi mulut pemuda yang tak berdosa itu.
(Bugh...)
"D-demi memudahkanku u-untuk berangkat k-ke sekolah i-ini," Roman semakin terbata-bata dalam berkata. Walaupun terus menerus menahan sakit, Ia tetap menjelaskan tentang bagaimana sepeda itu menjadi sangat berharga untuknya.
(Bugh...)
Paul semakin terlena dengan kekejamannya. Ia tiada hentinya menghujamkan tinju ke perut Roman. "Hingga m-maut d-datang m-menjemput ayah," sambung Roman seraya menahan rasa sakit yang menyerang tubuhnya.
Berandalan itu telah kehilangan kontrol emosi. Sambil menunjukkan ekspresi kekesalannya, ia bersiap untuk memberikan serentetan pukulan mematikan pada perut Roman. "Kau layak untuk mati," katanya. Paul pun melayangkan pukulan terakhirnya.
(Bughhh... Bughhh... Bughhh... Bughh...)
Ia kemudian mengangkat kepala Roman untuk memastikan bila anak itu telah menyerah. Namun, Paul tercengang saat menyaksikan wajah Roman yang tetap tersenyum menyeringai, walau darah semakin banyak mengalir di mulutnya. "B-bukan k-karena harga s-s-sepedanya, T-t-tapi k-k-karena n-nilai k-k-kenangan ... nya," Roman pun akhirnya, menutup kedua matanya.
"Hentikan, Paul!!!" sorak Rika seraya bergegas menghampiri mereka. Paul melepaskan genggamnya dari kerah seragam Roman.
Ia lalu mengibaskan seragamnya dengan kedua tangan seraya bergegas meninggalkan adik kelas yang sudah tidak berdaya itu.
"Roman! Roman!!" Rika menggoyang-goyangkan tubuh Roman yang sudah tergeletak. Ia merasa menyesal karena sudah mempertemukan Roman dengan Paul. Alih-alih cemas, Rika pun bergegas mencari bantuan.
Sementara Valentine, hanya tercengang tanpa menyadari, air matanya menetes deras membasahi pipi. Ia mematung seraya menyaksikan tubuh Roman yang sudah tidak berdaya itu, dari kejauhan. "Ayo pergi! Biarkan anak itu sendirian!" seru Paul dari balik pintu.
Dengan penuh rasa penyesalan, Valentine menghampiri Roman. Ia kemudian merogoh sakunya dan mengambil sebuah sapu tangan.
Valentine pun semakin terisak dalam tangisnya, saat menyeka luka yang mengalir di mulut Roman. Ia seperti telah larut dalam penyesalannya. Air matanya pun terus menetes dan menetes, hingga membasahi pipi teman sekelasnya itu.
~To be continued~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
Imel • DUBY | gg
kasian Roman
2023-02-06
0
Dewi
Aku baca perlahan-lahan ya, semangat...
2023-01-02
1
Dewi
Iya, memang sepeda usang itu Dimata mereka tidak ada apa-apanya, tapi bagi Roman... sepedanya memiliki sejuta kenangan melekat
2023-01-02
1