BAB 5 : Solusi Yang Bukan Solusi

“Menikah?”

Bukan hanya dia yang kaget dan shock mendengar permintan Bella, bahkan Zely juga ikut kaget. Jangankan berpikir dengan status itu, bahkan untuk sekian tahun ke depan saja rasanya otaknya belum kepikiran ke sana.

“Tante, jangan bercanda,” ujar Zely berpikir kalau Bella hanya memberikan sebuah solusi yang terkesan candaan.

“Ini masalah serius, Zely. Kamu pikir Tante juga bercanda dengan solusi yang harus kamu jalani?”

“Kenapa harus dengan pernikahan?” Pertanyaan diajukan oleh laki-laki itu. “Aku dan dia juga belum tentu melakukan hal sampai ke level jauh. Kenapa sekarang malah memberikan sebuah solusi yang terkesan memaksa?”

Bella bersidekap dada menghadapi pertanyaan dan penolak yang diberikan padanya karena solusi itu.

“Kamu laki-laki, tentu saja tak akan berpikiran jauh, apalagi sampai merasa dirugikan. Tapi Zely, dia seorang gadis. Dia putri satu-satunya di keluarga ini. Sekarang malah terlibat skandal yang bikin malu. Apa menurutmu posisi dia aman? Apa menurutmu kehidupan dia ke depannya akan baik-baik saja?”

“Aku nggak mau,” tolak Zely.

“Ini demi kebaikan kamu, Zely!”

“Ini nikah, loh, Tante. Bukan main-main. Aku tahu jika kesalahanku begitu besar, tapi untuk menikah, aku menolaknya!”

“Jadi, kamu punya solusi lain?” tanya Bella.

Zely kembali diam, matanya ia arahkan pada laki-laki yang saat itu menatapnya. Seakan memberikan kode pada dia untuk mengeluarkan pendapat atau saran terbaik.

Jujur saja Zely tak punya solusi untuk masalah ini. Hanya saja jika dipaksa menikah, ia menolak. Masa iya menikah di saat usianya masih berada di angka dua puluh tahun. Bagaimana cita-cita dan kuliahnya nanti.

“Maaf, tapi sepertinya itu bukanlah hal yang tepat karena di sini permasalahannya belum jelas. Kita nggak tahu, kan … ini sebuah jebakan atau apa. Setidaknya kita harus mencari tahu dulu kenapa ini bisa terjadi. Jangan main asal ambil keputusan tanpa pertimbangan. Nanti kalau tahu kebenarannya, enggak mungkin juga kan saya ceraikan dia begitu saja.”

“Sudah saya bilang, kan … jika ada yang mendapatkan foto-foto ini, bagaimana solusinya? Apa kalian mau bilang kalau dijebak? Yakin orang-orang akan percaya. Saya saja awalnya mungkin tak yakin, tapi setelah melihat foto-foto ini rasanya berat untuk mengatakan percaya.”

Padahal ia ke sini tadi niatnya untuk memastikan kalau keadaan dan kondisi gadis ini baik-baik saja. Karena saat pergi dari hotel dia dalam posisi emosi dan menangis. Anggap saja jika itu adalah bentuk rasa kemanusiaannya. Sampai di sini justru malah dihadapkan pada situasi lebih sulit, karena dirinya datang saat Bella justru sudah dapat kabar tentang kejadian itu.

“Tapi aku nggak mau, Tante.”

“Ini adalah risiko buruk yang harus kamu jalani, Zely. Sebelum bertindak, apakah kamu sudah berpikir dengan risiko yang akan kamu dapatkan, hah? Sekarang mau apalagi … tetap mau menolak solusi yang Tante kasih, boleh saja. Tapi kamu siap nggak, mendapatkan serangan dan hujatan dari orang-orang luar. Kamu sanggup nggak, ketika keluarga besar kita tahu apa yang terjadi sama kalian?”

Iya, semua yang dikatakan Bella memang benar. Hanya saja ia bukan sedang memikirkan hal itu, tapi justru fokus pada kejadian itu. Kenapa bisa terjadi? Apa penyebabnya? Bahkan ia tak bisa mengingat satu pun adegan, jika memang keduanya sudah sampai ke tahap itu.

“Silakan Tante tanya dia saja, sudah melakukan apa padaku.”

“Kalau aku ingat, otomatis sudah ku jelaskan dari awal. Masalahnya aku nggak ingat apa pun,” balasnya akan perkataan Zely. “Sekarang giliranmu yang menuduhku, kan.”

“Ya kamu kan cowok. Yakali aku yang gadis baik-baik sampai begitu bodohnya tidur denganmu.”

“Yasudah, kalau begitu tes keperawanan saja,” usul dia.

Kini usulan itu mendapatkan penolakan dari Zely. Tes keperawanan katanya, iya kalau masih tersegel, bagaimana kalau tidak? Melihat jejak yang dia tinggalkan di tubuhnya, feelingnya begitu berat untuk dirinya berada di level aman. Bagaimana bisa seorang gadis akan aman dihadapan seorang laki-laki yang bisa saja tadi dia dalam kondisi mabuk atau apalah itu.

“Tante, maaf aku mau izin bicara sama dia sebentar.”

“Jangan lama, karena lebih cepat keputusan diambil akan jauh lebih baik. Ingat, foto-foto memalukan ini bisa tersebar dengan begitu mudahnya. Ini hanya bentuk cetak, kita nggak tahu ada di tangan siapa file aslinya. Nggak mau, kan … foto ini lebih dulu menyebar daripada kalian yang terlalu lambat mengambil keputusan.”

Zely memahami ketakutan yang tengah dirasakan oleh Bella. Sebagai seseorang yang bersikap layaknya mamanya sendiri, tentulah khawatir beliau akan sama dengan khawatir mamanya padanya.

Zely menyambar tangan laki-laki itu, dengan cepat dan paksa membawa dia dari sana menuju teras depan. Sampai di sana, ia lepaskan pegangan itu.

“Kamu lebih dewasa daripada aku, kan. Harusnya kamu punya solusi yang lebih bagus dan masuk akal. Kenapa malah bersikap masa bodo begitu?”

Bersidekap dada dihadapan gadis yang ia dengar tadi kalau nama dia adalah Zely.

“Zely, nama yang bagus,” pujinya. “Bukankah sudah ku berikan solusi barusan. Tes keperawanan saja kalau mau yang lebih cepat dan jelas.”

Zely malah menabok lengan dia karena lagi-lagi malah membahas tes itu. Dia tak tahu saja itu salah satu hal yang paling ia hindari. Banyak wanita yang saat melakukan tes sudah dianggap tidak perawan, padahal dia belum melakukan hubungan badan. Terkadang sebuah kecelakaan bisa juga mengakibatkan hilangnya sebuah keperawanan.

“Itu bukan solusi.”

“Lalu sekarang maumu apalagi wahai gadis? Menikah, kamu nggak mau. Tes juga nggak mau. Dengar, kan … apa yang dikatakan tantemu barusan. Jika sampai foto-foto itu tersebar lebih dulu, habislah kita.”

Zely seketika dibuat seperti terkena serangan jantung jika mengingat itu semua. Nggak bisa ia bayangkan jika semua itu terjadi.

“Tapi, kamu yakin kan kalau kita nggak sampai melakukan tindakan yang …” Menghentikan kalimatnya. “Aku bukan tak percaya, hanya saja agak ragu jika antara kita tak terjadi hal itu. Kita nggak tahu apa yang terjadi dan dalam kondisi pikiran yang bagaimana tadi. Sangat mungkin, kan, jika hal itu benar-benar terjadi.”

“Tahu tidak apa yang ingin ku lakukan saat ini?”

“Aku tak perduli,” responnya dengan pertanyaan Zely.

“Aku mau bunuh diri,” ujar Zely. “Aku mau berakhir dari semua masalah ini. Aku capek menghadapinya. Terserah, kamu mau ambil keputusan seperti apa aku nggak perduli.”

Mendengar pernyataan Zely yang ingin bunuh diri, dia malah terkekeh. Bukan hanya tak percaya jika dia sampai nekad melakukan hal itu, bahkan ia anggap dia sedang melakukan lelucon yang lucu.

“Kamu pikir mengakhiri hidup itu adalah hal yang mudah? Jangan berharap banyak. Karena jika belum saatnya kamu berakhir di kehidupan dunia ini, tak akan pernah berhasil. Mau kamu lompat berkali-kali pun dari puncak menara.”

Zely merasa tertekan, ia berasa depressi dengan semua masalah ini.

“Kita ambil jalan aman dulu. Solusi pertama ku setujui,” ujarnya berlalu dari hadapan Zely.

“Solusi pertama,” gumam Zely seperginya laki-laki itu kembali masuk rumah dan menemui Bella yang masih menunggu keputusan. “Maksudnya menikah? Aduh, yang benar aja dong, elahh.”

Zely langsung masuk ke dalam menyusul dia yang sudah lebih dulu. Ini kalau terlalu mumet dan ribet, bakalan minum sianida juga, nih. Biar nggak makin kacau.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!