...Episode 02...
Ayah menahan kesedihannya dan menenangkan diri, kemudian melanjutkan kata-katanya. “Anak kita di diagnosis tak bersuara.” Tangisnya pecah lagi. Sekuat apa Ayah menahan kesedihan dan tangisnya ternyata tak bisa.
Mendengar anak yang dikandungnya tak bisa bersuara, Ibu menangis sambil memukul-mukul tempat tidurnya dan berkata, “Kenapa… kenapa… kenapa harus terjadi pada anakku?!”
Ayah memeluk ibu yang sedang berbaring di tempat tidurnya berbisik dengan suara yang terbata-bata karena menahan kesedihannya.
“Sabar Bu, sabar. Apapun yang terjadi, aku akan melindungi keluarga kita.” ucap ayah.
Larut dalam kesedihan dan tak terima anaknya bisu, ibu mulai menyalahkan takdir dan membenci takdir yang Ia terima. “bagaimana sampai orang-orang tau, pelukis ternama memiliki anak bisu,” ucap Ibu. “kenapa ibu bilang gitu. Kita harus bisa terima anak kita dan membesarkannya dengan baik. Lebih baik ibu istirahat saja,” ucap ayah.
Sebenarnya ayah sangat kaget dan tak paham istrinya bisa mengatakan kata-kata itu dari mulutnya, padahal dia adalah ibunya dan yang mengandung anaknya sendiri, masih bisa memikirkan tentang karir.
Ibu yang pada saat itu sangat lelah, baik pikiran dan fisik, tertidur. Ayah yang melihat ibu sudah tertidur pergi untuk melihat, aku yang pada saat itu masih terdiam di incubator.
Sesampainya di ruang perawatan khusus bayi, ayah memandangi anaknya yang ada di dalam incubator. Matanya berkunang-kunang, kemudian mulai meneteskan air matanya.
Melihat anaknya begitu cantik, hidung yang mancung, rambut yang lebat, harus menerima kenyataan dirinya tidak bisa berbicara seperti anak lainnya.
Terdengar suara adzan yang merdu dan lirih dari mulut ayah. Suaranya sedikit sedikit berhenti, air mata mulai deras keluar dari matanya. Di kondisi seperti itu, nenek selalu mendampingi ayah.
Mengelus dada ayah dan selalu mengatakan, “Sabar… anakku.”
“Lihat anakku Bu, cantik bukan? Dia akan menjadi wanita kuat dan bahagia. Aku akan menjaganya, meski harus mengeluarkan darah dan mengorbankan nyawaku sendiri," ucap Ayah, dan menaruh keningnya di kaca incubator.
Hari itu berlalu, kondisi ibu dan aku sudah bisa membaik dan diperbolehkan pulang. Sehari sebelum kepulangan, ayah sudah mendapat hasil pemeriksaan secara mendetail tentang kondisiku.
Kesimpulan Dokter bahwa aku benar-benar bisu karena, pertumbuhan ku yang belum sempurna, ada kerusakan pada pita suara. Tetapi masih bisa mendengar. Sesampainya di rumah, Ibu menggendongku dan menyusuiku.
Hati ibu yang merasa sakit melihat anaknya harus lahir menerima takdir yang begitu berat. Ibu memberikan ASI nya kepadaku. Di samping ibu, ada ayah dan nenek yang menemani.
Ibu berkata dengan ayah, “Sementara tolong sembunyikan keberadaan anak ini, jangan sampai orang lain mengetahui bahwa anak ini adalah anakku. Aku menyayanginya tetapi, aku juga menyayangi karirku sebagai pelukis. Aku tak mau menjadi gunjingan banyak orang.”
Waktu pun, berlalu sangat cepat, sejak saat itu, sudah berjalan 3 bulan. Aku yang sudah mulai membuka mata, sudah bisa melihat indahnya dunia, walau mulutku terkunci.
Ayah yang selalu menggendongku, nenek yang selalu bernyanyi untukku, ibu yang sibuk dengan pekerjaannya dan jarang di rumah, bahkan aku harus berhenti minum ASI dan digantikan susu formula.
Tak bisa dipungkiri, aku hanya anak yang disembunyikan meski keluargaku sangat menyayangi diriku. Jalan 5 bulan, di hari itu, Ibu pulang dan menggendongku, tidur di sampingku, dan memelukku.
Ayah yang sangat bahagia, karena melihat Ibu sangat menyayangiku, berkata dengan ibu, “Hari ini aku sangat bahagia, istri dan anakku terlihat sangat hangat dan aku berharap suasana ini tidak akan hilang.” Ibu hanya tersenyum dan diam.
Di malam itu, ayah izin dengan Ibu harus pergi ke kantor karena ada masalah yang harus di selesaikan. Pagi harinya Ibu menggendongku dan menciumiku. Tapi, ia meneteskan air matanya.
Setelah itu aku dititipkan oleh nenek, sebelum ibu pergi berangkat kerja. Ibu berkata dengan Nenek, “Tolong Bu, jaga anakku.”
Nenek menjawab, “Pasti, ibu akan menjaga anakmu.”
Sejak saat itu Ibu tidak pernah kembali lagi, Ia pergi meninggalkan anak dan suaminya. Ayah selalu mencari keberadaan Ibu. Kesana-kemari bahkan sampai keluar kota dan menyuruh bawahannya untuk mencari, tetapi hasilnya nihil.
Putus asa karena tidak bisa menemukan istrinya, ayah berhenti mencari Ibu dan mulai membenci istrinya tersebut. Menganggap bahwa istrinya adalah wanita yang tak pantas menjadi sosok ibu dan istri.
Tetapi, ayah tidak bisa membohongi perasaanya, kebenciannya bercampur dengan rasa sayang terhadap istrinya. Sejak saat itu ayah selalu mabuk-mabukan.
Padahal sebelumnya, ayah tidak pernah menyentuh sedikitpun alkohol, rokok. Pulang kerja yang ia cari anaknya yaitu aku, kondisi mabuk pun, ayah selalu tidur di sampingku.
Keadaan ayah sangat memprihatinkan, nenek yang sudah sangat tidak tahan melihat kondisi anaknya itu mulai memberanikan diri berbicara dan menasehatinya.
Nenek berkata dengan ayah, “Nak dulu aku membesarkan kamu tanpa sosok ayah, dengan kondisi tidak punya uang, selalu jadi gunjingan banyak orang. Tetapi, ibu selalu kuat dan terus ingin menjadi orang tua yang baik untuk anaknya. Lihat kondisimu sekarang apakah pantas kamu disebut ayah yang baik? Setiap pulang ke rumah selalu dalam kondisi mabuk. Kamu masih punya anak yang harus kamu besarkan, kamu masih harus berjuang untuk kebahagiaan anakmu, kata-kata itu kan yang kamu ucapkan ketika anakmu ini lahir?”
Tangis Ayah pecah, kemudian menggendongku dan menciumiku, berkata, “Maaf sayang, ayah janji akan menjadi ayah yang baik untukmu….” Sejak saat itu ayah berubah dan berhenti mabuk-mabukan.
Melihat ibunya sudah tua, ayah tak tega melihat nenek harus mengurusi aku sendirian, akhirnya mencari baby suster untuk merawat ku, saat ayah sibuk dengan pekerjaannya.
Di malam hari, aku selalu tidur di samping ayahku. Saat ayah tidak bekerja, meluangkan waktunya dan bermain denganku. Waktu yang berlalu sangat cepat, tak terasa sudah berjalan 2 tahun.
Aku sudah bisa berjalan dan mulai di kenalkan pada tulisan, ada guru khusus yang datang ke rumahku. Ayah sengaja memperkenalkan huruf dan angka sedini mungkin, agar aku bisa menulis.
Menurut ayah, dengan tulisan, aku lebih mudah berinteraksi dengan teman-teman yang lain. Yang aku ingat, bukan hanya tulisan yang di ajarkan oleh guruku itu, tapi beliau juga mengajarkanku bahasa isyarat.
Benar saja saat usiaku 5 tahun, aku sudah menguasai bahasa isyarat dan bisa menulis. Aku sangat bersyukur meski aku bisu, aku masih bisa mendengar.
Guruku sangat bangga dan bahagia, karena aku berbeda dengan anak lainnya, aku cepat bisa, daya ingat yang kuat, dan dikatagorikan anak genius.
Semua itu adalah cerita yang aku dengar dari nenekku, sejak usiaku 5 tahun. Aku selalu mengingat semua kejadian yang pernah aku alami, sampai saat ini dan tak akan pernah aku lupakan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
Winna
Pacobaning urip🥲
2023-04-06
0
@Dior_bna
mengandung bawang😭
2023-04-03
0