Episode 02

Reno baru saja selesai mandi. Ia keluar kamar hanya dengan handuk yang terlilit di pinggang.

Dengan langkah santai, Reno berjalan menuju dapur. Ia merasa lega karena tak menemukan Mala di sana.

Pikirannya masih dipenuhi tanda tanya—bagaimana mungkin istrinya yang dulu begitu tertutup, kini tampil dengan busana yang justru membangkitkan hasratnya?

Kenapa bisa muncul rasa itu... hanya karena melihat Mala?

“Mas Reno, sedang apa melamun di situ?” tanya Mala tiba-tiba, membuat Reno terkejut.

“Astaga! Bisakah kamu tidak mengejutkanku seperti itu?” Reno refleks memegangi dadanya. Jantungnya serasa mau copot.

Ia kini menatap Mala yang sedang berdiri di hadapannya... mengenakan mukena putih yang bersih dan sederhana.

“Aku nggak ngelakuin apa-apa. Apa pun yang kulakukan di sini bukan urusanmu, paham?!”

“Maaf… maaf, Mas,” ucap Mala pelan sambil menunduk.

Mala menatap Reno dengan mata yang berkaca-kaca. Ia sendiri tak mengerti, bagaimana caranya bisa meluluhkan hati suaminya yang terasa sekeras batu itu?

Berbulan-bulan sudah Mala berusaha meluluhkan hati Reno, namun semuanya sia-sia.

Bahkan cara-cara yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya sudah ia coba.

Mala, yang sejak dulu dikenal sebagai wanita tertutup, akhirnya terpaksa membuang rasa malunya. Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia mencoba tampil berbeda—lebih berani.

"Kamu harus lebih berani dan agresif. Kalau dia terus pasif, kamu yang harus aktif!"

Sarah, sahabat baiknya, berkata tegas.

"Kalau nanti Reno pulang, kamu pakai baju ini. Buang rasa malumu, Mala. Bagaimanapun, dia itu suami sah kamu, bukan orang asing. Mengerti?"

Mala hanya mengangguk pelan. Dalam hatinya masih ada keraguan, tapi Sarah benar dia tak bisa terus menjadi istri yang hanya diam dan berharap.

Sekarang bagaimana? Reno bukannya tertarik, malah mengusirku dari hadapannya.

Padahal, aku sudah memberanikan diri memakai daster tipis pemberian Sarah.

Kupikir dia akan sedikit melirik, atau sekadar menyapaku dengan lembut. Tapi tidak…

Yang kudapat hanyalah tatapan dingin dan suara tegas yang menyayat hati.

“Aku tidak tertarik padamu, Mala. Jangan paksa aku.”

Kalimat itu terus terngiang di kepalaku, bahkan setelah ia pergi meninggalkanku di ruang tamu.

Sebenernya... masih ada satu lingerie berwarna merah—hadiah dari Sarah juga—yang belum pernah ku kenakan di hadapan Reno.

Tapi hati ini terlalu ciut untuk mencobanya.

Lingerie itu terlalu terbuka, hanya menutupi bagian-bagian yang benar-benar perlu. Dan aku... aku belum siap memperlihatkan diriku sejauh itu—bahkan untuk suamiku sendiri.

"Aku malas berdebat denganmu, Mala. Aku capek. Aku lelah."

Reno berkata datar sambil menyeduh kopi buatannya sendiri.

"Tolong... pergilah. Jangan memancing amarahku."

Mala berdiri di ambang dapur, berusaha tetap tegar.

“Mas... aku akan siapkan sarapan untukmu,” ucapnya pelan, mencoba menawarkan sedikit perhatian.

“Tidak.”

Jawaban Reno terdengar dingin dan tajam.

“Aku tidak akan pernah makan atau minum apa pun yang kau buat. Dan sejak kapan kamu berani bicara seperti ini padaku?”

Ia menoleh dengan tatapan menusuk.

“Kau masih ingat kan, dengan kesepakatan yang sudah kita buat? Perempuan kampung sepertimu… tidak akan pernah mendapatkan perhatianku, apalagi simpati.”

Mala terdiam. Matanya berkaca-kaca, tapi bibirnya tetap mengatup.

Kalimat itu seperti palu yang menghantam harga dirinya—berulang kali, tanpa ampun.

Reno tampak sangat kesal.

Ia bahkan lupa bahwa beberapa menit lalu, Mala sempat membuatnya bergairah—membangkitkan hasrat yang selama ini dikuburnya dalam-dalam.

Tapi Reno tak peduli.

Di matanya, Mala tetaplah gadis kampungan yang tak pantas mendapat tempat di hatinya.

Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah satu hal:

Bagaimana cara menceraikan perempuan itu secepat mungkin.

Mala masih berdiri di hadapannya.

Ia tak bergerak, tak mengucapkan sepatah kata pun. Tapi Reno tetap tak memperdulikannya. Ia memilih menikmati kopi yang dibuatnya sendiri, seolah Mala tak pernah ada.

Dengan cepat, Reno meneguk habis kopinya. Ia ingin segera kembali ke kamar sebelum emosinya benar-benar meledak dan membuatnya kehilangan kendali.

Namun tiba-tiba, langkah Reno terhenti.

Mala memeluknya dari belakang, erat dan penuh harap.

Tubuh Reno seketika menegang. Bukan karena ini kali pertama ia dipeluk wanita, tapi ada sesuatu yang membuat pikirannya kacau sentuhan lembut namun menonjol di punggungnya.

Apakah... dia tidak memakai pakaian dalam?

Pikiran Reno langsung melayang.

Bayangan kejadian beberapa waktu lalu kembali menari dalam benaknya. Ia mencoba menepisnya, tapi gagal.

“Mas...” suara Mala lirih, nyaris bergetar.

“Berikan aku satu kali saja kesempatan. Aku ingin membuktikan bahwa aku bisa menjadi istri yang baik untukmu. Aku rela melakukan apa pun… asal kau bisa menganggap ku sebagai istrimu. Sebagai istri dari Reno Sebastian.”

“Mas… lakukan apa pun padaku. Aku istri sah mu,” bisik Mala penuh keberanian, suaranya bergetar namun tulus.

Reno tersentak, buru-buru mencoba melepaskan pelukan itu.

“Mala, apa yang kamu lakukan?” tanyanya, suaranya terdengar panik sekaligus bingung.

Namun justru di saat itu, Reno semakin yakin akan sesuatu yang tak biasa.

Meskipun Mala terlihat mengenakan mukena, ia sadar… wanita itu tidak memakai pakaian dalam sama sekali.

Dekapan itu meninggalkan jejak nyata—sentuhan lembut namun menggoda.

Dan saat Reno tak sengaja menoleh ke arah Mala, ia menangkap sekilas pemandangan yang membuat jantungnya berdebar tak karuan.

Sebuah godaan yang tak bisa dihindari, tapi juga tak bisa ia terima.

“Mas… apa yang harus aku lakukan agar kamu menganggap keberadaan ku di sisimu? Bahkan di rumah ini pun aku merasa asing…”

Suara Mala bergetar. Air matanya hampir jatuh.

“Aku lelah, Mas. Aku ingin menjadi istrimu seutuhnya. Bukan hanya di atas kertas…”

Reno terdiam.

Jantungnya berdebar-debar, pikirannya kacau. Belum lagi tubuhnya pun mulai bereaksi—adik kecilnya seakan tak bisa berbohong terhadap apa yang baru saja terjadi.

Refleks, Reno membalikkan tubuhnya.

Gerakan itu membuat Mala mundur beberapa langkah, kaget dan bingung melihat ekspresi suaminya.

“Beraninya kamu lakukan ini padaku?”

Suara Reno terdengar tajam. Matanya menatap Mala dengan kemarahan yang tak bisa disembunyikan.

"Sejak kapan kamu jadi selancang ini, hah?"

Ia menarik napas berat, lalu melanjutkan dengan suara yang lebih dingin dan menusuk.

“Jangan pernah ulangi perbuatanmu tadi. Itu menjijikkan.”

Ia mendekatkan wajahnya, menatap Mala yang mulai gemetar.

“Kalau sampai kamu mengulanginya… aku akan memberimu pelajaran yang tak akan pernah kamu bayangkan.”

“Mengerti?!” bentaknya tegas.

Tanpa menunggu jawaban, Reno buru-buru pergi, meninggalkan Mala yang masih berdiri membeku. Ia harus segera menjauh sebelum adik kecilnya benar-benar bangun dan membuat segalanya makin tak terkendali.

Mala menunduk, namun matanya tak sengaja menangkap sesuatu yang membuatnya terpaku sejenak—tonjolan samar di balik boxer yang dikenakan Reno.

Apakah... Reno mulai berhasrat padanya?

Reno masuk ke kamar dengan langkah cepat dan langsung mengunci pintu dari dalam.

Tanpa ragu, ia melepaskan handuk yang sejak tadi melilit pinggangnya, membiarkan dirinya bebas… meski pikirannya justru terkurung oleh gejolak yang tak biasa.

Ia menghembuskan napas panjang.

Seharusnya perasaan seperti ini hanya muncul saat bersama Dilla.

Tapi kenapa… justru saat bersama Mala beberapa menit lalu, tubuhnya terasa tegang, pikirannya kacau, dan jantungnya berdetak begitu cepat?

“Dilla… kamu kejam, ya?” gumam Reno pelan, menatap kosong ke arah langit-langit kamarnya.

“Kamu tega membiarkanku tersiksa seperti ini…”

Sementara itu, di tempat lain…

Dilla tengah berada di kamar bersama suaminya, Candra.

Candra menatap istrinya dengan sorot penuh rindu. Sudah lama ia tak melihat Dilla secantik malam ini—dengan balutan dress putih yang lembut, sedikit terbuka di bagian atas, memperlihatkan lekuk tubuh yang selama ini hanya miliknya.

Penampilan Dilla malam itu membuat Candra tak kuasa menyembunyikan hasratnya.

Rasa rindunya yang tertahan sekian lama kini perlahan berubah menjadi gejolak yang menghangatkan kamar itu.

“Apa… apa yang kamu lakukan?”

Dilla berusaha mendorong tubuh Candra, tapi tenaganya kalah jauh. Pelukan suaminya begitu erat, seolah tak ingin melepaskannya lagi.

“Aku hanya mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku, Dilla,” bisik Candra dengan suara dalam.

“Kau istriku… aku berhak atas cinta dan kehadiranmu.”

Ia menatap wajah Dilla dalam-dalam, lalu mendekatkan wajahnya perlahan.

Tangannya menyentuh lembut sisi bahu Dilla yang terbuka, sementara matanya terpaku pada leher jenjang yang tampak memikat di bawah cahaya lampu kamar.

Dila.. " Aku kangen melakukan ini denganmu sayang" ucap Candra

Dan Malam ini kau terlihat sangat cantik dan menarik, malam ini kau harus membayar penghianatan mu

Tidak....... aku tidak merin.....Du...kan...mu

" Omong kosong, kamu saja menikmati permainanku bukan ? Aku tidak perduli kau selingkuh dengan Atasanmu, kau tetap saja istriku .

" Kamu adalah istriku, Jadi kamu harus Memenuhi keinginanku, Paham !!! Ucap Candra lalu merobek Dress yang di kenakan Dila , dengan buasnya dia melahap bukit kembar Dila secara bergantian .

Nikmat sekali, ini milikku dan sampai kapanpun akan tetep menjadi milikku ,

ucap Candra lalu melepaskan kacamata yang masih melekat di gunung kembar itu .

Dila Merasa kaget, dengan apa yang di lakukan suaminya itu, Malam ini dia sangat kasar sekali.

Candra dengan liar memainkan drum kembar itu, pijatan -pijatan Membuat Dila menikmati alunan pijatan drum dan Dila menjambak rambut Candra menarik wajahnya untuk terus memainkan drum kembarnya .

Sayang, kamu suka kan?

" Tidak, aku tidak menyukainya"

Terserah apa tanggapan mu, yang jelas aku melakukan ini kepada istriku sendiri, dan kamu pun menikmatinya, Candra pun terus ngemut permen, dan tangan satunya memainkan drum ...

" Dila semakin tak terkendali

Apalagi saat jemarinya memetik - metik mawar milik Dila, Dila pun terbuai akan perilaku suaminya itu.

kamu mau sekarang atau nanti, ucap Candra menggoda.

" Sekarang, ... ucap Dila menjerit sekencang - kencangnya .. sambil mendorong Drum lebih dalam di mainkan

" Candra tak menunggu lebih lama lagi, karna sudah cukup lama iya menginginkan istri cantiknya itu ...

Dia membawa Dila ke tempat tidur , lalu dengan cepat dia melepas kelopak yang membungkus mawar milik Dila itu .

Astaga Dila, kamu sudah basah .. ucap Candra sambil memainkan petikan gitar di sana ..

Argh !!! kamu lihai sekali memainkan jemari dalam mawar sayang . .

Sekarang Candra Petik lah mawar ini !!!

pinta Dila, dia tak dapat lagi rangkaian mawar warna warni menghiasi malam nya ..

Sabar ya Penulis bakal segera Up lagi, karna penulis perlu merangkai kata yang bakal bikin lebih baper lagi . jangan lupa Komentar ya ☺️

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!