BAB 3 : Berbohong

Sampai di luar, baru ia sadari ternyata saat ini berada di sebuah hotel. Jebakan? Bahkan keduanya berada di sebuah kamar hotel. Apanya yang jebakan. Ini benar-benar sebuah niat buruk yang memang sudah direncanakan dari awal.

Mengeluarkan sebuah syal dari dalam tas, kemudian melilitkan benda itu di lehernya. Bukan karena dingin, tapi justru untuk menutupi bekas tanda yang ada di lekukan lehernya. Setelah itu barulah melanjutkan langkahnya meninggalkan tempat itu.

Pulang ke rumah dengan menggunakan sebuah taksi. Selama perjalanan pun kondisi hatinya masih sama seperti sebelumnya. Sedih, tak tenang, dan kembali menangis kalau sudah kepikiran kejadian itu.

Ponselnya berdering, terlihat kalau yang kembali meneleponnya adalah Bella, tantenya. Ya, wanita itu pastilah cemas akan keadaannya. Harusnya ia sudah sampai di rumah dari sekian jam yang lalu, tapi sekarang malah belum menampakkan diri. Ditambah lagi dengan tadi telepon tantenya dengan sengaja ia tutup, pasti makin membuat beliau cemas.

“Hallo, Tante.”

“Zel, kamu di mana, sih, Nak? Tante khawatir sama kamu.”

“Ini aku udah di jalan mau pulang kok, Tan. Bentar lagi juga nyampe.”

“Beneran?”

“Iya, Tante.”

“Yasudah, kamu hati-hati, ya. Tante tunggu.”

Percakapan ditutup, kembali menghela napasnya yang terasa amat berat. Ini bukan lagi masalah sepele, tapi justru sangat besar. Bukan lagi menyangkut detik ini dan saat ini, tapi justru masa depannya sudah ikut rusak. Bagaimana dengan kuliahnya, bagaimana caranya menjelaskan pada tantenya nanti? Apa beliau akan percaya begitu saja dengan apa yang ia jelaskan? Padahal selama ini wanita itu adalah satu-satunya orang yang selalu menjadikan dirinya nomer satu perihal apapun juga, sekarang semua ia hancurkan dalam waktu kurang dari satu hari.

Beberapa saat perjalanan, akhirnya ia sampai di rumah. Taksi berhenti di dekat pagar, setelah membayar ia pun segera turun.

Seorang satpam membukakan pagar  pembatas setinggi dua meter sebagai akses masuk area rumah. Masih dengan perasaan kacau, ia geret koper hingga sampai teras. Belum mengetuk pintu, seseorang sudah lebih dulu keluar dari sana.

“Ya ampun, Zely kamu kemana aja, sih? Tante khawatir, loh.”

Bella langsung bergegas menghampiri ponakannya itu. Sebagai satu-satunya keluarga yang tersisa dari almarhum kakaknya, tentu saja rasa sayangnya pada gadis ini sudah seperti sayang pada anak sendiri. Di usianya yang sudah menginjak angka tiga puluh lima tahun, bahkan dirinya seakan mengabaikan hal pribadinya demi hanya fokus pada Zely.

Zely memaksakan senyuman di bibirnya, pun raut wajah yang ia buat senatural mungkin. Tak ingin jika Bella tahu apa yang sudah terjadi pada dirinya. Ya, mungkin untuk saat ini jangan dulu, tapi ia tak tahu apa yang akan terjadi nanti. Alur seperti apa yang sudah dipersiapkan untuk dirinya di depan sana.

“Tante, aku baik-baik aja, kok. Tadi tuh aku kelamaan nungguin Tante jemput, nah pas tuh Jean nelepon aku. Yaudah, aku ikut dia karena lagi makan di luar sama Renata juga,” jelasnya.

Seorang asisten rumah tangga membantu untuk membawakan koper milik Zely menuju kamar. Sedangkan ia masuk dan berjalan sambil ngobrol dengan tantenya.

“Harusnya kamu kasih kabar sama Tante dong, Sayang. Ini tiba-tiba ngilang, nggak ada kabar. Dan lagi, tadi dengar suara yang aneh-aneh pas bicara di telepon. Malah kamu langsung tutup telepon lagi, gimana Tante nggak mikir buruk.”

Zely hanya bisa menanggapi semua perkataan tantenya dengan senyuman berat dan hambar. Ingin rasanya menjedotkan kepalanya ke dinding agar kejadian tadi bisa hilang dari ingatannya. Atau, sekalian juga amnesia nggak apa-apa. Bukan hanya kejadian, tapi wajah laki-laki itu saja seakan menempel di dalam memori ingatannya.

“Yang jelas sekarang kan aku udah nyampe rumah, Tan. Duh, rasanya capek banget. Pengin tiduran sepanjang hari aku.”

“Yah … padahal tante mau ngobrol sambil kangen-kangenan sama kamu, loh.” Bella menunjukkan rasa kecewanya.

“Besok kita ngobrol panjang sepanjang jalan kenangan deh, Tan. Aku benar-benar capek kali ini. Maklum aja, tadi habis perjalanan jauh, nyampe sini langsung jalan-jalan juga.” Terkekeh sebagai pemanis dan pemecah suasana tegang.

Bella mengangguk paham akan apa yang dikatakan Zely. Biasanya dia juga begitu kalau pulang. Nyampe sini malah memperbanyak tidur dan mendekam di dalam kamar.

“Yasudah, sekarang kamu istirahat, ya. Tapi jangan bablas tidurnya. Ntar malah sampai lupa makan lagi.”

“Iya, Tanteku tersayang.”

Jadilah, Zely melanjutkan langkahnya menuju lantai dua di mana posisi kamarnya berada. Di depan tantenya, harus terlihat baik-baik saja seakan tanpa masalah. Berlalu dari hadapan beliau, langsung memasang wajah dengan permasalahan yang berat. Kakinya bahkan terasa lemas saat menapaki satu-persatu anak tangga.

Sampai di dalam kamar, menanggalkan sepatunya. Langsung menghempaskan badannya di kasur, seolah sedang melepaskan beban yang ada di pikirannya. Rasanya berat banget masalahnya kali ini, di saat usianya menginjak angka dua puluh tahun. Bagaimana caranya menyelesaikannya … ia bingung. Tak tahu tadi apakah yang terjadi antara dirinya dan laki-laki itu, tapi bekas dan jejak di badannya seakan mematahkan pikiran baik. Bagaimana mungkin seorang laki-laki bisa menahan keinginan dengan apa yang ada di depan mata, kan.

“Aku takut,” isaknya tak tahan. “Aku takut kalau tante sampai tahu semua ini. Tante pasti kesal dan kecewa padaku. Selama ini kesan beliau begitu baik, sekarang saat sampai langsung ku berikan hal memalukan.”

Menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan, agar suara tangisnya tak sampai terdengar hingga keluar kamar. Bingung, kemana dirinya akan meminta solusi. Serasa menghadapi ujian hidup sendirian tanpa adanya tempat mengeluh.

Capek menangis dan berpikir, Zely sampai ketiduran. Padahal dari sana ia sudah punya ancang-ancang akan menghabiskan akhir pekan di sini dengan kedua sahabatnya, tapi justru mucul masalah yang begitu besar.

Terdengar ketukan pintu kamar serta panggilan dari sana. Bisa ia prediksi kalau itu adalah suara Bik Ratih yang memanggilnya. Malas untuk bangun, kemudian mengedarkan pandangannya ke arah balkon. Terlihat suasana sudah gelap, pertanda kalau hari sudah malam. Tentu saja tantenya akan heboh saat ia belum juga keluar kamar sedari tadi.

Segera bangun dan beranjak dari posisi tidurnya, dengan malas berjalan menuju pintu. Nyaris saja ketahuan, saat mengingat kalau syalnya ia tinggalkan di kasur. Kebayang kalau sampai BIbik tahu dan melihat bekas di lehernya. Kembali melingkarkan benda itu di lehernya dan membuka pintu kamar.

“Ya, Bik?”

“Itu, Non … kata nyonya diminta untuk segera turun.”

“Mau ngapain ya, Bik?”

“Duh, Bibik nggak tahu, Non. Cuman dilihat dari raut wajah Nyonya, kayaknya ada masalah, Non.”

Zely tiba-tiba merasa takut dan cemas. Mendengar perkataan Bik Ratih, membuat ketakutannya menjadi-jadi. Apa jangan-jangan tantenya sudah mengetahui kejadian apa yang menimpanya? Tapi, bagaimana mungkin bisa tahu?

“Non.”

Zely yang berada dalam pikirannya, tersentak kaget saat panggilan waniita paruh baya itu membuyarkan lamunannya.

“Non kenapa?”

Tersenyum berat dan menggeleng. “Bibik bilang sama Tante, ya … aku mandi bentar.”

“Jangan lama ya, Non. Soalnya ada tamu juga di bawah, Non. Kayaknya ada hubungannya sama Non Zely.”

Haruskah ia pingsan saat ini? Maksud Bibik apaan mengatakan hal seperti itu? Sedang menakut-nakuti dirinya atau gimana?

“Tamu?”

“Iya, Non … tamunya cowok. Sekarang lagi bicara sama Nyonya Bella.”

Tanpa aba-aba, Zely langsung mundur satu langkah masuk kamarnya. Kemudian tanpa bicara dan kata, segera menutup pintu. Jantungnya tiba-tiba berdetak tak karuan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!