"Sekotak nasi goreng, buat Naura ku sayang." Calista menyodorkan kotak makan berwarna biru laut dengan gambar Doraemon diatasnya, sambil berkata dengan nada seriosa.
"Wih, tau aja kalau gue lagi laper." Nadia tersenyum dan menghirup aroma nasi goreng yang menggoda lidahnya.
"Ya, taulah. Gue gitu loh." Calista seraya menyibakkan rambutnya ke belakang sambil terkekeh.
Naura yang sudah merasakan perutnya kelaparan, tanpa basa basi langsung memakan nasi berwarna coklat itu dengan lahap.
Sejak kemarin Laila yang terus mengomel pada dirinya tanpa alasan yang jelas, membuat Naura segan untuk sekedar makan di rumah dan beruntung, pagi ini Calista membawakannya sarapan, sehingga ia tidak perlu repot lagi minum air keran untuk mengganjal perutnya yang lapar.
"Ra, pelan aja kali makanannya. Nggak bakal ada yang rebut makanan lo juga," tegur Calista yang melihat sahabatnya makan seperti orang yang sedang ketempelan om Wowo.
Naura terkekeh malu. "Sorry, Ca. Gua laper."
Gadis itu meneruskan sarapannya, hingga nasi goreng buatan ibunya Calista ludes tak bersisa.
"Thanks ya, Ca."
"Santai aja kali, Ra. Kalau lo mau, gue bisa bawain sarapan buat lo tiap hari."
Naura menggelengkan kepalanya cepat, seraya menolak tawaran Calista karena takut merepotkan ibunya untuk memasak.
Meskipun, ia tahu jika keluarga Calista baik. Tapi ia tidak boleh terus-menerus merepotkannya, sudah terlalu banyak kebaikan yang diterima oleh Naura. Ia tidak mau jika terus membebani Calista dan keluarganya.
Bell pulang telah berbunyi, semua orang saling berebut untuk meninggalkan sekolah yang terasa membosankan, tapi terasa begitu nyaman bagi gadis yang seakan tidak punya tujuan hidup seperti Naura.
Dengan berada di sekolah, ia bisa mengeluarkan segala ekspresinya. Ia bisa tertawa lepas dan bercanda dengan Calista satu-satunya sahabat yang setia menemani dari kelas satu SMA hingga sekarang mereka duduk di kelas tiga.
"Bye, Ra. Gue duluan ya." Calista melambaikan tangannya pada Naura.
"Iya, hati-hati di jalan, Ca," sahut Naura membalas lambaian tangan gadis yang kerap ia panggil Caca tersebut.
Raut wajahnya yang ceria seketika berubah menjadi masam, ketika kakinya mulai melangkah keluar dari gerbang sekolah.
Hatinya terasa sesak dan nyeri, ketika mengingat semua permasalahan yang ada di rumahnya.
Sikap Laila yang sering berubah dan sulit ditebak, terkadang membuatnya frustasi. Apalagi jika Laila sudah punya masalah dengan orang lain, pasti Naura yang akan jadi sasaran amarahnya.
Sebelum masuk ke dalam rumah, Naura menarik napasnya dalam seakan-akan menyiapkan mental saat berhadapan dengan kakak ketiganya itu.
"Maaf, juragan. Saya belum bisa bayar hutangnya, tapi saya janji akan segera melunasi hutang-hutang saya secepatnya."
Laila sedang berlutut, sembari memegang tangan Jaka — juragan tanah yang lebih dikenal sebagai lintah darat dan memiliki tiga orang istri.
Pria berusia 60 tahun itu berdiri di hadapan Laila, dengan raut wajahnya yang kesal sebab sudah berkali-kali dirinya menagih pada Laila tapi, wanita berusia 36 tahun itu terus saja memberikan janji yang tak kunjung ditepati.
"Halah, saya tidak percaya dengan ucapanmu itu. Pokoknya saya tidak mau tahu, kau harus membayar hutang mu hari ini juga! Kalau tidak, aku akan menyita rumah mu ini!"
"J-jangan, juragan. Kalau rumah ini disita saya mau tinggal dimana?" Laila memasang wajah memelas dihadapan Jaka, yang bahkan tidak simpatik sama sekali pada dirinya.
"Saya tidak peduli! Mau tinggal di kolong jembatan, di tempat sampah ke … intinya saya hanya ingin uang saya kembali, titik!"
Naura hanya diam mematung, saat melihat kakaknya yang sedang dimarahi oleh juragan Jaka. Ia tidak mau ikut campur pada urusan kakaknya, sebab terakhir kali ia ikut campur sebuah piring terbang nyaris melukai wajah cantiknya, untung saja Naura langsung menghindar jika tidak wajahnya mungkin sudah cacat. Dan sejak saat itu ia kapok dan tidak ingin tahu apapun lagi mengenai masalah kakaknya.
Gadis itu duduk di depan teras rumah, menunggu tamu kakaknya pulang.
"Baiklah, saya akan memberi tempo satu Minggu. Jika kau belum sanggup membayar, kau harus pergi dari sini."
Laila bangkit dan berdiri, mengusap air mata buayanya dan mengikuti langkah Jaka yang berjalan ke luar.
Pria tua itu menghentikan langkahnya, ketika melihat seorang gadis dengan rambut hitam panjang terurainya yang masih mengenakan seragam SMA sedang menunduk sambil tersenyum tipis kearahnya.
Jaka memperhatikan gadis itu dari atas sampai bawah, seraya mengusap dagu dengan jari-jarinya yang hampir berkerut.
Sebuah seringai pun muncul dari sudut bibirnya, ia menoleh pada Laila dan mengajaknya ke dalam untuk bernegosiasi.
"Dia adikmu?"
"Iya, juragan."
"Cantik, juga … kau mau semua hutangmu saya anggap lunas?"
Laila mengerutkan dahinya, dan mengangguk cepat. "Mau, juragan."
"Kirim dia ke rumah saya, dengan cara itu hutangmu akan lunas."
"Tap—,"
"Itupun jika kau ingin rumah ini selamat, kau harus ingat Laila hutangmu besar pada saya … saya tidak yakin jika kau bisa membayar semua hutang dalam waktu satu Minggu."
Laila tampak berpikir, yang dikatakan oleh Jaka memang ada benarnya juga. Dari mana dia bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam jangka waktu satu Minggu, suaminya hanya pekerja bangunan di luar kota, tidak mungkin juga bisa memberinya uang banyak.
Setelah berpikir beberapa saat, Laila menyetujuinya dan mengatakan akan mengantar Naura besok siang ke rumahnya.
🌸🌸🌸
"Apa! Kakak tega menjualku pada juragan Jaka demi melunasi semua hutang kakak," pekik Naura yang terkejut dengan ucapan kakaknya yang meminta Naura mengemasi barang-barangnya ke dalam tas dan pergi ke rumah Jaka.
"Naura, aku sudah mengurusmu sejak kecil … sekarang sudah waktunya kau membalas kebaikanku, apa susahnya bekerja di rumah juragan Jaka sebagai pembantu toh kamu juga nanti akan mendapatkan upah," timpal Laila dengan rahang yang mengeras.
"Naura nggak mau, Kak. Naura takut."
Laila mengusap wajahnya kasar. "Oke, kalau kamu nggak mau … sekarang juga kamu bayar semua biaya yang sudah aku berikan padamu dari kamu lahir sampai sekarang."
Naura membisu, jujur saja jangankan untuk membayar semua biaya yang dikeluarkan oleh laila, bahkan untuk membeli pulpen saja ia tidak punya.
"Kenapa diam! Nggak punya duit? Iya … mangkanya nurut. Oh atau jangan-jangan kamu lebih senang kalau kita semua tinggal di kolong jembatan begitu?" teriak Laila, suaranya yang menggelegar seakan menghancurkan gendang telinga si pendengar.
Naura menggeleng cepat, sebagai jawaban dari tuduhan kakaknya.
"Ya sudah, cepat bereskan barang-barang kamu. Hari ini aku akan mengantarkanmu ke rumah juragan Jaka." Laila meninggalkan kamar adiknya dan menutup pintu cukup kencang membuat gadis yang sedang duduk di lantai itu terhenyak.
Bulir bening berlomba-lomba turun dari sudut mata Naura yang bulat. Ia tidak menyangka kakaknya akan melakukan hal ini padanya, demi melunasi hutang yang tak ia tahu. Laila sampai menjualnya.
Meskipun, Laila mengatakan jika dirinya hanya akan bekerja menjadi seorang art, tapi ia merasa takut jika Jaka sedang merencanakan sesuatu terhadapnya. Terlebih lagi ia tahu, jika Jaka merupakan tua Bangka yang genit dan suka menggoda gadis-gadis muda yang dia temui walaupun, sudah memiliki tiga orang istri.
.
.
.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments
'"d'azZam'🍁💞
kalo aku punya kakak kaya gitu, mending aku kabur, dari pada dijadiin buat bayar hutang
2023-01-20
4
Gembelnya NT
Pengeeen
2022-12-01
1