Bab 3

Nio menatap penuh selidik wanita di depannya yang tengah makan dengan begitu santai. Wanita yang telah ia nikahi hampir dua tahu itu entah mengapa berubah menjadi aneh. Setelah memeluknya dengan menangis serta terus meminta maaf, tiba-tiba ia menyuruh Jessica menyiapkan makan malam dan mengajak Nio untuk makan bersama. Wanita berparas cantik bak Dewi Yunani itu membuat Nio berpikir dengan ribuan pertanyaan. Sejak kapan Zoya mau makan bersama dengan suaminya itu?

"Mas, kenapa bengong?" tanya Zoya menatap bingung suaminya.

Nio pun hanya menggeleng lalu meraih sendok dan melahap makan malamnya. Mereka tampak diam tanpa suara. Sesekali saling melirik dengan tatapan yang berbeda. Jika Zoya menatapnya dengan penuh haru, lain halnya Nio yang menatap istrinya dengan tatapan penuh selidik. Entah rencana apa lagi yang ingin ia buat, batin lelaki itu.

Makan malam usai. Nio hendak beranjak, tetapi langkahnya terhenti saat Zoya mencekal tangannya.

"Eeuummm Mas, a-apakah Rasya baik-baik saja?"

Mata Nio membulat sempurna. Ia terkejut dengan pertanyaan sang istri. Sejak kapan wanita itu peduli pada anaknya? Nio benar-benar tak habis pikir dengan perubahan kilat seorang Zoya Maharani Lavani.

"Sepertinya kamu butuh ke dokter." Nio pun berlalu meninggalkan Zoya yang menatap punggung lelaki itu dengan penuh tanda tanya.

"Ke dokter? Memang aku kenapa?" tanya wanita cantik itu berpikir. Bahkan ia menaruh telapat tangannya di dahi, leher serta pipi. "Tidak panas," gumamnya dengan wajah bingung. "Ah, kenapa aku berbicara sendiri? Lebih baik aku memastikan keadaan Rasya dulu. Semoga saja dia benar-benar masih hidup."

Dengan terburu-buru Zoya melangkahkan kakinya ke lantai dua. Rasya memang tidur bersama Nio sejak ia lahir. Sedangkan Zoya menempati kamar utama di lantan bawah. Bukan keinginan Nio, justru itu adalah keinginan wanita tersebut. Ia menganggap berdekatan dengan dua lelaki itu hanya memberikan kesialan. Sungguh jahat memang Zoya di masa itu. Namun kini, ia benar-benar ingin berubah setelah Tuhan memberinya kesempatan.

Zoya menatap pintu cokelat yang terbuat dari kayu jati tersebut. Dengan ragu, wanita itu mengetuk pintu kamar suaminya. Ia terkejut saat pintu terbuka menampakkan lelaki yang sama terkejut melihat wanita cantik itu di depan kamarnya.

"Ada apa?" tanya Nio dingin merubah ekspresi keterkejutannya.

"Kamu belum menjawab pertanyaanku, Mas. Apakah Rasya baik-baik saja?" tanya Zoya dengan cemas, sesekali ia melirik ke dalam kamar berharap dapat melihat bocah kecil yang menggemaskan itu. Ya, untuk Zoya kali ini Rasya adalah bayi menggemaskan. Andai itu di kehidupan sebelumnya, mungkin Rasya adalah bayi paling menyeramkan untuknya.

"Tumben sekali kamu menanyakanya. Ada apa? Apa kartu kredit yang aku berikan kurang? Katakan saja, jangan banyak basa basi," kata Nio dengan tegas.

'Astaga, apa ini yang ia bilang bahwa ia mencintaiku?' batin Zoya menatap sebal pada suaminya.

"Aku—" Sebelum meneruskan ucapannya, tiba-tiba suara seseorang menghentikan ucapan Zoya.

"Mama, mama, mama."

Dua orang dewasa itu melirik bocah lucu yang kini berjalan pelan mendekati mereka. Hati Zoya mencelos. Dadanya terasa sakit menatap bayi yang belum genap berusia satu tahu itu. Bahkan tangannya sampai gemetar mengingat betapa jahatnya ketika terakhir kali berinteraksi dengan anak lelakinya.

"Ra-Raysa," lirih Zoya dengan air mata yang menetes.

Nio sendiri tampak terkejut melihat tatapan istrinya yang terlihat begitu banyak penyesalan di sana. Zoya bahkan sampai berlutut untuk menyetarakan tingginya dengan bocah kecil itu.

"Mama, mama." Tangan Rasya kecil menjulur seperti memberi isyarat agar sang mama menggendongnya.

"Rasya. Allah, anak mama." Dengan cepat Zoya memeluk anak lelakinya. Dengan air mata bercucuran, ia kecupi wajah gembul Rasya yang terus tertawa dengan perlakuan sang mama. Zoya sendiri menangis histeris memeluk erat bocah itu dengan bibir yang terus berucap maaf, membuat Nio yang melihat merasa tak percaya. Ia bahkan sampai menutup mulut dengan telapak tangannya saking takjub melihat kejadian di depannya.

"Maafkan Mama, maafkan Mama. Mama sayang Rasya, Mama sayang Rasya." Tangisan Zoya benar-benar menyayat hati. Rasa bersalah begitu kentara ia rasakan. Bagaimana menyedihkan bocah itu saat meminta sang mama untuk memeluknya di saat-saat terakhir hidupnya. Akan tetapi, justru Zoya bentak dan meninggalkan tanpa peduli dengan keadaan bocah itu yang tengah sakit. Ia benar-benar jahat, sungguh jahat pada anak yang sama sekali tak bersalah dalam hidupnya.

Tak ada anak yang bisa memilih dilahirkan oleh siapa. Tak ada anak yang mau dilahirkan atas dasar kesalahan. Namun, banyak orang-orang dewasa yang menyangkut pautkan kesalahan orang tuanya pada anak yang tak tahu apa-apa. Bahkan, julukan 'anak haram' mereka berikan pada anak yang lahir hasil di luar pernikahan. Sungguh miris mendengar kata-kata itu. Bagaimana bisa bayi yang suci tanpa dosa langsung dipanggil anak haram dengan teganya.

Itu juga yang Zoya rasakan sekarang. Bagaimana bisa ia menyalahkan Rasya yang tak tahu apa-apa soal hidupnya yang berantakan? Bagaimana bisa ia selalu mengatakan bahwa bayi itu adalah sebuah petaka dalam hidupnya? Mengingat itu, Zoya merasa sangat kejam sebagai seorang ibu.

"Mama, mama." Rasya menepuk-nepuk wajah Zoya sehingga kesadaran wanita itu kembali. Ia menatap bola mata bulat berbinar anaknya dengan tatapan sayu. Ia berharap bahwa kejadian buruk itu hanyalah mimpi dan masa yang ia rasakan sekarang adalah kenyataan. Ia tak sanggup jika pelukan ini hanya bunga tidur dan saat terbangun ia kehilangan Nio dan Rasya lagi untuk selama-lamanya.

Melihat Zoya yang menangis, entah kenapa hati Nio merasa sakit. Ia terkejut dengan semua yang terjadi dengan perubahan istrinya. Padahal sudah tiga hari wanita itu tak pulang. Bahkan terakhir kali sebelum pergi, Zoya berkata ia tak akan kembali sebab merasa muak melihat Nio dan Rasya yang mengganggu indera penglihatannya. Namun kini, semenjak kepulangannya beberapa saat lalu kenapa sikapnya berubah? Ini sungguh aneh untuk Nio.

Lelaki itu berjongkok hendak mengambil Rasya, tetapi pelukan Zoya semakin erat dengan menatap mata suaminya. "Jangan pisahkan aku darinya, aku mohon," lirih Zoya dengan air mata yang tak henti mengalir. Tatapan sedih penuh penyesalan itu sungguh membuat hati Nio terasa teriris. Ia tak sanggup melihat istrinya seperti sekarang.

Selama menikah, hanya kebencian yang Zoya tunjukan. Ia sama sekali tak pernah menangis, bahkan saat melahirkan Rasya, ia sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda kesakitan. Jika wanita lain akan menangis atau merengek pada suaminya, berbeda dengan Zoya yang hanya diam dengan mencengkram ranjangnya saking tak ingin mengekspresikan perasaannya. Namun sekarang, apa yang Nio lihat? Wanita baja itu menangis sesegukkan memeluk anak laki-lakinya. Entah apa yang terjadi pada Zoya sehingga ia bisa berubah 180 derajat seperti saat ini.

**

Setelah drama pertemuan dengan memeluk anaknya seperti perangko yang menempel di amplop, Zoya masuk ke kamar. Tak lupa ia membawa Rasya bersamanya. Meski Nio sempat menolak, tetapi Zoya terus memohon bahkan sampai hampir berlutut di kaki suaminya untuk mengizinkan Rasya tidur dengannya, hingga lelaki itu mengalah dan mengizinkan anaknya tidur bersama ibunya.

Nio benar-benar hilang akal dengan apa yang terjadi pada istrinya. Seperti sekarang, bukannya tidur, lelaki itu justru tengah mondar mandir di depan kamar Zoya dengan perasaan cemas. Sesekali ia mencoba membuka pintu, tetapi diurungkan kembali. Ia terus bulak balik dari kamarnya, lalu kembali lagi ke kamar Zoya di lantai bawah.

Bukan tanpa alasan Nio bersikap seperti itu. Sejak Rasya lahir, sampai kemarin, bocah itu selalu bersamanya dan tak pernah sekalipun bersama ibunya. Jangankan tidur bersama, ketika duduk berdekatan saja Zoya selalu mendorong bocah itu tanpa berpikir keselamatannya. Jadi, tak salah 'kan, jika Nio khawatir meski sang anak bersama ibu kandungnya?

"Tuan."

Nio terperanjat kaget saat tiba-tiba Jessica berada di belakangnya. Ia bahkan sampai menyentuh dadanya sakit terkejut.

"Kamu ini, bikin saya kaget saja." Nio mengusap dada untuk menenangkan diri.

"Ma-maaf, Tuan. Saya hanya ingin bertanya, apa Anda membutuhkan sesuatu? Sejak hampir empat jam ini Tuan selalu naik turun. Saya pikir, Tuan membutuhkan sesuatu?" tanya Jessica hati-hati.

"Tidak. Saya tidak membutuhkan apa-apa. Saya naik dulu." Dengan berat hati, Nio pergi meninggalkan kamar istrinya. Sesekali ia berhenti berjalan dan menatap khawatir kamar berpintu warna putih tersebut. Berulang kali ia menghela napas berat seakan pasokan oksigen pergi entah ke mana.

Semoga ibumu tak melakukan hal aneh padamu, Nak, batin Arsenio.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!