"Kamu mau membawaku ke mana, Dongsaeng? Ini bukan tempat yang biasanya kudatangi."
"Oh, tenang saja, Noona. Kita akan pergi ke tempat yang lebih murah. Meski sedikit agak kotor, tetapi di sana sayurannya masih segar-segar."
Akhirnya aku membawa kak Kirana ke pasar. Meski sudah siangan, kurasa masih ada penjual sayuran segar. Apalagi pasarnya masih buka walau siang hari. Sudah terbiasa ke pasar membuatku tahu seluk beluknya. Mamaku selalu mengajakku ke tempat ini karena harganya murah dan mudah. Bukan berarti aku tidak pernah ke supermarket, yah.
Biasanya kalau malam-malam, barulah ke supermarket bersama mama. Dia juga sangat pandai memilih sayuran yang segar. Kalau aku sih tidak bisa memilih apapun. Tapi setidaknya tahu tempat biasanya.
"Di sini kamu dan mama kamu belanja? Wah, pasarnya juga terlihat bersih. Beda dengan apa yang kupikirkan selama ini. Kamu pinter, ngajak kakak ke sini."
"Oh, tentu saja aku pinter. Kalau tidak, namaku bukan Devan." Karena dipuji seperti itu, membuatku senang. Aku memarkirkan kuda besiku di tempat parkiran.
Banyak penjual yang sudah meninggalkan lapaknya. Namun masih banyak juga yang masih menjajakan dagangannya. Beberapa orang terlihat sibuk dengan pekerjaan sebagai kuli panggul. Sudah bukan barang langka lagi, adanya jasa kuli angkut yang membantu para pembeli.
Sesekali aku juga pernah dimintai tolong oleh mama untuk membawakan dagangannya. Mungkin mengira aku kerja di sini kali, yah. Memang benar sih, tampilanku tergolong biasa-biasa saja. Atau mungkin karena sering melihatku membawakan barang belanjaan mamaku.
"Bagaimana, Noona? Apakah kau bisa menyesuaikan? Soal harga, dijamin murah. Soal kualitas, kita bisa memilih yang mana. Tapi ada beberapa lapak yang sudah terakreditasi oleh mamaku."
"Haihh ... apa-apaan? Belanja pake akreditasi segala. Emangnya kamu mau nyari sayur atau mau sekolah, sih?" Sambil menoel hidungku, kak Kirana juga tersenyum manis.
Bibirnya ia monyongkan saat menoel hidungku yang mancung. Eh, aku punya hidung mancung atau pesek, yah? Masa aku sampai lupa gitu, sih? Ah, biarkan saja, deh. Soalnya kalau masalah fisik, malah membuatku kekurangan harga minyak. Eh, maksudnya harga diri. Kenapa malah nyasar ke minyak segala.
"Eh, masa kita di pasar mau panggil Dongsaeng dan Noona? Lebih baik kamu panggil kakak atau tante saja. Tapi lebih nyaman dipanggil kakak, sih. Hehehe, biar kita nggak kejauhan umurnya. Kan aku masih muda, bukan?"
"Iya-iya, deh. Lagian masa tante-tante jalan sama berondong tampan seperti ini. Kalau kakak nggak apalah. Lagian kamu nggak tua-tua amat. Jadi masih aman, sih."
Ini sebenarnya aku panggil tante atau kakak sama saja. Yang penting umurnya juga sudah tidak muda lagi. Eh, tapi usia tiga puluh delapan, masih muda atau apa? Yang jelas sudah menjadi wanita dewasa. Yang jelas, pikirannya juga dewasa. Seharusnya sih gitu. Tapi kenapa saat di dekatku dia malah kayak anak abege labil? Ah, entahlah.
Kami melewati kerumunan dan memilih belanja di tempat ini. Namun apa yang kubayangkan seperti drama-drama Korea, tidak sesuai kenyataan. Mungkin ekspektasiku terlalu berlebihan. Sehingga membuatku larut dalam khayalan semu yang tak bertepi. Aduh, mulai ngawur lagi nih pikiran.
Aku membayangkan para penjual dan pembeli yang ada di pasar akan memperhatikan kami dan akan terjadi drama. Yaitu banyak yang melihat kemesraan kami dengan mata melotot dan air liur meleleh. Namun tidak ada adegan itu semua. Hanyalah beberapa orang yang menawarkan dagangannya.
"Ayo, Mbak. Ini masih segar sayurnya. Masnya nggak sama mamanya?" tanya penjual sayur langgananku dan mama. Sudah pasti dia tahu diriku karena setiap belanja ke orang ini. Seorang wanita berusia empat puluh tahunan. Penjualnya ramah dan harga sayurannya juga murah. Kitanya saja sebagai pembeli yang harus memilih.
"Mama lagi ada tugas, Buk. Ini aku bawa mama yang lain, hehehe. Tidak kalah cantik sama mamaku, kan?"
"Apaan kamu, sih? Sudahlah. Bu, aku mau wortel sama kentangnya, masing-masing satu kilo, yah." Kak Kirana yang memilih sayuran-sayuran tersebut. Menyisikan sayuran yang ingin dibeli. Kelihatannya dia cukup ahli.
"Ini plastiknya, Mbak. Di sini dijamin bagus-bagus dan segar. Eh, masnya bantuin milihin, gih!" perintah penjualnya ketus. Ada angin apa, sampai ketus kayak gitu? Entahlah, namanya emak-emak yang jualan.
Kami memilih dan memilah sayuran yang masih tersisa. Memang sulit bagi kami memilih karena hampir sembilan puluh persen masih terlihat bagus. Meski ada beberapa yang busuk, biasanya tidak akan dijual keesokan harinya. Mungkin dibuang atau diapakan, aku tidak tahu. Tidak setiap hari ke pasar juga.
"Wah, beneran harganya segitu, Bu? Ini uangnya, kembaliannya buat ibu saja," tandas kak Kirana murah senyum. Mungkin dia tidak menyangka, harga sayurannya semurah itu.
Beda dengan saat belanja di supermarket. Yang harganya berbeda jauh. Bedanya jika di sini, pembeli harus lebih jeli memilih. Jangan sampai memilih sayuran busuk atau tak layak dimakan.
Hari semakin siang, akhirnya kami sudah membeli banyak. Ada daging, telor dan sayuran serta bumbu masak. Semuanya itu sudah berada dalam kantong-kantong kresek besar. Ini sih belanjaan bisa tahan sampai seminggu. Mungkin aku harus mengganti motorku. Karena ternyata tidak bisa membawa belanjaan yang sudah tersusun rapi. Eits, becanda ding.
Aku memang sudah merencanakan ini semua. Sebelum berangkat, aku sudah menyiapkan tempat untuk menaruh belanjaan ini. Hari ini cukup melelahkan karena kami membawa banyak barang belanjaan. Setelah selesai, kami pulang ke rumah kak Kirana.
Tidak tahu kabar Clarissa karena sudah beberapa hari tidak mengabariku. Mungkin dia sudah benar-benar ingin memutuskan hubungan kami yang sudah diujung tanduk. Aku tidak menyangka dia sudah melupakanku. Terakhir kali saling mengabari adalah saat hari dimana dia tidak menjawab telepon dariku.
"Apa yang sedang kamu lamunkan? Apa sedang mikirin pacarnya, yah? Pacarmu nggak marah kalau kita jalan berdua, kan?"
"Eh, pacar? Hehehe, dia nggak marah, kok. Itupun kalau masih dianggap pacar. Sudahlah, Kak. Aku mungkin sedang banyak pikiran. Maafkan aku, yah."
"Iya, hati-hati kalau bawa motor. Jangan sampai kamu nggak konsen karena mikirin pacar. Kalau tidak, kamu lamar saja pacarmu. Terus nikah dan punya anak, siapa tahu kakak bisa gendong anakmu, hehehe."
Andai dia tahu, pacarku adalah anakmu, kak Kirana. Apa kau tidak akan mengerti, semua ini kulakukan hanya untuk mendekatimu? Aku ingin membalaskan rasa sakit hati ini karena penghianatan yang dilakukan oleh putrimu? Andai kau tahu, apa kamu tidak akan kecewa padaku? Jika nanti saatnya, kau bisa membenciku sepuas hatimu. Kau bisa mengataiku sepuas yang kau mau. Tapi aku hanya ingin putrimu itu menyesal telah mempermainkanku.
"Sebentar, Kak. Ada telpon masuk kayaknya. Aku angkat telpon dulu, yah." Aku meminggirkan kuda besiku ke trotoar dan kuambil handphoneku.
Ternyata panggilan sudah berakhir dan ada satu pesan menohok yang masuk. Dimana isi pesannya membuatku syok dan juga merasa harus memulai rencanaku dengan cepat.
"Kenapa kamu jadi cuek gitu sama aku? Kamu tidak pernah hubungin aku lagi. Kamu sudah lupa sama janjimu bakal ada untukku dua puluh empat jam. Apakah kamu sudah punya yang baru? Apakah kamu sudah bosan denganku? Aku juga tidak tahu kamu masih cinta aku atau kamu punya cewek baru. Jadi tolong hargai aku sebagai pacarmu. Begini saja, Devan. Aku minta putus sekarang juga. Dan kamu jangan pernah temui aku lagi."
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments