4. Posisi Perempuan Harus Lebih Rendah

Kembali ke rumah setelah berdebat panjang yang Dewa rasakan adalah ketenangan saat melihat Wulan dengan tawa menyambutnya sembari menceritakan hal lucu yang baru dialami.

Dengan lamat menatap gadisnya yang tanpa sadar menggenggam lengan Dewa sembari tertawa, jika sedang seperti ini Wulan terlihat begitu manis karena kedua lesung terlihat menghiasi.

"Wa?!" tegurnya setelah puas bercerita.

Reflek Dewa mengusap rambut pendek Wulan. "Udah ceritanya? Udah makan belum?"

Menepuk jidad. "Ah lupa, kamu seharian kerja pasti capek ya. Kamu mandi dulu ya Wa, aku siapin makanan."

"Kamu sendiri udah makan belum?"

Menggeleng. "Belum."

"Aku mandi, nanti makan bareng ya."

"Iya, sudah sana mandi! Kamu bau busuk."

"Mau mandi bareng?" Mengedipkan mata genit.

"Mesum!" Wulan kabur membuat tawa Dewa pecah.

Kuning cahaya di malam hari menerangi rumah Wulan yang dikamarnya membantu Dewa yang tengah diajari isterinya.

"Astaga Dewa," desah gadis bermata cokelat itu sembari memeluk jidad melihat jawaban di kertas suaminya. "Kamu selama ini ngapain aja disekolah heh?"

"Kita baru selesai ujian minggu lalu masa udah lupa Lan?"

"Iya di otakmu cuma mikir gimana caranya beli gorengan dua ribu dapet lima," omelnya sembari membehani jawab.

Dewa sepertinya akan awet muda kini karena tidak ada hari dimana ia tidak tertawa.

"Itu tahu."

"Udah cukup bercandanya, sekarang yang serius."

Bila tadi mereka berhadapan dengan meja kecil sebagai penghalang kini Wulan duduk di sebelah suaminya sembari menunjukkan penyelesaian soal.

"Lihat ini yang benar, tolong pahami ya Dewa."

Melirik soal sekilas, nyatanya istrinya lebih menarik mata hingga sesekali mencuri pandang saat Wulan terus mengoceh tentang rumus yang memusingkan.

"Sekarang udah jelaskan? Ada pertanyaan engga?" tanya Wulan.

Menghela nafas hingga keduanya bersikap. "Ada engga rumus biar engga jatuh cinta?"

Mata Wulan berkedut sebelum menjitak kepala Dewa. "Pikiranmu kemana aja Dewa?! Aku ajarin sampai serak gini sama sekali engga masuk ke otak kamu?"

Reflek Dewa mencubit pipi Wulan yang membuat gadis itu memukul tangannya sembari memejam.

"Sakit Dewa."

"Lagian cerewet banget, aku kan cuma bercanda. Jangan serius banget."

"Bisa ya kamu bercanda? Harusnya kamu banyak bersyukur karena engga semua orang punya kesempatan buat kuliah."

Keduanya terdiam dengan air muka tak mengenakkan, perasaan bersalah kembali menggerogoti Dewa.

Menyadari kecanggungan Wulan berdehem.

"Udah malem Wa, aku capek."

"Lan kamu pengen banget kuliah ya?"

Kalimat itu menghentikan langkah Wulan, tanpa menoleh ia menghembus nafas.

"Udah malem Wa, kamu juga tidur ya nanti sakit."

"Lan aku bakal buat kamu kuliah."

Wulan memilih menarik selimut menyembunyikan air mata yang tanpa izin mendobrak pertahanan.

"Selamat malam Wa."

Pagi diawali dengan sarapan bersama keluarga Wulan, setelah itu Dewa berjalan menuju rumah kedua orang tuanya.

"Mama!" sapanya begitu menemukan sosok yang melahirkan tengah menanam bunga di halaman.

"Loh Dewa? Kamu sendiri? Mana Wulan?"

Jongkok di samping Desti lalu ikut menaruh tanah ke dalam pot plastik.

"Sengaja pengen ngobrol sama Mama, udah lama engga berkebun bareng."

Desti menggelengkan kepalanya merasa lucu. "Kamu itu banyak alasan, mana ada kamu seneng berkebun. Kenapa sayang? Ada masalah sama Wulan?"

"Ma aku merasa bersalah."

"Kenapa?"

"Buat dia terjebak diperjodohan ini dan merenggut cita-citanya."

"Tidak ada yang merebut apapun Dewa, keluarganya setuju tanpa paksakan menikahkan kalian."

"Tapi Wulan dipaksa Ma."

"Apanya yang dipaksa Dewa, sebelum kalian menikah Mama sendiri yang mastiin kalau Wulan setuju."

"Itu karena paksaan, mereka punya hutang sama kita makanya segan menolak."

"Itu kan urusan mereka, Lagipula kalian sudah menikah mau diapakan lagi. Wulan juga bernasib baik, dia dan keluarganya sekarang engga punya hutang, mahar yang kita kasih ke mereka juga bukan nominal kecil," Dumel wanita itu.

"Kenapa engga ada yang bisa memahami aku ataupun Wulan."

Desi berdecak. "Kamu berharap apa? Orang tuamu ini membiayainya? Kamu kira ini sinetron."

"Mama sebelum jadi ibuku adalah seorang anak dan gadis. Apa Mama tidak bisa merasakan perasaan sesama perempuan?"

"Sudah cukup Dewa, tidak ada beban lagi. Kamu kira uang yang Bapakmu keluarkan sedikit? Ingat beberapa bulan lagi kalian tinggal di kota, rumah dan kehidupan juga masih Bapak yang tanggung. Jangan memberatkan beliau."

"Lagipula Wulan itu seorang istri sekarang, tugasnya melayani kamu bukan menyaingimu. Perempuan itu jangan sekolah tinggi-tinggi entar engga bisa menghargai suami."

Dewa menatap tak percaya. "Jika Bapak yang mengatakan ini aku maklumin tapi mendengar ini dari Mama aku merasa malu."

"Dewa!" marah Desi.

"Aku pamit Ma, assalamu'alaikum."

Kepergian Dewa ditatap tajam lalu berdiri membasuh tangannya sebelum berjalan melewati gerbang rumah.

Melawati beberapa meter hingga akhirnya menemukan rumah anyaman yang selama beberapa hari menjadi tempat berteduh anak lelaki Desi.

"Wulan!"

Gadis yang tengah mengepel kaget dengan kedatangan mertuanya, dengan cepat menghampiri namun tamparan yang menyambut.

plak!

"Mama?" monolog Wulan sembari memegangi pipinya.

"Berani ya kamu meracuni pikiran Dewa sampai dia bisa melawanku, ibunya sendiri."

"Mama aku minta maaf, tapi aku engga pernah sekalipun meracuni pikiran Dewa Ma. Mama salah paham." Tetes air mata membasahi, seumur hidup Wulan bahkan tidak pernah dipukul kedua orang tuanya.

"Denger ya Wulan, ingat posisi kamu! Sebagai perempuan udah kewajiban kamu mengurus suami bukan meminta kesetaraan, mau sampai kapanpun kodrat perempuan itu tidak lebih tinggi ataupun sejajar dengan suami."

Sekarang Wulan sadar kemana arah pembicaraan mertuanya, ia kesal namun tidak bisa memarahi orang di depannya.

"Kamu jangan sekali-kali meracuni pikiran Dewa, memang dia suamimu tapi ingat. Kamu dan keluargamu akan jadi gelandangan jika tidak kami tolong, jadi Mama mohon sedikit membalas budi kami jika kamu tahu malu."

"Aku minta maaf Ma, Wulan janji akan membalas budi kalian."

"Ingat itu baik-baik!"

Tiga puluh detik sehabis kepergian Desi, Wulan tidak jua mengangkat kepalanya. Hatinya begitu kebas kini, tapi dia bersyukur di rumah hanya ada dirinya sehingga masalah ini tidak berbuntut.

_______

Ketakutan terbesar perempuan setelah menikah adalah selalu dinilai salah:)

Yuk kasih banyak dukungan untuk cerita receh ini, makasih yang udah mau mampir❤

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!