Malam telah berlalu. Keesokan paginya, Reno memutuskan mengambil cuti dari pekerjaannya. Ia ingin beristirahat dan menenangkan pikirannya.
Pagi itu, Reno melakukan olahraga ringan di taman belakang rumah. Sejak tadi, ia tak melihat Mala.
“Ah, masa bodohlah dia di mana. Memang lebih baik begitu,” batinnya. “Asal dia tidak merusak mood-ku yang sudah cukup berantakan. Bahkan jika dia meminta cerai sekarang juga, aku akan mengabulkannya dengan senang hati.”
Setelah tubuhnya terasa segar dan berkeringat, Reno menyudahi aktivitasnya. Ia segera masuk ke ruang kerja. Di sana, pikirannya melayang pada seseorang — kekasihnya — yang hingga saat ini belum juga memberi kabar.
Reno mencoba menelepon Dila sekali lagi. Tapi hasilnya tetap sama, tak ada jawaban.
Ia menggerutu dalam hati.
“Kenapa Dila seperti ini? Biasanya dia yang paling rajin menghubungiku, dia nggak pernah mengabaikan pesanku seperti sekarang.”
"Dila... kamu ke mana sih? Aku cemas. Kamu nggak kasih kabar sejak malam dari Karin..." gumam Reno, gelisah di ruang kerjanya.
Tak tahan dengan pikirannya sendiri, Reno lalu menelepon salah satu karyawan di kantornya.
"Hallo, selamat pagi, Pak Reno. Ada yang bisa saya bantu?"
"Apakah sekretaris saya sudah sampai kantor?"
"Bu Dilla maksud Bapak? Belum datang, Pak," jawab si karyawan sopan.
"Oo... baiklah kalau begitu."
Tut... tut... tut...
Reno menutup telepon dengan perasaan yang makin tak menentu.
Reno semakin curiga dengan Dila.
“Ke mana dia? Nggak biasanya begini...” pikirnya gusar.
Seluruh karyawan sudah tiba di kantor, tapi sampai jam segini Dila belum muncul.
“Apa dia ambil cuti juga? Tapi kenapa tanpa kabar?” Reno makin bingung.
Di tempat lain, Dila masih tertidur pulas. Di sampingnya, Chandra memeluk tubuhnya erat dan menatapnya penuh manja.
Sejak subuh tadi, Chandra tak henti-hentinya melampiaskan rasa rindunya.
"Dila..." bisik Chandra lembut, menelusuri lekuk wajah perempuan itu.
"Chandra, lepaskan... Aku harus ke kantor sekarang. Aku bisa terlambat..." ucap Dila dengan suara lemah, mencoba melepaskan diri dari pelukannya.
"Sayang, kenapa sih kamu nggak ngerti perasaanku? Lagi pula, kalau pun kamu pergi ke kantor sekarang, sudah terlambat. Ini sudah jam sepuluh. Mana ada pegawai datang jam segini?"
Suara Chandra terdengar lembut tapi penuh tekanan.
"Lupakan dulu pekerjaan itu. Nikmatilah pagi yang sejuk ini bersamaku. Sudah lama kita nggak seperti ini, bukan?"
Dila mencengkeram sprei dengan kuat, menahan konflik di dalam dirinya. Tubuhnya terpaku, tapi pikirannya berantakan. Chandra, yang sudah lama memendam rindu, terus menunjukkan betapa ia masih menginginkan Dila — wanita yang sejak dulu ia cintai, wangi dan selalu memesona di matanya.
Dila pun tak bisa lagi menahan desah lirih dari bibirnya.
Suara itu membuat Chandra semakin hanyut.
Namun, di balik semua itu, hati Chandra terluka. Ia tahu istrinya kini punya hubungan dengan orang lain. Bahkan dengan atasannya sendiri — CEO tempat Dila bekerja.
Dan meskipun hatinya hancur, Chandra masih mencoba mempertahankan rumah tangga mereka.
"Aku masukin sekarang aja atau nanti, Sayang?"
Nada suara Chandra menggoda, sementara Dila hanya tersenyum malu.
"Iya, Chandra... Aku juga rindu kamu," bisiknya.
"Kamu mau bermain-main dulu, atau kita... tukar posisi?"
"Tukar posisi? Maksudnya gimana?" tanya Dila, menatapnya heran.
Chandra tertawa pelan, lalu membimbing Dila ke atas ranjang, memperlakukan tubuh istrinya seperti sebuah permainan indah. Seolah mereka sedang bermain ayunan —naik turun mengikuti irama rindu yang tertahan begitu lama.
Ketika keintiman itu mulai reda, mereka saling berpandangan, masih dalam pelukan.
"Sayang... apa kamu ingin main yang lain?" bisik Chandra, suaranya serak menahan hasrat.
Dila tak menjawab. Ia hanya menatap mata suaminya dalam-dalam. Tangannya kemudian bergerak, seolah meraih sesuatu yang tak terlihat — sebuah simbol panah yang perlahan ia arahkan ke hatinya sendiri.
Dan permainan itu pun berlanjut… lembut dan dalam, seakan mereka sedang melayang menuju langit ke tujuh.
Dalam bawah sadarnya, Dila teringat Reno — kekasihnya.
“Reno… jangan sampai dia tahu kalau aku bermain 'anak panah' dengan Chandra. Bisa-bisa dia benar-benar pergi meninggalkanku…” pikirnya cemas.
----
Sementara itu, Reno masih berada di tempat yang sama. Ia duduk santai di balkon, menikmati segelas jus stroberi dan sandwich. Namun, tatapannya kosong. Pikirannya berantakan.
Ia tidak menyadari bahwa Mala sudah memperhatikannya sejak tadi.
Mala berdiri beberapa langkah di belakangnya, mengenakan dress merah yang membuatnya tampak anggun dan memikat. Tapi seperti biasa, Reno tak pernah benar-benar melihatnya sebagai wanita.
Ia justru sering mencemoohnya, bahkan tanpa sadar melukai hati Mala dengan ucapan-ucapan yang pedas dan merendahkan.
(Teringat ucapan Reno yang dulu...)
"Kamu tuh nggak akan pernah bisa seperti Dila... Jangan harap."
Mala menarik napas dalam. Meski hatinya rapuh, ia memberanikan diri untuk mendekatinya perlahan.
"Mas...?"
Terdengar suara lembut memanggil Reno. Ia menoleh, mencari sumber suara itu. Dan begitu matanya menangkap sosok Mala, ia benar-benar terpaku.
Mala berdiri anggun di bawah sinar matahari pagi, mengenakan dress merah dengan tali setipis senar. Bahunya terbuka, dan kulitnya yang bersih tampak bersinar.
Reno memandangnya tanpa berkedip, seperti tersihir.
"Mas..."
Panggilan kedua itu menyadarkannya dari lamunan.
“Mala... kau cantik sekali...” batinnya nyaris berbisik.
"Ada apa? Kenapa kamu berdiri seperti patung di situ?" tanya Reno, mencoba menutupi kekagumannya.
"Aku sedang memperhatikan Mas, dari tadi kulihat Mas melamun saja," ucap Mala manja, sambil melangkah mendekat, gerak tubuhnya seperti menari ringan di hadapan Reno.
"Emm... Mas Reno habis olahraga pagi, ya? Tapi kenapa sendirian? Kenapa nggak ngajak aku sekalian?"
Nada suaranya genit dan manja, dibarengi dengan gerakan kecil yang menggoda.
Nada suaranya genit dan manja, dibarengi dengan gerakan kecil yang menggoda. Rambutnya melambai pelan tertiup angin, dan senyumnya membuat dada Reno berdebar.
Dan karena ucapan serta sikap Mala itu, Reno... mulai merasakan keinginan yang tak bisa ia tahan.
“Aku ingin... memanah sesuatu,” gumam hatinya pelan, sambil menahan napas.
Mala sempat terkejut saat melihat arah "anak panah" Reno sudah fokus lurus ke depan. Tapi ia cepat menenangkan diri.
“Aku harus berani... Dia suamiku, kekasih halalku.”
Dalam hatinya, Mala meyakinkan diri — bahwa setiap sentuhan penuh cinta di antara mereka adalah bentuk ibadah, yang mendatangkan pahala dari Sang Pencipta.
Ia tersenyum lembut, lalu berkata,
"Mas Reno, ini aku bawakan jus alpukat. Katanya bagus buat stamina."
Mala perlahan meraih gelas yang ada di tangan Reno, matanya menatap mata suaminya dalam-dalam. Reno hanya bisa menahan napas.
"Mas... kenapa kamu kelihatan bergetar dan berkeringat dingin? Kamu sakit? Tapi tadi habis olahraga, kan?"
Mala mencondongkan tubuhnya.
"Biar aku ambil handuk, ya. Aku lapin keringat Mas dulu..."
"Nggak usah, Sayang..." ucap Reno tiba-tiba, tanpa sadar.
Mala menatapnya, terpaku.
"Mas... kamu manggil aku ‘Sayang’?"
Reno langsung membuang muka.
"Masa sih? Kamu halu. Aku manggil ‘Mala’, bukan ‘Sayang’. Jangan kepedean kamu."
Balas Reno dingin, berusaha menutupi rasa gugupnya.
Tapi sorot matanya tak bisa bohong. Ada sesuatu yang mulai tumbuh... atau kembali tumbuh — entah cinta, atau hanya pelarian dari luka yang lain.
(Sabar, Mala...)
Ia menahan napasnya perlahan, lalu mulai meraih pundak Reno. Sentuhan itu membuat Reno merinding — tubuhnya tegang, seolah panahnya sudah siap ditembakkan.
Penampilan Mala pagi itu sungguh menggoda. Dress putih sederhana yang ia kenakan justru membuat pesonanya semakin kuat.
Sekilas memang terlihat seperti gadis kampung biasa. Tapi Reno sadar — istrinya ini begitu menawan. Kulitnya cerah, terawat. Bahkan aroma tubuhnya terasa begitu alami.
"Mas Reno... mau Mala buatin sarapan?" ucap Mala manja, matanya penuh permohonan lembut.
Reno hanya diam. Pandangannya masih menyusuri setiap lekuk tubuh Mala.
"Kalau Mas Reno nggak mau dibuatin sarapan sama Mala..."
Mala mendekat, lalu berbisik pelan di telinga suaminya.
"Mas Reno bakal jadi sarapan buat Mala, deh..."
Di akhir kalimatnya, Mala mengedipkan mata genit.
Reno tertelan ludahnya sendiri. Kali ini, dia benar-benar tak sanggup berpura-pura dingin lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
Widati Dati
nama mala kok gonta gnti sich, bagus cuma typonya berantakan
2025-01-02
0