Memory Of Heavenly Hymn

Memory Of Heavenly Hymn

1. Seharusnya Telah Tiada

Alunan merdu seruling bambu ditiup, melantunkan lagu dari bentuk sedihnya kerinduan yang membawa dalam ruang kenangan di mana semua masih berwarna sebelum tergantikan oleh datangnya kabut yang berarak menghantarkan kepada tragedi 11 tahun silam. Di mana ia masih di usia 8 tahun melihat kepala yang menggelinding, usus-usus yang tercerai berai dari perut, dan berdiri di atas sungai darah yang mengaliri kakinya. Nada lagunya kian meninggi mengikuti suasana hati lantaran tak mampu menguasai diri menengok kala itu ia mencabut pedang dari prajurit yang telah tergeletak tak bernyawa di depan pintu kamar.

Gemetaran ia memegang pedang dan melihat para prajurit musuh yang sudah berhasil memasuki kediaman pribadi. Semua orang tertawa, bagaimana tidak mencemoohnya karena seorang anak kecil ingin mengalahkan pria dewasa? Mustahil, dan ketakutannya semakin menjadi kala seseorang bertubuh kekar serta berkumis tebal membawa pedang besar berjalan ke arahnya.

“Jangan mendekat!” sembari menodongkan senjata di tangannya ia menyerukan larangan pada orang tersebut.

Semua prajurit bersorak mendengar ia bersuara lantang. Akan tetapi, peringatannya tak diindahkan, laki-laki itu malah berjalan mendekat. Tangan pria berkumis terarah padanya, namun tiba-tiba tangan yang terulur itu putus dan membuatnya terkejut sampai melepaskan pedang saat pemilik tubuh itu mengerang lalu jatuh gelimpungan. Yang mengejutkan lagi terdapat tangan meraih bahu dan menyeretnya untuk berlari menjauh dari situasi pelik.

Ia mengenali orang yang telah menyelamatkannya. Beraroma cendana meskipun tercium bau amis darah melekat di pakaian biru laut itu adalah saudaranya.

“Maaf, aku terlambat,” sesal Kakak laki-lakinya.

“Kita akan kemana?”

“Gunung.”

Kedua anak laki-laki berlari tanpa mengindahkan luka-luka akibat goresan tumbuhan berduri lantaran ketakutan kadung merasuki diri. Apalagi terdengar suara teriakan yang menyayat hati membuat keduanya semakin kesetanan saat berlari meski menghirup udara rasanya sudah tak mampu lagi. Dan, pada akhirnya yang lebih muda jatuh terjerembab di atas tanah gunung yang lembab.

“Berdiri,” perintah Kakaknya sembari mengulurkan tangannya.

Anak laki-laki tersebut mengangguk, menerima uluran tangan yang lebih tua untuk kembali berdiri meski gemetaran. Sedangkan, anak laki-laki berumur 14 tahun memberikan botol bambu kepadanya, “minumlah.”

Ia menerima botol bambu sembari melihat mimik muka si sulung, terlebih manik mata merah berwarna merah gelap itu terdapat bayangan dirinya bagaikan tengah bercermin di genangan darah. Tak lama Kakaknya berkedip, kemudian mengalihkan pandangannya. Pergerakan tiba-tiba itu membuatnya tersadar bahwa mereka tidak punya banyak waktu untuk berhenti dari pelarian, lantas diminumnya air pemberian tersebut sampai habis.

Mereka memilih untuk berjalan dengan langkah kaki yang dipercepat sebelum si bungsu mendadak limbung ke depan, dan untungnya sang Kakak sigap untuk menahan tubuhnya. Ia merasa badannya tak bisa digerakkan, bahkan rasa kantuk tiba-tiba menyerangnya. Saat ia hendak bertanya, namun menggerakkan bibir pun rasanya tak leluasa. Dan, ia merasakan tangan mengusap kepalanya dengan perlahan ibarat tengah menunjukkan bentuk nyata dari rasa kasih yang jarang diucapkan. Begitu hangat rengkuhan serta bisikan-bisikan kasih sayang seolah ia tengah ditimang-timang oleh Kakaknya.

Semua perlakuan itu menentramkan hati sebelum mendapat benda keras nan dingin menusuk dari belakang hingga membuatnya terkejut, cairan kental mengalir keluar dari badannya perlahan. Benda dingin yang tadinya terbenam di perutnya perlahan ditarik, sehingga menimbulkan darah dari dalam raganya semakin deras keluar. Si kecil direbahkan pelan-pelan di atas tanah, samar-samar melihat Kakaknya mengibaskan pedang sampai cairan merah yang menempel di senjata tersebut terciprat ke sembarang arah sebelum kembali disarungkan. Lalu terlihat pula bibir sang Kakak yang bergerak seolah mengatakan sesuatu namun sayangnya anak laki-laki berlumuran darah tersebut terlebih dahulu memejamkan kedua kelopak matanya.

Alunan seruling tiba-tiba kacau dan berhenti. Si pemain bernapas tersenggal-senggal, kemudian ia menatap langit biru yang terasa hangat nan nyaman bagai memberi dekapan seperti yang ia rasakan sewaktu kecil dulu.

“Ryuji.”

Ia menoleh ke sumber suara, mendapati seorang pemuda memberikan mangkuk berisikan matcha yang asapnya masih mengepul di udara, bisa ia artikan bahwa minuman itu baru saja diseduh. Sosok pria yang telah mengangkatnya sebagai Adik hanya dalam sekali pertemuan. Laki-laki yang mengingatkannya pada Kakak kandungnya karena memiliki warna manik mata yang sama, kendati milik orang di hadapannya itu lebih cerah dari seseorang yang telah menusukkan senjata padanya, dan meninggalkan dirinya sekarat di gunung. Anehnya, ia tidak bisa membenci Kakak Kandungnya meski telah melakukan hal kejam padanya, karena usapan tangan Kakaknya masih terasa begitu lembut di kepala, lantaran pelukan erat si sulung kala itu masih terasa begitu kentara, dan asumsinya bahwa perlakuan itu menyimpan suatu hal yang disembunyikan, apalagi ucapan terakhir sebelum ia menutup mata masih rancu di ingatan.

Hal yang lebih aneh lagi ialah ia masih hidup sampai sekarang berumur 19 tahun dengan tubuh tanpa bekas luka, padahal waktu itu jelas-jelas di perut bagian kiri ditusuk oleh pedang sampai ia bermandikan darah. Kejadian di luar nalar tak berhenti sampai di situ, lantaran saat ia terbangun bukan berada di hutan pegunungan, namun di negara lain yang tidak bisa dimasuki tanpa persetujuan penguasa. Sebab Negara Ikumi dikelilingi sihir pelindung untuk menahan sesuatu di dalamnya, dan tentunya hanya penguasa yang tahu apa yang disembunyikan. Lantas bagaimana cara ia masuk? Ia masih tak bisa menemukan jawaban. Karena, penguasa negara yang ia tempati saat ini tidak mengenalnya, juga tidak ada orang dalam yang mengajaknya untuk memasuki Negara Ikumi.

“Ryuji?”

Sekali lagi suara itu menariknya kembali dari lamunan. Fokusnya tertuju pada laki-laki bernama Yashuhiro dari klan Kazuya, tengah menunjukkan selembar surat yang terdapat nama adik perempuannya di sana, Kazuya Yuka.

Ryuji menenggak matcha yang sudah mendingin sebelum Kakak angkatnya membuka pembicaraan. Begitu mangkuk teh diletakkan di atas meja, Yashuhiro segera memulai diskusi.

“Terjadi insiden pembunuhan berantai di daerah Matsuko, korban-korbannya ialah pelacur dengan meninggalkan bekas cakaran seolah diserang binatang buas. Sementara pihak militer menangkap petani yang diduga pelaku dengan garu sebagai alat bukti, namun masyarakat di sana tidak terima dengan penangkapan orang tersebut karena pembunuhan masih berlanjut, pemerintah lagi-lagi memberikan alasan bahwa pelaku memiliki komplotan, dan Yuka menuliskan bahwa petani muda dari suku penyembuh yang kebetulan berada di tempat kejadian perkara.”

Ryuji menautkan kedua alisnya, kemudian berkelakar, “penangkapan asal untuk menyelesaikan masalah secepat mungkin, sembrono sekali.”

Yashuhiro mengangguk menyetujui, kemudian membakar surat Adik perempuannya yang tinggal berpisah karena pendidikan.

“Kita berangkat sekarang juga,” tegas Kakak angkatnya.

“Baik," jawab Ryuji sembari menunduk patuh.

Terpopuler

Comments

Cellestria

Cellestria

mungkin bisa dipendekin narasinya 🤗🙏

2023-02-03

1

Juju de Jajan

Juju de Jajan

wah fantasi timur nih. keren bat dah. opening yg bagus. gak sabar baca eps selanjutnya ....

2022-11-23

9

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!