...Episode 4...
Aku bersenang-senang saat di pantai, suara gemericik ombak terdengar sangat menenangkan hati. Hari itu tidak pernah bisa ku lupakan.
Kebahagiaan yang tak akan bisa tergantikan, berenang di laut dengan Ayah dan Nenek hanya melihat di gubuk yang Ayah sewa. Kami menghabiskan waktu bersama.
Saat di pantai aku memandangi anak-anak yang ditemani ibunya dan menggandeng tangan ibunya. Ayah yang melihatku sedih, menggandeng tanganku.
“Meski Hani tidak ada ibu, masih ada ayah dan nenek yang sangat menyayangi, Hani,” ucap Ayah.
Sepulangnya dari pantai, Ayah mengajak kami pergi ke panti asuhan, di sana aku melihat banyak anak-anak seusiaku sudah tidak ada orang tua. Ada anak laki-laki sedang terdiam di kursi taman.
Dia duduk sendiri, dengan muka yang banyak luka. Ibu panti mengatakan bahwa anak laki-laki itu bernama, Erik.
“Erik anak yatim piatu, orang tuanya belum lama meninggal karena kecelakaan. Dari awal dititipkan disini Erik selalu memberontak dan berkelahi dengan anak panti. Karena sikapnya, Erik tidak ditemani dan selalu menyendiri,” ucap Ibu panti.
Karena merasa kasihan aku mendatanginya. Saat aku ingin duduk disebelahnya, Erik membentak. “Jangan disini!”
Aku tetap duduk disebelahnya, kemudian aku menulis di buku, “Jangan bersedih, aku ingin menjadi temanmu, boleh?” menunjukan apa yang aku tulis.
Dia hanya melihat tak merespon, tak lama Ibu panti datang dan membaca tulisanku dan menyampaikannya ke Erik. “Erik, Hani menulis ingin menjadi teman Erik, boleh?”
Erik menjawab, “Aku gak butuh temen!” bentak Erik.
Sifat Erik yang keras kepala dan kasar membuatku takut, aku menangis ketika dibentak seperti itu. Saat aku menangis Erik melihatku, menangis tak bersuara, hanya air mata yang mengalir di mataku.
Ibu panti yang melihat aku menangis kemudian berkata, “Hani jangan takut ya, Erik aslinya baik kok, ya kan, Erik?” mata Ibu panti mengarah ke Erik.
Erik hanya terdiam, tetapi di hati Erik merasa kasihan melihatku tidak bisa berbicara. Erik yang pada saat itu belum bisa membaca, hanya bisa diam saat aku menulis sesuatu untuknya.
Aku hanya meninggalkan kata-kata di kertas kemudian di pegang oleh Erik. Aku berharap dia cepat bisa membaca dan bisa membaca tulisanku yang aku tinggalkan untuknya.
Ayah mengajakku pulang, sebelum aku pergi, aku tersenyum dengan Erik dan dibalas senyum oleh Erik tetapi, masih terlihat dari raut mukanya kesedihan dan kesepian.
Kami pulang ke rumah, Ayah yang kelelahan mengajakku istirahat, sedangkan Nenek yang sudah ngorok sejak di perjalanan, ketika sampai di rumah bangun dan langsung ke kamarnya.
Sebenarnya aku ingin mendengarkan dongeng yang belum selesai ayah ceritakan kemarin malam, tapi Ayah langsung tidur pulas.
Aku tidur sambil memikirkan Erik, aku merasa sangat kasihan melihatnya tidak memiliki teman di panti asuhan.
Aku ingin sering-sering pergi ke panti itu dan menemani Erik agar memiliki teman tetapi ayahku yang sibuk dengan pekerjaannya pasti tidak sempat mengantarkan aku ke sana.
Aku mengambil buku dan mulai mencoba menggambar pemandangan pantai yang baru aku lihat, mulai membayangkan dan tanganku mulai bergerak menggambar.
Saat aku menggambar hatiku merasa sangat bahagia, setelah selesai menggambar, aku merasa sangat ngantuk dan tertidur.
Keesokan harinya seperti biasa Ayah pergi ke kantor dan aku ditemani Nenek. Aku menulis, “Nek aku ingin pergi ke panti asuhan yang kemarin kita datangi.”
“Hani banyak teman ya di sana?, nanti deh nenek bicarakan dengan ayahmu.”
Aku hanya mengangguk dan tersenyum. “Nek boleh aku melihat lukisan ibuku?” tanyaku kepada Nenek.
“Boleh, sebentar nenek punya sesuatu untuk Hani,” ucap Nenek, dan pergi ke kamarnya.
Tidak lama nenek keluar dari kamarnya, di sana aku melihat nenek berjalan membawa kuas, dan tinta untuk melukis.
Nenek berkata denganku, “Hani, nenek tau kamu suka melukis.nenek bawakan peralatan melukis dan Hani bisa melukis di gudang tapi…, ingat jangan sampai ayahmu tau ya sayang.”
Senang kegirangan aku lompat-lompat dan mencium Nenek. “Terimakasih Nenekku tersayang,” tulisku dibuku.
“Sama-sama sayang, ayok cepat kita ke gudang di sana ada kanvas kosong bisa untuk melukis,” jawab Nenek.
Aku dan Nenek langsung pergi dan masuk ke gudang. Di sana aku di temani Nenek. Mulai merapihkan peralatan dan siap melukis, aku duduk di kursi yang di pakai ibuku biasa melukis.
Aku mulai mengambil kuas dan mencelupkannya di tinta warna biru, menggoreskan di kanvas. Aku ingin melukis pemandangan langit yang cerah.
“Hani lanjutkan melukis, nenek mau ke dapur dulu.” Nenek mencium dan pergi ke dapur. Tapi, yang aku lihat Nenek pergi sembari menghapus air matanya.
Aku melanjutkan melukis dan mulai menghayati, berimajinasi tentang langit yang ingin ku lihat dan ku tuangkan dalam sebuah lukisan.
Singkat cerita, aku menyelesaikan lukisanku, butuh berjam-jam untuk menyelesaikannya. Nenek masuk kedalam, melihat lukisanku.
“Indah sekali pemandangannya, Hani hebat melukisnya. Ini cucu nenek yang paling cantik dan hebat melukis.”
Pujian itu selalu ku ingat sampai sekarang. Nenek yang selalu menemaniku dan selalu mendukung apa yang aku kerjakan.
Di lukisan itu aku menggambar langit yang biru dengan ditemani matahari yang baru terbit. Di sana ada pantai dan aku menggambar 4 orang yang sedang memandangi matahari.
“Orang yang ada di gambar siapa?”
“Aku, Nenek, ayah, dan ibu,” tulisku untuk menjawab pertanyaan nenek.
Setalah membaca tulisanku, Nenek memelukku dan mulai menangis. “Nenek sayang dengan Hani…” ucap Nenek, air matanya terus menetes tak berhenti.
Nenek melanjutkan perkataanya, “Sekarang kita makan dulu, pasti lapar karena lama melukisnya.”
Aku hanya mengangguk, tetapi didalam hatiku sangat bingung kenapa Nenek menangis padahal tadi baru mengatakan bahagia melihat lukisanku.
Aku dan Nenek makan bersama. Nenek memasakkan sayur kesukaanku. Makan dengan lahapnya. Saat sedang makan tiba-tiba terdengar ketukan pintu.
“Assalamualaikum,” suara salam dari pintu. Nenek pergi membukakan pintu.
“Maaf saya Dini, saya disuruh menjadi guru Karate Hani.”
“Disuruh siapa ya?” tanya Nenek.
“Saya disuruh pak Hendri untuk melatih Karate anaknya, Namanya Hani.”
Oiya aku belum memperkenalkan nama ayahku, nama ayahku Hendri. Melanjutkan obrolan mereka, Nenek yang bingung, langsung menelpon ayah.
Setelah menelpon Nenek mempersilahkan masuk, tamu itu membawa pakaian Karate. Lama mengobrol dengan nenek, Nenek memanggilku.
Aku segera datang ke Nenek dan tamu itu memperkenalkan dirinya denganku. “Ini pasti Hani, nama kakak Dini. Mulai dari sekarang kakak yang akan mengajari Hani Karate.”
Aku yang bingung apa itu karate, bertanya dengan nenek, “Nek apa itu Karate?” tulis ku.
“Karate itu bela diri sayang, biasanya orang belajar ilmu bela diri agar bisa melindungi dirinya dari orang jahat dan melindungi orang lain,” jawab Nenek.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments