episode 4 Mala dan Reno

"Kamu harus berani, Mala. Apa pun yang terjadi, kalau kamu sudah berpenampilan terbuka di depan suamimu, dia pasti luluh."

Ingat ucapan Sarah kala itu.

"Laki-laki itu, yang paling besar dalam dirinya adalah hasrat. Dan itu sulit ditahan. Bohong kalau dia mencintai orang lain tapi nggak tergoda dengan istrinya sendiri. Apalagi kamu, Mala. Kamu istri sahnya, di mata hukum dan di mata Allah. Toh, laki-laki yang katanya cinta mati sama istrinya pun bisa tergelincir dan menyentuh wanita lain hanya karena nggak bisa menahan gairah."

Mala mengingat jelas nasihat itu. Waktu itu, ia terpaksa menceritakan kondisi rumah tangganya kepada sahabatnya, Sarah. Sudah berbulan-bulan mereka menikah, tapi Reno belum juga menyentuhnya.

Tak sekali pun.

Dan hal itu membuat Mala masih perawan... meski statusnya adalah seorang istri.

"Tapi, Sar... aku takut."

Mala menunduk, suaranya bergetar.

"Nggak perlu takut, Mala. Kamu itu istrinya. Sah di mata hukum dan lebih penting lagi sah di mata Allah," jawab Sarah mantap. "Kalau kalian melakukannya, itu bukan dosa. Justru kewajiban. Dan kalau Reno terus menolakmu, kamu bahkan bisa menuntut dia. Ingat, tugas suami itu mencukupi kebutuhan istri, baik lahir maupun batin."

Mala terdiam. Masih ada kebimbangan yang mengganjal di hatinya.

Apa benar... setelah hubungan sedekat itu, seseorang masih bisa mencintai orang lain? pikirnya.

Bagaimana mungkin... setelah menyatu seperti bunga mawar yang merekah, hati masih bisa berpaling?

"Tapi... bagaimana kalau tetap nggak berhasil?" bisik Mala. "Bagaimana kalau dia malah semakin marah dan tak ingin melihatku lagi?"

Sarah menghela napas panjang.

"Lelaki mana yang akan marah saat ada wanita yang mencintainya dengan tulus, dengan kelembutan dan kehangatan yang belum pernah ia dapat sebelumnya?"

Matanya menatap Mala tajam.

"Itu cuma satu jenis laki-laki, Mal. Laki-laki bodoh. Percayalah, sahabatku yang polos... dia nggak akan marah. Kalaupun dia pura-pura marah, itu cuma akal-akalan dia buat jaga gengsi. Karena kenyataannya, kamu itu lebih wangi dan lebih manis dari kekasihnya yang rasanya kayak garam asin itu."

Kata-kata itulah yang tertanam kuat di benak Mala malam itu.

Dan karena itu pula, Mala akhirnya memberanikan diri melakukan hal yang belum pernah ia lakukan sebelumnya.

Bukan karena hawa nafsu... tapi karena cinta.

Karena ia ingin dipeluk dan dicintai oleh suaminya sendiri.

Sejak SMA, Mala sudah berhijab. Ia selalu mengenakan gamis dan menjaga diri. Tidak ada satu pun laki-laki yang pernah melihat lekuk tubuhnya.

Kecuali Reno... suaminya.

Mala berdiri di balik pintu kamar, jantungnya berdetak kencang.

'Bismillah,' bisiknya lirih, menarik napas panjang.

Ia mengintip pelan. Reno sedang beristirahat di ranjang. Tapi tiba-tiba, pria itu bangkit dan berjalan keluar kamar.

"Ya Allah..."

Mala kaget, lalu segera bersembunyi di bawah meja.

Begitu Reno melangkah menuju ruang makan, Mala mengikutinya diam-diam dari belakang, dengan langkah pelan dan hati yang bergetar.

Dan di sinilah jantung Mala berdegup begitu kencang. Ia berdiri tegak, bukan lagi sebagai wanita yang lemah, tapi sebagai istri yang tak ingin kalah oleh keadaan.

Ia percaya pada saran Sarah. Ia tahu ini bukan sekadar momen biasa, tapi misi untuk memperjuangkan cinta dan haknya sebagai seorang istri.

"Mala? Mala, kamu sedang apa?"

Reno terdengar gugup. Suaranya pelan, tapi pandangannya tak beralih menatap dua buah pir yang tampak begitu menggoda di balik kain tipis yang dikenakan Mala.

"Mas Reno mau sarapan di mana?"

Suara Mala terdengar manja. "Di kamar atau di sini saja?"

Ia perlahan mendekat. Kini kedua tangannya bertumpu di paha Reno.

Reno menelan ludah. Jantungnya berdebar semakin keras. Ia belum pernah sedekat ini dengan Mala.

Selama ini Reno hanya melihat Mala sebagai gadis kampung yang dijodohkan dengannya tanpa cinta, tanpa hasrat. Ia bahkan sempat berpikir hijab dan gamis yang dikenakan Mala hanyalah cara untuk menutupi kekurangannya.

Namun kini, segalanya berubah. Dan Reno pun tak bisa berpaling.

Sayangnya, Reno selama ini salah besar.

Apa yang ditutupi Mala bukanlah kekurangan. Justru sebaliknya... sesuatu yang sangat indah.

Tubuhnya bagaikan gitar Spanyol. Lekuknya anggun. Bukit-bukit kecil yang tersembunyi di balik kain gamis itu begitu sempurna, menyatu dengan kulitnya yang bersih, lembut, dan harum.

Kenapa selama ini dia menutupinya? batin Reno, mulai dilanda penyesalan.

"Mas? Mas Reno?"

Mala melambaikan tangannya di depan wajah suaminya, membuyarkan lamunannya.

Namun Reno hanya diam. Tatapannya kosong, tapi dadanya naik turun. Jantungnya berdebar sangat kencang.

Mala tak menyerah. Ia menyentuh pipi Reno dengan jemarinya yang lembut. Pipinya yang selama ini terlihat dingin, ternyata hangat dan sedikit gemetar.

Namun Reno masih terdiam.

Sementara itu, tubuhnya mulai merespons. "Adiknya" mulai menegaskan keinginannya untuk memanah.

Mala hendak menutup kedua kakinya karena malu, tapi gerakannya terhenti. Ada sesuatu yang terganjal. Sesuatu yang membuatnya tak bisa menutup rapat kakinya seperti biasa.

Dan pagi itu, tidak hanya jantung Reno yang berdegup. Tapi juga hati Mala yang akhirnya berani mencintai suaminya secara utuh.

"Mala... kamu apa-apaan? Bagaimana kalau ada orang yang melihat?"

Nada suara Reno terdengar panik, meski matanya masih terpaku padanya.

Mala tersenyum tenang.

"Orang? Orang siapa, Mas? Di rumah ini cuma ada aku dan Mas. Kita berdua. Nggak ada siapa pun yang bisa melihat kita kecuali malaikat."

Ia menatap Reno dalam-dalam.

"Dan kalau ini halal... bukankah justru dapat pahala?"

Ups.

"Maaf, Mas... aku nggak sengaja,"

ucap Mala sambil menahan tawa kecil. Seolah polos, namun jelas tahu apa yang sedang ia lakukan.

"Mala..."

"Mala nggak tahu kalau itu sudah siap tempur," bisiknya pelan, nyaris berbisik di telinga suaminya.

"Boleh... Mala lihat?" katanya menggoda. Suaranya seperti alunan lembut yang tak bisa dihindari.

Dan tanpa menunggu jawaban, Mala pun meraih bagian tubuh suaminya yang paling sakral. Ia menyentuhnya perlahan, penuh rasa ingin tahu, tapi juga dengan kelembutan seorang istri yang ingin mencintai sepenuh hati.

Jantungnya berdetak kencang. Tangannya gemetar. Ini pertama kalinya ia menyentuh bagian tubuh seorang laki-laki... dan itu adalah milik suaminya sendiri.

Reno tersentak. Tubuhnya menegang.

"Mala... kamu... apa yang kamu lakukan?" suaranya tercekat, antara bingung dan tak kuasa.

Mala hanya menatapnya lembut, senyumnya manja.

"Kenapa takut, Mas? Di rumah ini cuma kita berdua. Tak ada yang melihat... kecuali malaikat."

Reno masih terpaku, apalagi ketika Mala semakin mendekat.

Tangannya tanpa sadar menyentuh bagian tubuh Reno. Bukan karena nafsu... tapi karena rasa ingin tahu yang selama ini tertahan.

Sentuhan itu membuat Reno menggigit bibir, terkejut oleh sensasi yang selama ini tak pernah ia bayangkan dari sosok istri yang selama ini ia pandang sebelah mata.

"Maaf, Mas... Mala nggak sengaja,"

ucapnya pelan. Pura-pura polos, namun jelas menggoda.

Tatapan mata mereka bertemu. Hangat. Intens.

Mala merasa jantungnya berdebar begitu cepat, tapi ia mencoba tetap tenang.

"Mas Reno..." bisiknya di antara helaan napas. "Mala boleh belajar mencintaimu lebih dalam... malam ini?"

Reno terdiam. Dunia seperti berhenti sejenak.

Tak ada yang ia lihat selain Mala. Gadis sederhana yang kini berdiri sebagai wanita dewasa... berani... dan begitu cantik dalam kesederhanaannya.

Dengan satu tarikan napas panjang, Reno memejamkan matanya.

Dan malam itu... bukan hanya tubuh yang menyatu, tapi dua hati yang akhirnya mulai saling membuka diri.

Berulang kali Reno meyakinkan dirinya... bahwa dia tak akan pernah menyentuh Mala. Gadis kampung yang dijodohkan padanya itu... tak seharusnya menyentuh hatinya.

Tapi... tubuh tak bisa berbohong.

Gelora itu tumbuh... dan ia pun menginginkan kehangatan dari wanita yang kini berdiri di hadapannya.

"Mas... kenapa terasa semakin panas?"

bisik Mala pelan.

"Mala boleh... mencintai Mas... dengan caraku sendiri?"

Tak menunggu jawaban, Mala perlahan mendekat. Dengan segala keberanian yang dikumpulkannya, ia melakukan apa yang selama ini hanya ia baca dalam artikel dan pelajari dari bisikan sahabatnya.

Ia mencoba memberikan kehangatan dengan cara yang tak biasa. Ada rasa aneh dalam dirinya, ada detik di mana ia nyaris mundur

Namun, cinta yang besar pada Reno membuatnya bertahan.

Reno menggigit bibir, matanya terpejam.

Desah napasnya menjadi-jadi.

Dan dalam keheningan malam itu, dua insan yang tadinya saling asing akhirnya saling memiliki.

"Mala kamu baik-baik saja?"

Reno menatap istrinya dengan sorot khawatir.

Mala mengangguk pelan meski wajahnya sedikit pucat. Ia menarik napas, mencoba menenangkan dirinya sendiri.

"Maaf, Mas... ternyata aku belum terbiasa dengan hal seperti itu. Aku pikir... aku bisa melakukannya."

Ia tersenyum kecil, menyembunyikan rasa malunya.

Reno terdiam.

"Kamu nggak perlu memaksakan diri, Mala. Kalau kamu belum siap, bilang saja. Aku nggak ingin melihat kamu kesakitan hanya karena ingin menyenangkanku."

Mala kembali mengangguk. Tapi kemudian, ia berdiri.

Reno mengira Mala akan pergi. Tapi ternyata, tanpa aba-aba, Mala justru berbalik dan duduk pelan di atas pangkuannya. Gerakannya lembut, penuh keberanian yang ia kumpulkan dari cinta dan tekad untuk menjadi istri yang utuh.

Reno terdiam. Jantungnya berdetak lebih kencang.

"Aku nggak mau berhenti di tengah jalan, Mas. Aku cuma ingin kita belajar saling mencintai. Pelan-pelan... tapi dari hati," ucap Mala dengan suara nyaris berbisik.

Dan malam itu... bukan lagi soal tubuh, tapi tentang dua hati yang mulai menemukan rumahnya masing-masing.

Reno mengangkat pinggul Mala dengan hati-hati, takut tubuh istrinya oleng dan jatuh. Tatapan mereka saling bertaut begitu dekat, begitu panas, tapi juga penuh tanya.

"Mala... kenapa kamu ingin melakukan ini?"

Mala menatap Reno dengan mata berkaca.

"Karena aku mencintaimu, Mas... dan aku ingin kamu tahu... aku bersedia melakukan segalanya untukmu... karena aku istrimu. Ini bukan sekadar kewajiban... ini bentuk cintaku."

Reno tercekat. Untuk pertama kalinya, ia melihat Mala bukan sebagai gadis desa yang dijodohkan padanya... tapi sebagai wanita dewasa... yang siap mencintai dan dicintai sepenuhnya.

Kalimat Reno terhenti ketika tangannya menyentuh kedua pipi Mala, dengan hangat dan lembut penuh makna.

Mala pun perlahan mendekat tanpa kata. Bibirnya menyentuh bibir Reno begitu lembut... seperti embun yang menyentuh kelopak mawar di pagi hari. Ciuman itu tak lama, tapi cukup untuk menggetarkan hati mereka berdua.

Reno terpaku... tapi ia tidak menolak. Dalam pelukan yang mulai erat, ia pun membalas ciuman itu. Malam terasa sunyi... seolah hanya mereka berdua di dunia ini.

"Mala..." bisiknya nyaris tak terdengar. "Kamu?"

Mala tersenyum di antara desahan lembutnya.

"Aku mencintaimu, Mas... dan aku sudah lama menunggu momen ini. Bukan dengan nafsu... tapi dengan cinta yang tumbuh dari luka dan harapan."

Reno menutup matanya. Ia menghela napas panjang. Untuk pertama kalinya... ia menyerah. Bukan karena kalah... tapi karena akhirnya ia sadar... Mala adalah rumah. Mala adalah surga yang ia tolak terlalu lama.

"Astaga... Ya Tuhan..." bisiknya dalam hati.

Ia tak menyangka... gadis yang dulu dianggap kampungan... kini membuatnya lupa segalanya.

Reno menatap Mala dalam diam. Tubuhnya menegang. Bukan karena marah... tapi karena bingung dengan perasaan sendiri.

Kenapa aku melakukan ini... dengan perempuan yang dulu kupikir tak akan pernah kusentuh?

Tapi pertanyaan itu lenyap... saat jemarinya menyentuh bahu Mala... yang kini hanya tertutup kain tipis. Perlahan, Reno menyingkirkan penghalang yang selama ini menjadi jarak di antara mereka.

"Mas..." bisik Mala pelan. Seperti suara angin di pagi hari yang membelai telinga. Suara itu membuat Reno hampir kehilangan kendali.

Desahan itu bukan sekadar suara tapi suara hati yang selama ini diam, kini memohon untuk dipahami dan dicintai.

Reno memejamkan mata menggenggam sprei erat, menahan perasaan yang membuncah. Ia tak pernah mengira, gadis yang dulu hanya dianggapnya kewajiban kini bisa mengusik seluruh pikirannya.

Mala ucapnya, seperti membenarkan bahwa malam itu bukan lagi tentang dendam, tapi tentang cinta yang mulai tumbuh, perlahan dari luka dari rasa bersalah dan dari keinginan untuk menyerah pada cinta. Namun kini, tubuh mereka terlalu dekat. Dan kebencian itu yang selama ini menjadi tameng perlahan mencair, berubah menjadi bara yang membakar pelan-pelan tanpa suara.

Mala menyentuh dada Reno, jemarinya gemetar namun tak ragu. Mas bisiknya, seolah satu kata itu cukup untuk merobohkan tembok tinggi yang selama ini berdiri di antara mereka. Dan saat itu, semua logika lenyap. Tak ada lagi benar atau salah. Yang tersisa hanyalah mereka berdua terjebak dalam malam yang membungkam, di antara rahasia yang tak boleh terbongkar dan rasa yang tak lagi bisa disangkal.

Bukan karena nafsu semata, tapi karena luka-luka lama mereka ternyata menemukan jawabannya dalam pelukan yang seharusnya asing namun terasa seperti rumah.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!