"Pergi kalian dari sini dan ingat tidak ada satupun barang yang bisa kalian bawa selain pakaian-pakaian kalian ini!"
Preman berkepala plontos itu melempar tiga tas pakaian ke halaman depan. Bima terhenyak mendapatkan perlakuan semacam ini. Pemuda itu berancang-ancang akan melawan si preman namun buru-buru dicegah oleh Tami. Wanita paruh baya itu menggelengkan kepala pelan sebagai isyarat agar sang anak tidak melakukan apapun.
"Sudah, biarkan saja Bim. Sekarang, kamu ambil motor kita dan kamu bawa keluar dari sini. Meskipun saat ini kita sudah tidak memiliki tempat tinggal, setidaknya kita masih memiliki motor yang bisa kita jual untuk mencari kontrakan."
Bima mencerna setiap kata yang diucapkan oleh sang ibu. Lelaki itu hanya bisa mengacak rambutnya kasar seraya menghela napas panjang. Tidak ia sangka jika keadaan akan menjadi seperti ini.
Bima berjalan ke arah motor matic yang terparkir di samping rumah. Saat ia akan memasukkan kunci motor tiba-tiba...
"Eitts .... mau kamu apakan motor itu, hah?!"
Preman berkepala plontos itu berteriak kencang sembari berkacak pinggang saat melihat Bima bermaksud untuk membawa motor matic yang ada di samping halaman.
Bima menanggapi santai ucapan preman itu. Ia merasa tidak ada yang salah dengan apa yang akan ia lakukan. Motor matic ini merupakan miliknya sehingga ia berhak penuh atas kendaraan itu.
"Masih kamu tanya mau aku apakan motor ini? Kamu gila? Motor ini adalah milikku dan akan aku bawa pergi dari tempat ini!"
Kumpulan para preman itu tertawa terbahak. Mereka seakan menertawakan kebodohan Bima.
"Jauhkan tanganmu dari motor itu, karena saat ini motor itu mutlak menjadi milik bos kami!"
Tubuh Bima dibuat terkejut setengah mati. Kedua bola matanya membulat sempurna.
"Jangan bicara asal kamu! Motor ini adalah motorku dan aku berhak untuk membawa pergi dari sini!"
"Hahahaha jangan mimpi kamu!" Preman berkepala plontos berjalan mendekati Bima. Ia keluarkan sesuatu yang ia simpan di balik jaket yang ia kenakan. "Lihatlah, bahkan BPKB motor itu sudah ada padaku. Ayahmu juga ikut menjaminkan BPKB motor sebagai jaminan!"
Wajah Bima bertambah gusar. Telapak tangannya mengepal erat. Gemeretak gigi-giginya terdengar jelas seolah menjadi luapan kekesalannya. Jengah berada di tempat ini lama-lama, akhirnya ia memilih untuk segera meninggalkan rumah ini.
Bima berjalan gontai ke arah luar halaman. Diikuti oleh Tami, Siwi dan juga Rumi yang berada di belakang punggung Bima. Kepala mereka sama-sama menunduk, menekuri jejak-jejak langkah kaki mereka.
"Bang, sekarang kita harus ke mana? Siwi takut Bang!"
Kejadian yang baru saja terjadi seakan memberikan bekas rasa trauma untuk gadis berusia empat belas tahun itu. Dari raut wajahnya masih tersimpan rasa takut yang teramat sangat. Bahkan sedari tadi ia tidak melepaskan genggaman tangannya dari Rumi.
"Kita berhenti dulu Bim. Benar apa yang dikatakan oleh adikmu. Kita harus memikirkan tujuan kita terlebih dahulu."
Bima menghentikan langkah kakinya. Ia melihat ke arah sekitar di mana banyak pasang mata yang menatap dengan tatapan iba. Bahkan tidak sedikit pula yang berbisik-bisik.
"Bima juga bingung mau kemana Bu. Pikiran Bima seolah buntu!"
Lagi, Bima mengacak rambutnya kasar. Bahkan berkali-kali ia menghela napas panjang untuk mengusir segala rasa sesak yang ia rasakan.
Rumi yang mendengar pembicaraan sang kekasih dengan ibunya ini semakin dibuat iba dan prihatin. Ia segera memutar otak untuk bisa membantu keluarga Bima.
"Bima, lebih baik sekarang kita ke rumahku terlebih dahulu. Daripada tidak jelas kemana tujuannya."
"Tapi aku tidak ingin merepotkan keluargamu Rum!" ucap Bima dengan lirih. Lelaki itu seolah terlihat tidak bersemangat untuk melanjutkan hidup sama sekali.
"Betul yang dikatakan oleh Bima, Nak. Kami tidak ingin merepotkan," timpal Tami sependapat dengan perkataan sang anak.
Rumi tersenyum simpul seraya menggeleng pelan. Senyum yang terbit di bibir wanita itu seakan mempertegas bahwa tidak ada yang merasa direpotkan.
"Tidak merepotkan sama sekali Tante. Daripada Tante dan keluarga kebingungan untuk mencari arah dan tujuan, lebih baik singgah dulu di rumah saya. Semoga di sana nanti kita bisa mendapatkan jalan keluar."
Tami melihat ke atas. Semburat warna jingga sebagai datangnya senja sudah mulai terbias di garis cakrawala.
"Hari juga semakin sore, Tante. Sebentar lagi pasti akan gelap. Kasihan Siwi jika harus luntang-lantung di jalan," sambung Rumi pula memberikan penjelasan.
"Tapi Nak, Tante sungguh sangat ti...."
"Sudah Tante, tidak apa-apa. Kita bicarakan semua ini di rumah saya," timpal Rumi memangkas perkataan Tami.
Rumi mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Gegas, ia memesan taksi online untuk bisa membawa pergi keluarga sang kekasih dari tempat ini.
***
"Astaga mbak Tami! Ini ada apa? Mengapa kalian terlihat kacau seperti ini?"
Sari, yang tak lain adalah ibunda Rumi sedikit terkejut dengan kedatangan tamu di sore hari ini. Terlebih tamu itu adalah sang calon besan yang datang dengan raut wajah sendu dan juga nampak begitu shock.
"Bu, biarkan tante Tami masuk dulu ya Bu. Nanti di dalam, Ibu akan tahu apa yang menimpa tante Tami dan keluarganya."
Sari menimbang-nimbang apa yang diucapkan oleh Rumi. Wanita paruh baya itu menganggukkan kepala, sependapat dengan ucapan sang anak.
"Baiklah kalau begitu Mbak, ayo semua silakan masuk. Kita ngobrol di dalam!"
"Terima kasih mbak Sari!"
Sari memandu keluarga Tami untuk masuk ke dalam rumah. Ia arahkan ke ruang keluarga agar bisa berbincang dengan santai. Mereka pun mendaratkan bokong masing-masing di atas sofa yang telah tersedia.
"Jadi ini sebenarnya apa yang tengah terjadi Mbak, mengapa Mbak Tami dan keluarga bisa seperti ini?"
Tami hanya bisa tersenyum getir. Saat teringat apa yang baru saja ia alami, dada seakan begitu sesak. Tak ayal membuat mata wanita itu kembali memanas.
"Kami diusir dari rumah Mbak. Saat ini kami sudah tidak punya tempat tinggal lagi. Yang kita punyai hanya baju yang menempel di tubuh kami ini dan juga yang ada di dalam tas."
"Astaga ... mengapa bisa seperti itu Mbak? Apa yang sebenarnya telah terjadi?"
"Ceritanya panjang Mbak, intinya suamiku terlilit banyak hutang dan menjadikan rumah yang kami tinggali sebagai jaminan. Namun pada akhirnya suamiku tidak bisa membayar, sehingga rumah kami disita."
Sari dibuat terkejut dengan cerita yang dibawa oleh Tami. Saking terkejutnya, kedua bola mata Sari terbelalak sempurna dengan bibir yang menganga lebar.
"Ya Tuhan ... sampai seperti itu? Aku ikut prihatin mendengarnya Mbak. Lantas, Mbak Tami berencana mau kemana?"
Tami menggelengkan kepala dengan pandangan mata yang kosong. "Entahlah Mbak, saya juga bingung mau ke mana. Di kota ini kami tidak memiliki saudara."
Sari terdiam sejenak. Melihat orang dilanda kesusahan seperti ini rasa-rasanya ia tidaklah tega apalagi dia adalah calon besan. Sari turut memutar otak untuk mencari jalan keluar.
"Ah iya, aku punya saran Mbak. Daripada Mbak Tami kebingungan mencari tempat tinggal, lebih baik Mbak Tami dan keluarga menempati rumah peninggalan orang tua saya saja. Ya, meskipun hanya kecil tapi yang paling penting bisa menjadi tempat tinggal Mbak Tami dan keluarga. Bagaimana? Mau ya Mbak?"
Tami sedikit tertegun mendengar usulan Sari. Ada rasa tak enak hati jika menerima tawaran calon besannya ini.
"Tapi Mbak, saya merasa tidak enak hati. Saya takut merepotkan."
Sari tersenyum manis di hadapan Tami seraya menggeleng pelan. "Tidak Mbak, tidak ada yang direpotkan. Bukankah kita adalah keluarga? Dan sudah selayaknya keluarga itu untuk saling membantu!"
Butiran-butiran bening yang berkumpul di pelupuk mata Tami mulai menetes satu persatu. Ia kembali mengisakkan tangis. Tangisnya kali ini bukan karena rasa sedih ataupun kecewa. Namun rasa syukur karena ada uluran tangan dari orang-orang baik di saat ia berada di titik paling rendah.
"Aku tidak tahu harus berkata apa lagi Mbak? Terima kasih banyak Mbak Sari, terima kasih!"
"Sama-sama Mbak!"
Rumi ikut merasa lega setelah mengetahui bahwa keluarga sang kekasih sudah mendapatkan jalan keluar. Sekilas, ia melirik ke arah Bima yang sedari tadi hanya terdiam. Bersamaan dengan Bima yang turut menatap wajah Rumi. Hingga pandangan keduanya pun saling bersiborok dan mengunci.
"Terima kasih Rumi, terima kasih!"
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
Lenkzher Thea
Semangat
2022-12-07
0
Ahmad Affa
semoga bima kelak tidak melupakan semuanya ini..... dan tetap jadi Bimanya tami 😊 arya kok yo bpk gak berakhlaq bisa"nya bikin anak istrinya terusir dr rumahnya sendiri sampe bpkb juga ikutan di sita 🙄
2022-12-02
0
☠ᵏᵋᶜᶟբɾҽҽթαlҽsԵíղαKᵝ⃟ᴸ𒈒⃟ʟʙᴄ
alhamdulillah keluarga rumi baik bgt km hrs bersyukur bim punya kekasih rumi jgn km salah gunakan ya kebaikan rumi dan keluarga nya😌😌
2022-12-01
1