Brak .... Brak ... Brak!!!
"Katakan di mana lelaki pecundang itu? Jangan coba-coba kalian untuk menyembunyikan ataupun melindunginya!"
Lima orang laki-laki bertubuh kekar dengan dipenuhi oleh tato di sekujur badan merangsek masuk ke dalam rumah Bima secara brutal. Tanpa permisi, mereka mulai memasuki satu per satu kamar yang ada di rumah ini untuk menemukan seseorang yang mereka cari.
Kedatangan tiba-tiba lelaki bertubuh kekar itu sukses membuat Rumi dan Siwi ketakutan. Dua gadis itu meringkuk saling berpelukan erat di sudut ruangan untuk meredam rasa takut mereka. Sedangkan Bima dan Tami jauh terlihat lebih santai dan tenang. Meskipun tak dapat dipungkiri jika ada rasa takut yang terpancar di wajah mereka.
Barang-barang yang ada di ruang tamu pun menjadi salah satu sasaran amukan mereka. Alhasil keadaan rumah yang sebelumnya begitu rapi, kini porak poranda layaknya kapal pecah setelah dihantam badai.
"Kenapa kalian diam saja, hah?! Katakan, kalian sembunyikan di mana lelaki pecundang itu? Kalau kalian masih diam seperti ini, akan aku bakar rumah ini. Cepat katakan!" ancam salah satu preman dengan rambut panjang dan keriting.
Bima menatap sinis wajah kumpulan laki-laki kekar di hadapannya ini. Sorot matanya terlihat begitu tegas seolah ia tidak takut untuk berhadapan langsung dengan para preman itu. Bima menyilangkan kedua lengan tangannya di dada dan berdecih lirih.
"Siapa lelaki pecundang yang kalian maksud? Di sini tidak ada satupun lelaki kecuali aku. Jadi, siapa yang kalian cari?"
Kelima preman itu saling melempar pandangan. Mungkin mereka sama sekali tidak menyangka jika seorang pemuda yang mereka anggap masih ingusan ini berani untuk menantangnya.
Salah satu preman berkepala plontos berjalan mendekat ke arah Bima. Dari dalam saku celana yang ia kenakan, ia mengambil pisau kecil.
"Oh ... Rupa-rupanya ada macan kecil yang ingin melawanku?" Lelaki itu mengarahkan pisau yang ia bawa ke arah wajah Bima. Bahkan ia mulai menggesek-gesekkan pisau itu ke area pipi Bima. "Jangan coba-coba melawanku macan kecil. Katakan di mana lelaki pecundang itu!"
Tami terhenyak kala melihat pisau yang dibawa oleh preman itu mendarat di pipi Bima. Meskipun hanya untuk menakut-nakuti namun apa yang dilakukan oleh preman itu sungguh membuatnya bergidik ngeri. Ia khawatir jika pisau itu sampai melukai sang anak.
"Jangan macam-macam kamu. Singkirkan pisau itu dari wajah anakku!"
Si preman menoleh ke arah Tami. Lelaki itu terlihat tersenyum remeh. "Oh, jadi ini anakmu? Jika kamu ingin macan kecil ini selamat, katakan di mana lelaki pecundang itu!"
"Jangan main-main kamu. Jauhkan pisau itu!" titah Tami namun sama sekali tidak diindahkan oleh si preman. Bahkan preman itu malah terlihat semakin intens menggesek-gesekkan ujung pisau di pipi Bima.
"Jika yang kalian cari adalah Arya, kalian salah alamat. Arya tidak tinggal di sini!"
"Apa? Arya tidak tinggal di sini? Yang benar saja kamu!" ucap si preman tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Bima. "Cara seperti itu merupakan cara kampungan untuk melindungi lelaki pecundang seperti Arya."
Bima membuang napas sedikit kasar. Meskipun berkali-kali berada di bawah tekanan preman, namun ia mencoba untuk tetap bersikap santai.
"Sampai habis kesabaranmu pun, aku tetap mengatakan bahwa Arya tidak ada di rumah ini. Sudah dua tahun dia pergi dari sini. Dan sia-sia saja jika kamu tetap bersikeras menanyakan keberadaannya kepada kami!"
Preman berkepala plontos itu menakutkan pandangannya ke arah teman-temannya yang lain. Mereka seolah saling berbicara meskipun hanya menggunakan bahasa mata dan anggukan kepala. Lantas ia kembali menatap lekat wajah Bima.
"Baiklah jika memang Arya tidak ada di sini. Aku tidak akan memaksa kalian untuk memberitahu di mana keberadaannya. Namun, aku minta satu hal kepada kalian. Tinggalkan rumah ini segera!"
Sikap santai yang sebelumnya ditampakkan oleh Bima, seketika berubah menjadi ekspresi penuh keterkejutan. Bahkan wajah pemuda itu juga terlihat begitu kebingungan. Tidak paham dengan apa yang dikatakan oleh preman ini.
"Pergi dari rumah ini? Apa maksudmu? Ada hak apa kalian mengusir kami dari rumah kami sendiri?"
Bima berteriak lantang ke arah preman berkepala plontos. Tak setitik pun rasa takut yang membalut hatinya. Sebagai seorang lelaki satu-satunya di dalam keluarga, ia memang berkewajiban untuk melindungi keluarganya ini.
"Jadi kamu belum tahu jika Arya terlilit hutang dengan bos kami?" ucap si preman dengan santai. Ia menjentikkan jemarinya seperti memanggil salah satu temannya.
Tak memerlukan waktu lama, preman dengan rambut keriting itu mendekat dengan membawa sebuah map berwarna hitam.
"Lihatlah, ini hutang-hutang ayahmu kepada bos kami beserta surat perjanjian dengan menjadikan rumah ini sebagai jaminan!"
Bima sedikit tergagap saat map warna coklat itu dilempar dan mengenai wajahnya. Gegas, ia membaca isi map itu. Dengan intens, Bima mencoba memahami setiap kata yang tertulis di sana.
"Ba**sat, ternyata lelaki itu menjadikan rumah ini sebagai jaminan hutang. Dasar kep*arat!"
Bima mengumpat Arya dengan kata-kata kasar. Raganya seakan dipenuhi oleh kobaran emosi yang membara hingga meletup-letup sampai di ujung kepala. Kobaran itu membakar rasa sabar yang selama ini ia punya. Sabar untuk tetap menghormati Arya meskipun semua perilakunya teramat menyakitkan.
Bima mere*mas-re*mas map berwarna cokelat itu. Sekuat apapun ia sebagai seorang laki-laki namun pada akhirnya runtuh juga pertahanan yang ia miliki. Bulir-bulir bening, mulai meluncur bebas dari bingkai matanya.
Dadanya semakin sesak jika teringat akan jalan hidup yang dituliskan kepadanya. Sosok ayah yang seharusnya bisa membahagiakan keluarga dan menjadi sayap pelindung, namun yang ia dapatkan adalah sebaliknya. Baginya sosok Arya tidaklah lebih dari seorang pecundang sama seperti label yang disematkan oleh kumpulan preman ini.
Tubuh Bima sedikit terhuyung. Sendi-sendi di tubuhnya seakan melemah dan terlepas satu persatu. Tulang-tulang milik pemuda itupun juga seakan sudah tak mampu lagi untuk menopang bobot tubuhnya. Ia pun jatuh dan terduduk lemas di atas lantai yang berantakan ini.
"Bima!"
Tami memekik kencang seraya merapatkan tubuhnya di tubuh sang putra. Wanita paruh baya itu teramat terkejut melihat tubuh sang putra yang seperti tiada berdaya dan memilih untuk bersimpuh di lantai. Gegas, Tami memeluk erat tubuh putranya ini.
"Mengapa lelaki itu jahat dan tega sekali kepada kita Bu? Apa yang sebenarnya ia inginkan dari kita? Mengapa sejak dulu dia tidak pernah membuat hidup kita tentram?"
Tami mengusap-usap punggung Bima. Mencoba mentransfer kekuatan untuk sang putra. Meskipun keadaan seperti ini juga teramat berat untuk ia jalani, namun ia berupaya untuk tetap kuat menghadapi.
"Sabar ya Nak. Semua sudah terjadi. Untuk saat ini kita harus memutar otak, akan kemana kita setelah ini."
Bima hanya terdiam membisu tak sedikitpun menanggapi ucapan sang ibu. Raga dan juga jiwanya seakan dibuat lelah oleh sikap sang ayah. Ia sampai tidak mengerti, kesabaran seperti apa lagi yang harus ia tunjukkan untuk menghadapi situasi sulit seperti ini.
Sedangkan Rumi yang sedari tadi meringkuk di sudut ruangan dengan memeluk Siwi, hanya bisa menatap nanar wajah sang kekasih. Kali ini terlihat jelas wajah Bima yang begitu kacau. Di hadapannya benar-benar tersaji sebuah keadaan laki-laki yang berada di titik paling rendah dalam hidupnya.
Semoga kesabaran yang kamu miliki seluas samudera Bim. Dan semoga badai ini cepat berlalu dan segera kamu temukan pelangi setelahnya.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
anggita
lewat ng👍like ae thor,, mugo lancar sukses novel sampeyan👏.
2022-12-14
1
☠ᵏᵋᶜᶟբɾҽҽթαlҽsԵíղαKᵝ⃟ᴸ𒈒⃟ʟʙᴄ
jgn bilàng ayahnya bima punya perempuan lain suka judi dan mabuk²n makanya ampe terlilit hutang banyak kek gt😌😌😌
2022-11-28
3
Lenkzher Thea
Lanjut thor sukses selalu
2022-11-28
1