BAB 4 : Hal Yang Ditakutkan

Zely segera mandi dan berbenah diri, termasuk menggunakan make up dan bedak untuk menyamarkan warna yang berada di lehernya. Kalau di bagian dada atas, setidaknya tertutupi oleh bajunya.

“Demi apa gue sampai digrepe-***** sama cowok nggak jelas!” umpatnya bicara sendiri.

Hatinya mulai resah, tiba-tiba saja pikirannya malah mengingat laki-laki itu. Bukan karena kelakuan dia, tapi lebih ke rasa penasaran dengan tamu yang di maksud oleh Bik Ratih. Kenapa juga feelingnya malah berpikir kalau itu adalah dia.

“Duh, ini gimana, ya? Kalau apa yang gue pikirkan benar. Gimana cara ngandepin Tante,” gumamnya masih tak beranjak dari kursi yang ada di depan meja rias.

Zely menarik napasnya dalam, sembari kembali berpikiran bersih. Sepertinya ketakutannya terlalu berlebihan. Karena sepertinya nggak mungkin juga dia tiba-tiba sampai di sini dengan begitu gampangnya.

“Tenang, Zely! Enggak mungkin kalau sampai dia nongol di sini. Indonesia sangat luas. Masa iya dengan begitu gampang muncul di sini.”

Dia juga laki-laki, masa iya mau minta pertanggungjawaban padanya. Harusnya justru dirinya yang melakukan hal itu, meskipun tak akan pernah ia lakukan.

Beranjak dari kursinya dan berjalan keluar dari kamar. Dengan atasan tanpa lengan dan bawahan rok selutut, ini termasuk pakaian santai untuk di rumah. Ya, meskipun terkadang tantenya akan suka mengomel dengan pakaiannya yang begini.

“Ya ampun, kok tiba-tiba makin deg-deg an,” keluhnya.

Menuruni anak tanggal secara perlahan, niatnya ingin mengintip dan memastikan siapa tamu yang di maksud oleh Bik Ratih, tapi niatnya malah gagal karena keburu dipergoki oleh tantenya yang ternyata ingin menjemputnya ke kamar.

“Tante minta kamu segera turun, kan … kenapa malah mengintip-ngintip di sini seperti seorang maling?”

Zely dibuat diam dalam seketika. Tak biasanya tantenya bersikap dan bicara seperti itu, mengomel pun biasanya tetap terlihat sebuah candaan. Kenapa sekarang berbeda?

“Maaf, Tante … aku mandi dulu tadi.”

“Kita ke depan,”ajak Bella pada Zely.

Zely mengekori langkah Bella menuju ruang tamu. Tetap dengan rasa ketakutan yang makin merajalela di dalam pikirannya. Makin hampir sampai, makin membuat jantungnya berdetak tak karuan. Takut saja jika rasa takutnya ini justru membuat semuanya terbukti dan terjadi.

“Duduk,” suruh Bella pada Zely.

Mengangguk akan perintah tantenya, tapi ketika pandangannya tiba-tiba mengarah pada seseorang yang duduk di sana, ia langsung kaget. Bukan hanya kaget, tapi rasanya seperti ingin melepnyapkan diri dari situasi ini.

Fokus menatap dia, begitupun dia yang memandang dirinya begitu tajam seakan-akan dengan sengaja mengancam keselamatannya.

Menelan salivanya dengan begitu susah. Seperti tertahan di tenggorokan, hingga membuatnya seperti kelelep di dalam lautan.

“Zely, kamu dengar tante, kan?”

“I-iya, Tante,” sahutnya gugup berusaha tetap tenang, meskipun saat ini dirinya sudah merasa kacau dan menggila karena dihadapkan pada dia yang muncul di rumahnya.

Zely duduk di kursi sofa yang ada di samping Bella. Sengaja, karena tak ingin jika dia terus saja memberikannya tatapan itu.

Bella mengarahkan pandangannya pada Zely. “Tante mau tanya satu hal sama kamu,” ujar Bella langsung pada inti permasalahan. “Tapi tolong kamu jawab dnegan sejujurnya.”

“Apa?” Mulai tak baik-baik saja pemikirannya. Sedangakn dia, malah terlihat santai. Sumpah, ya. Dia manusia atau bukan, sih … kenapa seolah tak punya rasa takut atau rasa khawatir sedikitpun tergurat di wajah dia.

“Kamu kenal dia?”

Langsung menggeleng cepat menjawab pertanyaan itu. Ya, ia jujur, kan … karena dirinya memang tak mengenal dia. Jangankan mengenal, tahu nama saja tidak.

“Jawab jujur, Zely!”

Tahu apa yang ia rasakan kini? Yap, sedikit sakit. Bertahun-tahun berada dalam asuhan tantenya, ini adalah kali pertama ia dibentak.

“Tante nggak percaya padaku?”

“Tidak untuk kali ini,” sahut Bella langsung.

Zely terdiam mendengar respon tantenya yang sungguh di luar pemikirannya. Kemana sisi sayangnya beliau yang selama ini ia dapatkan? Kenapa gara-gara hal yang satu ini, semua itu sirna seketika.

“Tante, dari dulu aku jujur tentang apapun sama Tante. Karena aku tahu, sayangnya tante padaku nggak akan pernah bisa diukur dan ku balas dengan hal apapun juga. Tapi sekarang Tante nggak percaya ketika aku bicara jujur.”

Bella sedikit menelan napasnya, ketika sikapnya seakan berubah pada Zely. Bagaimana ia tak kecewa, jika ia dihadapkan pada situasi dan masalah sebesar ini.

“Kenapa kamu telat sampai di rumah tadi siang? Benar, kamu jalan sama Renata dan Jean? Atau … kamu tidur sama dia, Zely?!”

Zely diam. Bibirnya seakan tak sanggup untuk bicara dan hanya bungkam menahan semua kata-kata dan pertanyaan tantenya. Ingin menjawab jujur, tapi kenapa rasanya begitu sulit dan berat. Ini rasanya benar-benar memalukan dan salah satu hal bodoh yang terjadi di kehidupannya.

“Zely! Tante kurang apa sama kamu selama ini? Kurang sayang, kurang perduli atau kurang memberikan kehidupan yang layak untuk kamu?! Kenapa kamu bikin Tante kecewa sampai separah ini, sih, Zel. Tante tahu kalau Tante nggak akan mampu untuk menggantikan sosok orang tuamu, tapi apakah tak bisa membuat sedikit saja hasil perjuangan tante dalam merawat kamu, kamu balas dengan sebuah pencapaian hidup yang baik.”

Zely langsung menangis. Bagaimana tidak, ini adalah pertama kalinya Bella sampai kecewa begitu parah padanya. Ia tak pernah dibentak, tak pernah dilarang melakukan apapun juga bahkan semua inginnya pasti terpenuhi. Sekarang semua hal itu tiba-tiba muncul dari tantenya.

“Tante, aku nggak melakukan apapun juga. Aku bahkan nggak tahu dan nggak mengerti dengan semua kejadian ini,” ungkapnya berkata jujur dengan tangis yang menyertai setiap kata-katanya.

Bella tersenyum simpul, seakan sudah paham dengan maksud dari kata-kata Zely. “Jadi, kamu sekarang mengakui jika kamu dan dia tidur bersama?”

Zely menggeleng cepat. “Aku nggak mengakui itu karena aku nggak melakukannya!”

“Lalu?”

“Ehem.”

Suara deheman itu membuat Zely dan Bella terkesiap dari pembicaraan mereka.

“Jangan memberikan tuduhan seperti itu, karena dia berkata jujur. Aku dan dia … kita berdua nggak saling mengenal. Bahkan aku juga nggak tahu dia siapa dan kenapa kita berdua sampai berada di dalam satu kamar dan …” Menghentikan kalimatnya. “Sepertinya kita berdua dijebak,” lanjutnya.

“Dijebak?” tanya Bella. Kemudian tersenyum sinis atas pengakuan laki-laki itu. Menyambar sebuah amplop berwarna coklat yang ada di bagian bawah meja, kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalamnya.

“Ini maksudnya yang dijebak?!” Melemparkan beberapa lembaran foto di meja.

Laki-laki itu menyambar lembaran foto yang diberikan oleh Bella dan menelisik satu persatu. Seakan tak ada sisi untuk mengelak, bahkan di semua foto terlihat keduanya seolah menikmati hal yang memalukan itu. Bukan hanya sekadar foto tanpa sadar, karena posisi keduanya juga terlihat sadar.

Zely yang ikut penasaran kini mengambil alih lembaran foto yang ada di tangan dia. Melihat satu persatu, rasanya bikin mual dan emosi. Bagaimana bisa ia melakukan adegan tak senonoh begitu dalam keadaan sadar. Sementara dirinya saja merasa tak mengingat apapun juga.

“Masih mencoba untuk berkilah, Zel?”

“Tapi aku nggak lakuin ini, Tante. Tante harus percaya sama aku,” pintanya memohon.

“Mungkin kalau tak ada bukti foto, Tante bisa percaya begitu saja sama apa yang kamu katakan. Tapi sekarang jelas-jelas ada bukti yang sangat akurat. Jadi, Tante begitu berat dan susah rasanya untuk mengatakan dan mempercayai kamu.”

“Kamu yakin tak mengingat sesuatu?”

Ia sedang memohon sebuah kepercayaan dari tantenya, tapi laki-laki ini justru malah ikut-ikutan seolah menuduhnya tahu semua ini.

“Jadi sekarang kamu menuduhku?”

“Ck, siapa yang menuduh, sih? Aku kan sedang bertanya.”

“Tapi pertanyaan itu lebih terkesan menuduh. Kamu pikir aku cewek apaan yang mau melakukan itu dengan laki-laki yang tak ku kenal.”

Ia merasa semua wanita selalu bikin ribut dan ribet. Hanya bertanya, malah dikira menuduh.

“Ini hal yang memalukan, Zel. Kamu sudah tidur satu kamar dengan laki-laki ini. Sekarang, bisa kasih solusi atau sebuah saran sama Tante untuk menutup semua masalah ini?”

Apa yang akan ia jawab? Karena saat ini otaknya bahkan tak tahu harus berpikir seperti apa. Semua dipenuhi oleh rasa bersalahnya pada tantenya. Ia lalai menjaga diri, hingga membuat dia kecewa.

“Iya, kalau foto ini hanya Tante yang pegang, bagaimana jika ada orang lain yang memilikinya? Bahkan Tante nggak tahu siapa pengirimnya. Jika semua orang tahu, kamu bisa menebak seperti apa posisi keluarga kita di mata semua orang, Zel?”

“Aku nggak tahu harus ngapain, Tante. Jangan menuntutku seperti itu. Aku bingung harus melakukan apa sekarang.”

Pandangan Bella mengarah dan fokus pada laki-laki yang masih duduk dengan begitu tenang. Padahal Zely menangis-nangis karena pemasalahan ini, justru dia malah terlihat biasa saja.

“Nikahi Zely,” ujar Bella pada dia.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!