Dari TK Sampai KUA

Dari TK Sampai KUA

1. Punya Dewa Kecil

Janur kuning melengkung sebagai pertanda adanya pernikahan, tak jauh terdapat tenda berwana biru yang kini terdengar suara seorang mempelai lelaki mengucap kabul.

"Saya Terima nikah dan kawinnya, Wulan Septiya binti Tresno dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."

"Bagaimna para sanksi sah?" tanya penghulu.

"Sah!" ucap serempak yang membuat semua orang mengucap hamdalah.

Berbeda dengan keluarga serta tamu undangan, kedua mempelai yang duduk berdampingan justru menghela nafas berat.

Pernikahan keduanya memang dilakukan akibat perjodohan, Wulan yang baru seminggu selesai ujian nasional tingkat menengah atas diharuskan menikah dengan Dewa, teman sekelasnya.

"Mantanmu dateng tuh!" bisik Dewa sedangkan Wulan seketika terpaku dengan kedatangannya.

"Selamat untuk kalian, semoga jadi keluarga yang sakinah mawadah warohmah."

"Mas Apit aku minta maaf."

Dengan mata berkaca Wulan mencoba meraih tangan mantan kekasihnya yang bahkan belum diputuskan itu namun lelaki itu mundur sebelum tersenyum dan pergi.

"Astaga, nangis Lan?" cemooh suami Wulan.

"Orang engga punya perasaan kayak kamu engga akan ngerti."

"Yasudahlah, toh itu artinya dia bukan jodoh kamu."

Wulan menatap tajam Dewa. "Tapi aku engga mau punya jodoh kayak kamu."

"Dikira aku suka? Dih aku juga maunya punya istri yang bahenol bukan kayak kamu."

Wulan mendelik tajam sebelum menginjak kaki Dewa yang membuat lelaki berusia delapan belas tahun itu mengaduh.

"Baru sah udah KDRT? Ini masih banyak orang loh Lan, ganas banget."

Sementara Dewa mendumel, gadis yang memakai kebaya putih lengkap dengan adatnya menerawang sebelum dirinya berakhir menikah dengan Dewa.

Flasback on.

Mulut berkomat-komit menghafal beberapa patah kata dari buku, tak jauh terlihat lelaki paruh baya yang tengah duduk dikursi bambu sembari merokok menggeleng melihat anaknya.

"Wulan udah engga usah terlalu keras belajar, perempuan engga perlu pinter-pinter, nanti juga ketemunya dapur, sumur sama kasur."

Omongan merendahkan seperti itu sudah menjadi makanan sehari-hari bagi perempuan, apalagi hidup Wulan di desa yang masih kental dengan kebudayaan. Bukan menjadi hal tabu anak menegah pertama sudah menjadi ibu.

"Bapakmu bener Lan, udah kamu pasti lulus juga. Kalau engga lulus engga ada bedanya kan, kamu tetep nikah sama Dewa." Wanita bertubuh gempal menghampiri sang suami dengan secangkir kopi.

"Kamu itu sebentar lagi menikah, ketimbang baca buku engga guna itu mending ibu ajarin masak. Biar suamimu betah."

Perasaan Wulan sudah tidak mengenakkan, dia membanting bukunya lalu menghampiri kedua orang tuanya.

"Pak! Bu! Mau aku jelasin bagaimana kalau aku engga mau nikah sama Dewa, aku mau kuliah."

Ibu menggeleng. "Kuliah uang darimana Lan? Kamu tahu sendiri makan saja Bapakmu harus seharian diladang. Uang kuliah kan engga semurah beli kerupuk."

"Terus karena Bapak kesulitan kasih aku makan lantas aku dilempar? Kayak gini sama aja kalian buang aku. Wulan ini anak kalian bukan?" nada Wulan melemah di akhir sebelum setetes air turun. "Wulan kuliah engga akan minta ke Bapak, Wulan bakal berjuang untuk masa depan."

"Wulan! Jangan keras kepala! Semuanya sudah dibahas, kalau pernikahan batal mau ditaruh dimana muka bapakmu."

Flashback off.

Malam telah tiba dan di kamar yang sudah dihias sedemikian rupa itu Wulan terdampar, kini ia hanya mengenakkan baju tidur dan siap mengarungi mimpi namun melihat dekorasi, perasaan gadis itu menjadi campur aduk.

"Kamu mau ngapain?!"

Melihat kedatangan suaminya Wulan seketika berdiri, menunjukkan wajah sangar yang membuat Dewa tertawa.

"Eh santai aja, kayak mau aku bunuh aja."

Wulan mendekat, mengacungkan jari telunjuknya. "Meski kita udah sah bukan berarti kamu bisa seenaknya ya sentuh aku."

Dewa ikut mengacungkan jari sebelum memundurkan kening Wulan. "Ini otak kotor banget, pasti udah mikirin yang aneh-aneh."

"Dewa!" kesal Wulan.

"Apa?"

Membuang muka, Wulan melirik ke ************ suaminya sebentar sebelum berdecak.

"Paling juga kamu engga mau begituan karena malu punyanya kecil."

Wajah kaget tak terlewatkan dari Dewa. "Eh ngomong apa?"

Wulan menatap Dewa. "Punyamu kecil."

"Sebenernya aku engga berniat untuk menyentuh kamu tapi kamu udah menyakiti perasaan aku. Enak aja ngatain punya aku kecil."

Dewa menggengam lengan Wulan yang membuat gadis berambut sebahu itu melotot, belum lagi kala suaminya kian mendekatkan tubuh mereka hingga bersentuh.

"Dewa! ***** ya!" histeris Wulan merasakan ada yang tegang, berusaha melepaskan diri namun dicegah.

"Ini salah kamu ngatain aku."

"Apaan si! Lepas!" Sekuat tenaga berusaha lepas.

"Salah sendiri mancing, aku lelaki normal ya Lan."

"Bapak! Ibu tolong!" teriak Wulan yang kini membuat Dewa seketika melepas lalu menutup mulut istrinya.

"Gila ya?! Kamu engga malu?"

Mendorong Dewa hingga beberapa langkah. "Makanya jangan macem-macem kalau engga mau aku teriak."

Setelah mengatakan itu Wulan segera menuju ranjang dan merebahkan diri namun tak lama menatap Dewa yang masih berdiri di tempat.

"Jangan lihatin aku terus! Tidur sana!"

Dewa mendekat ranjang, menempatkan diri di sebelah Wulan yang membuat gadis itu mengambil bantal hendak memukul namun ditahan lelaki itu.

"Engga usah lebay, aku juga mau tidur. Disini cuma ada satu ranjang. Dan jangan berharap aku tidur di lantai. Kalau kamu engga mau tidur seranjang silakan saja mau tidur dimanapun."

Wulan turun, bukan menjadi peran wanita yang tersakiti dalam novel lalu tidur di lantai namun dia keluar kamar.

Saat hendak menarik pintu keanehan terjadi karena tidak satu senti kayu itu bergerak.

"Cobaan apa lagi ini Tuhan."

Dewa yang melihat itu tertawa. "Bukan cobaan tapi emang harus cobain, sini sayang abang belai!"

Wulan meremang mendengar Dewa, rasanya ia ingin menghilang dengan bantuan Doraemon.

Mentari menarik paksa Wulan untuk bangun, sebelum turun melirik bagian kosong yang semalam dihuni Dewa.

"Kemana suami jadi-jadian itu," gumamnya.

"Wah pengantin baru udah bangun, capek banget ya semalam sampai kesiangan."

Tidak aneh lagi para tetangga memenuhi ruang tamu sembari tangan mereka memasukkan makanan untuk dibagi, semacam tradisi pengantin baru.

"Gimana rasanya Lan?" tanya yang lain dengan senyum meledek. "Enak ya Lan, awas nanti ketagihan."

Seluruh orang tertawa berbeda dengan Wulan yang teramat malu lalu dengan cepat ke belakang dan memasuki bilik kamar mandi.

"Malam pertama apaan, jijik banget kalau sampai begituan sama Dewa."

Keduanya memang teman sepermainan, rumah mereka masih satu desa meski jarak tidak terlalu dekat, dikarenakan kebersamaan itu dan dari taman kanak-kanak hingga menengah satu kelas membuat Wulan merasa aneh harus menikahi sosok yang setiap hari memenuhi hari bukan hati, bagi Wulan Dewa itu anak kecil yang suka mengganggunya saat bermain masak-masakan.

"Wulan!"

Panggilan itu membuat tubuh Wulan menoleh, lalu menaikan alis sedetik sebelum kembali mencetak nasi untuk dibagikan.

"Lan aku mau bicara, ke kamar sebentar."

Para tetangga saling menyenggol, disuguhi percakapan pengantin baru rasanya begitu menyenangkan.

_______

Bagaimana dengan part ini?

Terpopuler

Comments

Rose_Ni

Rose_Ni

keren Thor

2023-01-10

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!