Bab 3. Siapakah Gerangan?

Motor yang dikendarai oleh Bima tiba di halaman rumah. Ia matikan mesin motor dan memilih untuk terdiam sejenak. Senyum tipis terbit di bibirnya kala dari kaca spion terpantul wajah sang kekasih yang ketiduran. Rumi terlihat begitu nyenyak tertidur di mana kepalanya berada di atas pundak Bima. Ingin rasanya Bima membangunkan sang kekasih. Namun ada rasa tidak tega hingga ia memilih untuk mengurungkan niatnya.

"Loh Bim, mengapa kamu hanya terdiam di sana? Ayo masuk!"

Tami, yang tak lain adalah ibunda Bima sedikit berteriak lantang kala melihat sang putra hanya terdiam di atas motor. Wanita berusia empat puluh tiga tahun itu hanya bisa menatap keheranan di ambang pintu akan sikap sang putra yang terdiam dan terpaku.

"Sssstttt .... Rumi tertidur Bu, aku merasa kasihan jika harus membangunkannya."

Bima menempelkan jari telunjuknya di bibir. Memberi sebuah isyarat agar sang ibu tidak terlalu kencang dalam bersuara. Ia khawatir jika akan mengganggu Rumi.

Tami menggeleng-gelengkan kepala seraya berkacak pinggang. Ia mengayunkan tungkai kaki untuk menghampiri sang putra.

"Kalau seperti ini kasihan Rumi. Biar dia istirahat di dalam." Tami dengan pelan menggoyangkan pundak Rumi, berharap kekasih putranya ini terbangun dari mimpi. "Nak, ayo bangun. Istirahat di dalam. Nak, bangun!"

Apa yang dilakukan oleh Tami membuat tidur Rumi sedikit terusik. Gadis itu merasa ada yang menggoyang-goyangkan pundaknya. Mata yang terpejam perlahan mulai terbuka. Dan ia pun mengerjapkan mata berupaya untuk bangun dari tidurnya.

"Astaga, aku ketiduran!"

Saat kesadaran itu bisa ia raih, tubuh Rumi sedikit terperanjat. Ia mengedarkan pandangannya ke arah sekeliling dan sadar jika ia sudah berada di kediaman sang kekasih.

Rumi tersenyum kikuk seraya menggaruk telinganya yang tiada gatal. Rasanya ia teramat malu karena di depan matanya berdiri sang calon mertua.

"Maafkan Rumi ya Tante. Rumi sampai ketiduran."

Tami hanya terkekeh lirih dan mengusap pundak Rumi. "Tidak apa-apa Nak. Ayo kita masuk. Jika kamu masih mengantuk, kamu bisa beristirahat di dalam."

"Eh, iya Tante!"

Tami berbalik arah untuk kembali masuk ke dalam rumah. Sedangkan Rumi sedikit mendengus kesal karena Bima tidak membangunkannya. Dan justru sang calon ibu mertua lah yang melakukan hal itu.

"Ihhhh ... Bima, mengapa kamu tidak membangunkan aku sih? Aku malu tahu, karena tante Tami yang membangunkanku!" protes Rumi sedikit kesal.

Melihat sang kekasih merajuk hanya membuat Bima semakin gemas dibuatnya.

"Kamu tidur terlalu nyenyak Rumi, jadi aku tidak tega membangunkanmu."

"Isshhhh kamu ini buat aku malu saja di depan tante Tami!"

Dahi Bima sedikit berkerut tidak terlalu paham dengan apa yang diucapkan oleh kekasihnya ini. "Malu? Kenapa harus malu, Rumi? Bukankah ketiduran itu merupakan hal yang manusiawi dan wajar?"

"Ckkckkckkk ... ya aku malu kalau tanpa sadar aku tertidur sambil ngiler. Reputasiku di depan calon mertua bisa jatuh kan?" seloroh Rumi sedikit asal.

Bima tergelak seketikam. Mendapati sang kekasih yang jauh lebih khawatir perihal reputasinya daripada keselamatannya jika sampai ia terjatuh dari motor.

"Hahahaha ... Kamu ini ada-ada saja Rum. Tapi, apa kamu sering ngiler ketika tidur?" tanya Bima dengan gelak tawa yang masih membahana.

"Eh!" Rumi sedikit terkejut dengan kedua bola mata yang membulat sempurna. Buru-buru ia cubit pinggang kekasihnya ini.

"Ahhhh ... Sakit, Rumi! Hari ini sudah dua kali loh kamu mencubit pinggangku. Itu karena kamu kesal atau gemas sih!" pekik Bima sedikit kesakitan setelah pinggangnya kembali dicubit oleh Rumi.

"Hmmmm... itu akibatnya kalau kamu bicara sembarangan Bim. Mana pernah aku ngiler saat tidur!"

"Ya, entah siapa yang tahu kan? Barangkali saja, kamu memang sering ngiler kalau tidur. Hahahaha."

"Bima!"

***

Rumi duduk di sebuah sofa yang berada di ruang keluarga kediaman Bima. Netranya mengedar ke arah sekeliling dan seketika terhenti pada sebuah pigura besar di mana di sana ada sebuah lukisan anggota keluarga kekasihnya ini. Entah mengapa setiap ia bertandang ke rumah Bima, ia selalu dibuat takjub dengan lukisan itu.

"Itu yang melukis ayah, Kak. Pasti kak Rumi terkesima ya melihat lukisan itu?"

Netra yang sebelumnya fokus menatap lukisan yang menempel di dinding, kini beralih kepada sosok gadis remaja berusia tiga belas tahun. Dialah Siwi, adik semata wayang Bima.

"Benarkah itu Wi? Kak Rumi malah baru tahu jika om Arya yang membuat lukisan itu. Abangmu bahkan tidak pernah bercerita perihal siapa yang melukis lukisan itu."

"Ya, seperti itulah bang Bima, Kak. Dia selalu saja tertutup terlebih perihal ayah," cicit Siwi dengan suara lirih. Hal itulah yang justru membuat Rumi semakin dibuat penasaran.

Satu tahun menjalani hubungan bersama Bima, lelaki itu memang tidak pernah membuka obrolan tentang sang ayah. Bahkan setiap kali ia bertandang di rumah Bima tidak pernah sekalipun ia berjumpa dengan sosok ayah dari kekasihnya ini. Yang ia tahu hanya sebatas namanya saja.

"Memang ada apa Wi? Mengapa abangmu sampai tertutup perihal ayahnya sendiri?"

Akhirnya pertanyaan itu meluncur dari bibir Rumi. Kali ini ia benar-benar ingin tahu tentang ada cerita apa sampai Bima selalu menutup pembicaraan perihal sang ayah. Ia berpikir akan banyak mendapatkan informasi dari gadis remaja yang duduk di kelas dua SMP ini.

"Itu karena ayah pu....."

"Heh, anak kecil! Bicara apa kamu?"

Ucapan Siwi terpangkas kala terdengar suara bariton yang tiba-tiba memenuhi langit-langit ruangan. Suara itu tidaklah asing. Rumi dan Siwi bahkan bisa langsung paham suara siapakah itu. Kedua gadis berbeda usia itu menoleh ke arah sumber suara. Dan benar saja bahwa Bima sudah berjalan mendekat ke arah mereka.

Siwi nyengir kuda. Ia yang sebelumnya terlihat menggebu untuk bercerita mendadak kicep. Bahkan ia nampak seperti anak kecil yang ketakutan.

"Hehehe, tidak Bang. Aku tidak bercerita apapun kok. Piss ya Bang," ucap Siwi seraya mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah membentuk huruf V.

"Kamu ini masih kecil Wi. Jangan ikut campur masalah orang tua!" ujar Bima memperingatkan. "Lebih baik kamu kembali ke kamar daripada bikin ribet di sini!" sambung Bima dengan nada mengusir.

"Tidak mau Bang. Aku masih ingin duduk di sini menemani kak Rumi." Siwi mengedarkan pandangannya ke arah Rumi. "Kak Rumi memintaku untuk tetap di sini kan kak?"

Rumi terkikik geli melihat ekspresi wajah Siwi di mana matanya berkedip-kedip. Tanpa pikir panjang, ia menganggukkan kepala.

"Iya Bim, biarkan Siwi tetap di sini. Kasihan kalau dia tidak punya teman bermain."

"Tuh dengar sendiri kan Bang, kalau kak Rumi ingin aku temani di sini," ucap Siwi terdengar begitu puas. Bahkan sesekali ia menjulurkan lidahnya ke arah sang kakak.

"Ckkckkckkk .... Kalau ingin tetap di sini jangan bicara sembarangan!" decak Bima kesal.

"Iya Bang, iya."

"Wah, wah, wah, ngobrolin apa ini? Kedengarannya kok asyik sekali?" Sembari meletakkan sepiring bakwan jagung dan tiga gelas jus jambu, Tami datang menghampiri anak-aaknya. "Ini Ibu bawakan bakwan jagung dan jus jambu kesukaan kalian. Dimakan ya!"

"Wah, terima kasih banyak Tante. Bakwan jagung buatan tante Tami favorit banget," ucap Rumi kegirangan. Bagi gadis itu, bakwan jagung buatan sang calon mertua memang nikmat.

Tami hanya menganggukkan kepala seraya tersenyum simpul. Wanita paruh baya itupun juga turut mendaratkan bokongnya di atas sofa.

"Kabar keluarga bagaimana Nak? Tante minta maaf karena beberapa bulan ini jarang main ke rumahmu."

"Semua baik Tante. Ibu saat ini juga sedang sibuk di warung makan. Akhir-akhir ini banyak sekali pesanan nasi kotak."

"Syukurlah kalau begitu Nak." Tami menjeda sejenak ucapannya dan menghela napas panjang. "Oh iya, Tante dengar kamu sudah diterima di salah satu universitas negeri di kota ini ya Nak?"

"Iya Tante, Rumi memakai jalur prestasi. Dan diterima."

"Kamu benar-benar hebat Nak. Tante ikut bahagia dan bangga mendengarnya." Tami menoleh ke arah sang putra. "Lalu, kamu sendiri bagaimana Bim? Mau melanjutkan di mana?"

Bima yang sebelumnya fokus dengan layar ponsel di tangan, seketika ia alihkan perhatiannya. Ia membuang napas sedikit kasar. "Seperti yang sudah pernah aku katakan, Bu. Aku ingin melanjutkan studi di ISI. Yang sesuai dengan bakat dan juga minatku."

"Ibu kenapa masih bertanya sih? Nilai akademik bang Bima kan pas-pasan jadi tidak mungkin mengikuti jejak kak Rumi," timpal Siwi dengan nada mengejek.

Kedua bola mata Bima membulat sempurna. Ingin rasanya ia membungkam mulut adiknya ini namun ia urungkan.

"Dasar, adik tidak ada akhlak. Abang doakan besok nilai ujian kamu juga jeblok!"

"Ye... Tidak mungkin itu Bang. Aku selalu masuk sepuluh besar. Beda sama Abang!" sanggah Siwi tidak terima.

"Tapi semua tidak ada yang ti..."

Dug.... Dug.... Dug....!!!

"Arya, keluar kamu! Jangan lagi kamu bersembunyi dan lari dari tanggung jawabmu!"

Perkataan Bima terpangkas kala suara gaduh dari pintu depan mulai terdengar memekak telinga. Orang-orang yang berada di ruangan ini saling bertatap netra dan bertanya-tanya ada apakah gerangan ribut-ribut di luar sana. Empat orang itu sontak berdiri seketika dan mulai berjalan ke arah depan.

.

.

.

Terpopuler

Comments

Ahmad Affa

Ahmad Affa

sepertinya bima sama bapaknya ada sesuatu deh sampe siwi aja g boleh cerita perihal bapaknya..... kira" ada apa ya dengan bapaknya arya 🤔

2022-12-02

0

☠ᵏᵋᶜᶟբɾҽҽթαlҽsԵíղαKᵝ⃟ᴸ𒈒⃟ʟʙᴄ

☠ᵏᵋᶜᶟբɾҽҽթαlҽsԵíղαKᵝ⃟ᴸ𒈒⃟ʟʙᴄ

ada apa dgn ayah nya bima knp bima tertutup tentang ayah nya sendiri ke rumi??

2022-11-28

1

Lenkzher Thea

Lenkzher Thea

Sepertinya itu tukang kredit yang datang

2022-11-28

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!