NovelToon NovelToon

Memory Of Heavenly Hymn

1. Seharusnya Telah Tiada

Alunan merdu seruling bambu ditiup, melantunkan lagu dari bentuk sedihnya kerinduan yang membawa dalam ruang kenangan di mana semua masih berwarna sebelum tergantikan oleh datangnya kabut yang berarak menghantarkan kepada tragedi 11 tahun silam. Di mana ia masih di usia 8 tahun melihat kepala yang menggelinding, usus-usus yang tercerai berai dari perut, dan berdiri di atas sungai darah yang mengaliri kakinya. Nada lagunya kian meninggi mengikuti suasana hati lantaran tak mampu menguasai diri menengok kala itu ia mencabut pedang dari prajurit yang telah tergeletak tak bernyawa di depan pintu kamar.

Gemetaran ia memegang pedang dan melihat para prajurit musuh yang sudah berhasil memasuki kediaman pribadi. Semua orang tertawa, bagaimana tidak mencemoohnya karena seorang anak kecil ingin mengalahkan pria dewasa? Mustahil, dan ketakutannya semakin menjadi kala seseorang bertubuh kekar serta berkumis tebal membawa pedang besar berjalan ke arahnya.

“Jangan mendekat!” sembari menodongkan senjata di tangannya ia menyerukan larangan pada orang tersebut.

Semua prajurit bersorak mendengar ia bersuara lantang. Akan tetapi, peringatannya tak diindahkan, laki-laki itu malah berjalan mendekat. Tangan pria berkumis terarah padanya, namun tiba-tiba tangan yang terulur itu putus dan membuatnya terkejut sampai melepaskan pedang saat pemilik tubuh itu mengerang lalu jatuh gelimpungan. Yang mengejutkan lagi terdapat tangan meraih bahu dan menyeretnya untuk berlari menjauh dari situasi pelik.

Ia mengenali orang yang telah menyelamatkannya. Beraroma cendana meskipun tercium bau amis darah melekat di pakaian biru laut itu adalah saudaranya.

“Maaf, aku terlambat,” sesal Kakak laki-lakinya.

“Kita akan kemana?”

“Gunung.”

Kedua anak laki-laki berlari tanpa mengindahkan luka-luka akibat goresan tumbuhan berduri lantaran ketakutan kadung merasuki diri. Apalagi terdengar suara teriakan yang menyayat hati membuat keduanya semakin kesetanan saat berlari meski menghirup udara rasanya sudah tak mampu lagi. Dan, pada akhirnya yang lebih muda jatuh terjerembab di atas tanah gunung yang lembab.

“Berdiri,” perintah Kakaknya sembari mengulurkan tangannya.

Anak laki-laki tersebut mengangguk, menerima uluran tangan yang lebih tua untuk kembali berdiri meski gemetaran. Sedangkan, anak laki-laki berumur 14 tahun memberikan botol bambu kepadanya, “minumlah.”

Ia menerima botol bambu sembari melihat mimik muka si sulung, terlebih manik mata merah berwarna merah gelap itu terdapat bayangan dirinya bagaikan tengah bercermin di genangan darah. Tak lama Kakaknya berkedip, kemudian mengalihkan pandangannya. Pergerakan tiba-tiba itu membuatnya tersadar bahwa mereka tidak punya banyak waktu untuk berhenti dari pelarian, lantas diminumnya air pemberian tersebut sampai habis.

Mereka memilih untuk berjalan dengan langkah kaki yang dipercepat sebelum si bungsu mendadak limbung ke depan, dan untungnya sang Kakak sigap untuk menahan tubuhnya. Ia merasa badannya tak bisa digerakkan, bahkan rasa kantuk tiba-tiba menyerangnya. Saat ia hendak bertanya, namun menggerakkan bibir pun rasanya tak leluasa. Dan, ia merasakan tangan mengusap kepalanya dengan perlahan ibarat tengah menunjukkan bentuk nyata dari rasa kasih yang jarang diucapkan. Begitu hangat rengkuhan serta bisikan-bisikan kasih sayang seolah ia tengah ditimang-timang oleh Kakaknya.

Semua perlakuan itu menentramkan hati sebelum mendapat benda keras nan dingin menusuk dari belakang hingga membuatnya terkejut, cairan kental mengalir keluar dari badannya perlahan. Benda dingin yang tadinya terbenam di perutnya perlahan ditarik, sehingga menimbulkan darah dari dalam raganya semakin deras keluar. Si kecil direbahkan pelan-pelan di atas tanah, samar-samar melihat Kakaknya mengibaskan pedang sampai cairan merah yang menempel di senjata tersebut terciprat ke sembarang arah sebelum kembali disarungkan. Lalu terlihat pula bibir sang Kakak yang bergerak seolah mengatakan sesuatu namun sayangnya anak laki-laki berlumuran darah tersebut terlebih dahulu memejamkan kedua kelopak matanya.

Alunan seruling tiba-tiba kacau dan berhenti. Si pemain bernapas tersenggal-senggal, kemudian ia menatap langit biru yang terasa hangat nan nyaman bagai memberi dekapan seperti yang ia rasakan sewaktu kecil dulu.

“Ryuji.”

Ia menoleh ke sumber suara, mendapati seorang pemuda memberikan mangkuk berisikan matcha yang asapnya masih mengepul di udara, bisa ia artikan bahwa minuman itu baru saja diseduh. Sosok pria yang telah mengangkatnya sebagai Adik hanya dalam sekali pertemuan. Laki-laki yang mengingatkannya pada Kakak kandungnya karena memiliki warna manik mata yang sama, kendati milik orang di hadapannya itu lebih cerah dari seseorang yang telah menusukkan senjata padanya, dan meninggalkan dirinya sekarat di gunung. Anehnya, ia tidak bisa membenci Kakak Kandungnya meski telah melakukan hal kejam padanya, karena usapan tangan Kakaknya masih terasa begitu lembut di kepala, lantaran pelukan erat si sulung kala itu masih terasa begitu kentara, dan asumsinya bahwa perlakuan itu menyimpan suatu hal yang disembunyikan, apalagi ucapan terakhir sebelum ia menutup mata masih rancu di ingatan.

Hal yang lebih aneh lagi ialah ia masih hidup sampai sekarang berumur 19 tahun dengan tubuh tanpa bekas luka, padahal waktu itu jelas-jelas di perut bagian kiri ditusuk oleh pedang sampai ia bermandikan darah. Kejadian di luar nalar tak berhenti sampai di situ, lantaran saat ia terbangun bukan berada di hutan pegunungan, namun di negara lain yang tidak bisa dimasuki tanpa persetujuan penguasa. Sebab Negara Ikumi dikelilingi sihir pelindung untuk menahan sesuatu di dalamnya, dan tentunya hanya penguasa yang tahu apa yang disembunyikan. Lantas bagaimana cara ia masuk? Ia masih tak bisa menemukan jawaban. Karena, penguasa negara yang ia tempati saat ini tidak mengenalnya, juga tidak ada orang dalam yang mengajaknya untuk memasuki Negara Ikumi.

“Ryuji?”

Sekali lagi suara itu menariknya kembali dari lamunan. Fokusnya tertuju pada laki-laki bernama Yashuhiro dari klan Kazuya, tengah menunjukkan selembar surat yang terdapat nama adik perempuannya di sana, Kazuya Yuka.

Ryuji menenggak matcha yang sudah mendingin sebelum Kakak angkatnya membuka pembicaraan. Begitu mangkuk teh diletakkan di atas meja, Yashuhiro segera memulai diskusi.

“Terjadi insiden pembunuhan berantai di daerah Matsuko, korban-korbannya ialah pelacur dengan meninggalkan bekas cakaran seolah diserang binatang buas. Sementara pihak militer menangkap petani yang diduga pelaku dengan garu sebagai alat bukti, namun masyarakat di sana tidak terima dengan penangkapan orang tersebut karena pembunuhan masih berlanjut, pemerintah lagi-lagi memberikan alasan bahwa pelaku memiliki komplotan, dan Yuka menuliskan bahwa petani muda dari suku penyembuh yang kebetulan berada di tempat kejadian perkara.”

Ryuji menautkan kedua alisnya, kemudian berkelakar, “penangkapan asal untuk menyelesaikan masalah secepat mungkin, sembrono sekali.”

Yashuhiro mengangguk menyetujui, kemudian membakar surat Adik perempuannya yang tinggal berpisah karena pendidikan.

“Kita berangkat sekarang juga,” tegas Kakak angkatnya.

“Baik," jawab Ryuji sembari menunduk patuh.

2. Kilas Balik: Terdampar di Negara Asing

Matahari baru saja keluar dari peraduan, bergerak menuju singgasana agung di atas langit untuk menyinari dunia sebagaimana tanggung jawabnya. Tak luput pula menerangi kegelapan tersembunyi dengan menembus celah-celah kecil, seperti menyerobot masuk ke dalam kain hitam yang menutupi sesuatu di dalamnya. Sampai suatu hal itu tergerak untuk menampakkan diri dan manik mata merah gelapnya mengidentifikasi keadaan sekitar, lalu menautkan alis serta mulutnya sedikit terbuka.

Seorang anak kecil terdampar di pantai di atas perahu sendirian. Tiba-tiba teringat kejadian di mana ia merasa benda dingin yang menusuk perutnya, dengan tergesa-gesa ia memeriksa anggota badan bagian perut. Tidak ada bekas luka, hanya pakaiannya yang berlubang di sana.

“Apa yang terjadi?” ia bertanya entah kepada siapa lantaran tidak ada siapapun di sana.

Ia mengalihkan pandangannya ke hamparan pasir nan luas, ombak berkejar-kejaran menuju daratan, serta menerjang batu karang sampai airnya terciprat ke mana-mana, begitu ia baru mengangkat tubuhnya hendak berdiri terdengar suara benda terjatuh. Bocah bersurai sewarna salju menunduk untuk melihat apa yang dijatuhkan.

“Seruling?” ia mengambil benda berwarna hijau muda. Anak laki-laki itu merasakan bahwa alat musik tiup yang dipegang terasa agak berat, matanya terbelalak kala seruling tersebut memantulkan cahaya matahari, “giok?!” pekiknya langsung membungkam mulut sendiri sambil melihat sekeliling.

Benar saja, ia mendengar suara orang sedang membicarakan sesuatu, dan berjalan ke arahnya. Anak laki-laki tersebut segera turun dari perahu, lalu berlari sambil membungkus tubuhnya dengan kain hitam—diduga sebuah jubah entah milik siapa menuju semak-semak untuk sembunyi.

Muncul tiga pria membawa pancing tengah membicarakan sesuatu tentang seorang bangsawan muda yang baru saja dibebaskan.

“Bagaimana bangsawan muda dengan mudah dibebaskan tentara padahal sudah berani menyelundupkan orang-orang asing dengan alasan kemanusiaan?” salah satu orang bertanya, laki-laki botak itu mengayun-ayunkan saringan ikan ke kiri lalu ke kanan.

“Dari mana tadi orang-orang itu?” tanya pria berambut hampir putih.

Pria berkumis setebal ulat berdecak, raut wajahnya terlihat kesal, ”kau ini sudah gampang lupa, Negara Shigeko. Mereka korban perang penguasa sana, terlunta-lunta di perairan tidak bisa menerobos sihir pelindung negara kita, dan akhirnya ditemukan oleh Tuan Muda Yume.”

Pria beruban kembali menimpali, “keluarga Yume, ‘kan, memang terkenal rendah hati.”

“Bahkan sampai rela bermalam di jeruji besi?!” seloroh lelaki berkumis tebal dengan nada tinggi. Pria dewasa itu menggeleng-gelengkan kepala, “dia masih terlalu muda….”

Pria botak mendesah, “masih terlalu muda, seperti klan Kazuya. Setelah dipikir-pikir banyak sekali pertanyaan untuk keputusan dari pemerintahan, tapi apa bakal dijawab oleh mereka?”

Pertanyaan dari pria tersebut membuat ketiganya tertawa, namun tiba-tiba suara tawa mereka berhenti saat menemukan perahu.

Laki-laki bertubuh kekar pembawa saringan ikan mendekati perahu kecil tersebut, “kenapa ada perahu di sini?”

“Entah, mungkin ada orang yang mencari ikan semalam,” jawab pria paruh baya asal.

“Bagaimana kalau kita gunakan saja? Aku bosan memancing di atas batu,” usul laki-laki bertubuh kurus yang membawa tongkat pancing, disambut dengan pria berambut penuh uban yang mengangguk.

Pria dewasa bertubuh kekar berkacak pinggang usai memeriksa perahu kecil, matanya memandangi sekitar, kemudian turut mengangguk menyetujui.

Pemilik mata merah gelap memandangi perahunya dengan tatapan tak rela lantaran dibawa pergi oleh orang-orang tersebut. Ia mendesah, menggaruk kepalanya yang tidak gatal, anak laki-laki itu mengusap mukanya berkali-kali, “aku harus bertemu dengan bangsawan muda Yume.”

Entah apa yang ada di dalam pikirannya, dengan penuh percaya diri ia berdiri, dan langsung keluar dari persembunyian. Langkah kakinya mantap berjalan ke arah di mana tiga orang sebelumnya datang, yang harus ia lakukan hanya menutupi rambut putih serta rupanya atau mereka akan mengetahui bahwa ia dari klan yang hanya ada di Negara Shigeko.

Lonceng berdentang, hati berani

Bunga putih, kesepian berayun pada kemurnian abadi

Wewangian suci, tuangkan tangis pengorbanan

Jalan mana yang diambil?

Menapaki kehampaan ataukah mimpi nyata dari harapan nan menyakitkan

Mendadak langkah kakinya berhenti saat mendengar suara perempuan tengah bersenandung, juga nyanyiannya asing di indra pendengaran. Dahinya berkerut lantaran lantunan suaranya seolah bersarang di kepala yang terus-menerus bernyanyi diulang-ulang sampai membuatnya berdecak sehingga mempengaruhi langkah kakinya yang dihentak-hentakkan karena kesal, sehingga tak menyadari adanya keberadaan orang yang berjalan dari arah berlawanan, dan berakhir menabraknya.

Bocah 8 tahun itu hampir terjatuh bila tidak bisa menahan keseimbangan tubuh, kepalanya lantas menunduk.

“Perhatikan jalanmu, Nak,” hardik orang tersebut, setelah mengatakan itu orang berpakaian mewah di hadapannya memberikan satu keping emas, “untukmu.”

Ia menerimanya dan langsung mengucapkan terima kasih saat laki-laki yang baru saja ia tabrak berjalan pergi menjauh darinya. Ia memandangi benda berbentuk lingkaran, lalu menghirup koin emas di tangannya, dan kemudian berganti membaui jubah hitam bekas tabrakannya dengan laki-laki bak bangsawan tadi. Kepalanya ditelengkan ke kanan saat memandangi lagi koin di telapak tangannya, “apa aku dikira anak terlantar?” tanyanya, kemudian kembali berbicara, “tentu saja, bahkan saudaraku sendiri telah membuangku. Aku terlantar di negeri orang yang bahkan gelarku sendiri sepertinya bisa menjadi bencana bila negara ini mengetahui diriku,” keluhnya, lalu menghela napas yang panjang seperti hendak meringankan berat di pundaknya barang sejenak.

Baru saja mengambil langkah untuk kembali berjalan, ia dikejutkan dengan suara orang berdebat. Anak itu mengikuti arah suara, merangsek masuk ke dalam gerombolan orang yang penasaran akan cerita tuduhan pria bangsawan kepada seorang rakyat jelata.

“Tuan, saya tidak mencurinya dari Anda,” kilah laki-laki berpakaian compang-camping bersimpuh memohon saat seorang bersenjata—diduga prajurit menemukan sehelai kain yang nampak mahal di dalam tasnya.

“Lalu bagaimana bisa sapu tanganku berada di dalam tas itu? Kau pikir benda mati bisa berpindah tempat sendiri?”

Anak laki-laki mendengar kosakata baru yakni umpatan yang dilontarkan oleh pria berderajat tinggi kepada laki-laki yang bersujud sambil berkali-kali mengatakan bahwa bukan ia pelakunya. Terlihat pria pemilik sapu tangan berwarna merah itu mulai hilang kesabaran dan melayangkan perintah kepada beberapa prajurit untuk membawa pergi dari hadapannya.

Bocah asing di negeri orang asing, dengan berani keluar dari kumpulan manusia yang haus akan berita, berjalan mendekat sampai tepat di hadapan pria bangsawan, lalu menghirup udara sebanyak-banyaknya sebelum berbicara.

“Tuan, masih ingat dengan saya?”

“Ya, kau adalah bocah tadi yang tiba-tiba menabrakku, kenapa?”

Mendadak ia mengangkat tangannya yang mengepal, membuat orang-orang di sana terkejut atas tindakannya.

Pria di hadapannya mendengus, “apa yang kau lakukan, Nak?” tanyanya kemudian berkacak pinggang.

Kepalannya terbuka, terdapat koin emas di telapak tangannya.

“Tuan, Anda sendiri yang memasukkan kain sapu tangan itu di dalam tas Paman.”

3. Kilas Balik: Perihal Permintaan dan Bertahan Hidup

Suara pekikan orang-orang memenuhi tempat terjadinya tuduhan pencurian, ungkapan bocah anak kecil berjubah hitam yang tiba-tiba muncul sebagai pembela, apalagi dengan tegas menuduh orang yang memiliki kuasa itu sangat mengejutkan.

“Jelas-jelas sapu tanganku berada di dalam tasnya, itu bukti nyata!” pria berbadan kekar berteriak.

Anak laki-laki itu menurunkan tangannya, kemudian berjalan menuju prajurit yang membawa tas milik orang tertuduh. Tangannya menengadah, menunjukkan koin kepada orang bersenjata tersebut, “Tuan, tolong hiruplah koin ini,” pintanya yang kemudian disanggupi.

“Aroma buah yuzu,” kata prajurit itu.

“Hirup juga sapu tangannya, dan tas itu.”

“Buah yuzu juga, tas ini juga samar-samar memiliki bau yang sama.”

“Hei, apa yang kau lakukan, Nak? Kau ingin membuktikan apa?” suara pria bangsawan tiba-tiba menyahut.

Anak laki-laki pemberani hanya mengendikkan bahu, lalu menggandeng prajurit menuju pria yang dituduh, “Tuan, tolong cium juga tangan Paman.”

“Batu bara.”

Anak kecil itu mengangkat kepala yang dari awal ia sembunyikan, menampilkan mata merah gelapnya hingga membuat laki-laki di hadapannya tercekat, “Tuan Prajurit, sapu tangannya nampak bersih padahal jari-jarinya kotor karena batu bara,” terangnya, lantas kembali menundukkan kepala, dan menoleh ke arah orang yang telah menuduh, ”jika ia mengambilnya pasti ada noda di sapu tangan.”

Belum selesai ia berbicara, anak laki-laki dengan percaya diri menunjuk ke arah tangan bangsawan seraya berkata, “justru tangan Anda yang terdapat noda, tas milik Paman juga beraroma sama persis milik Anda, Tuan. Benar, ‘kan, Tuan Prajurit?”

Prajurit yang masih tercengang melihat manik mata tadi terkejut kala disebut, “benar.”

“Jadi?” terdapat nada penekanan di pertanyaannya.

“Tuan yang bersalah,” jawab prajurit itu sembari melirik pemakai kain hitam yang terlihat dengan samar-samar telah membentuk senyum tipis.

Keadaan telah dirubah oleh bocah yang enggan menampilkan rupanya membuat semua orang yang hadir di sana menyerukan pujian atas ketelitiannya, juga ketidakpercayaan tentang kemampuannya menyelesaikan masalah yang bisa saja membuat terdakwa kehilangan nyawa karena berurusan dengan yang memiliki kekuasaan. Sekarang pusat perhatian tak tertuju padanya, namun beralih kepada pemfitnah yang mulai diragukan kebangsawanannya.

Peralihan yang sangat berguna untuknya segera pergi usai mencampuri, sebelum keadaan mereda, lalu berbalik memojokkannya lantaran keingintahuan perihal identitas. Kakinya perlahan melangkah mundur, hendak memasuki gerombolan orang-orang yang ricuh atas tindakan tidak terpuji bangsawan. Akan tetapi, pergerakannya untuk melarikan diri terhenti lantaran melayangnya pertanyaan yang membuat suasana hening kembali.

“Siapa kau?!”

Pria bangsawan itu suka sekali berteriak, pemikiran untuk kabur sekiranya dinyatakan gagal, dengan sudut matanya mencari celah di kumpulan orang-orang yang berdiri berdempetan rasanya mustahil dilaksanakan.

“Apa kau salah satu orang asing yang dibawa Yume?”

Bahunya terangkat, pertanyaan itu membuatnya tersinggung.

“Aku sangsi anak itu lahir di negara ini, karena aku tidak pernah sekalipun melihat anak kecil seberani ini,” bisik salah satu warga.

“Kecuali ia adalah orang luar yang tidak tahu-menahu tentang tanah yang ia pijak.”

Ia merasa punggungnya berkeringat kala pria berambut putih di depannya maju melangkah ke arahnya. Ia bergegas mundur, alih-alih suara asing menginterupsi.

“Akhirnya aku menemukanmu!”

Seruannya tersembunyi di kumpulan manusia, dengan sadar diri orang-orang membuka jalan bagi pemilik suara hingga seorang pemuda muncul diikuti para laki-laki bersenjata. Pergantian titik yang diperhatikan tertuju pada orang yang kehadirannya membuat orang-orang di sekitarnya memberi hormat, menunjukkan bahwa ia merupakan orang terpandang. Dan, hal itu menguntungkannya untuk kembali melancarkan aksi melarikan diri.

“Kau mau kemana?”

Tindakan kaburnya saat pusat perhatian teralihkan sekali lagi gagal. Kini, tinggal terima nasibnya bagaimana akhirnya karena pertemuannya dengan pemuda—entah anak menteri atau putra dari penguasa.

Pergelangan tangannya dicekal tak begitu erat namun cukup membuat jantungnya berpacu begitu kencang.

“Aku sudah mencarimu di mana-mana, ingin mencoba melarikan diri lagi, Adikku?”

Adik?! batinnya. Seolah mendapat sambaran petir di siang yang cuacanya begitu cerah.

“Dia, Adikmu?” tanya pria bangsawan terdengar ragu.

“Benar, dia anak tengah. Kami menyembunyikannya karena—“ pemuda di sampingnya tiba-tiba duduk berjongkok, dan membuka tudung kepala yang ia gunakan, “dia terlihat rapuh.”

Perbuatan yang dilakukan bangsawan muda sangat cepat, menampilkan rupa serta rambut putihnya membuat semua yang melihat amat terkejut, termasuk dirinya sendiri. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Menyesali tindakan sembrono karena terlalu ikut campur urusan orang lain? Tapi ia tidak bisa menyalahkan hati nuraninya karena keinginan untuk membantu orang yang kesusahan.

“Nah, jawab saja pertanyaan Tuan Setsu, Adikku.”

Benar, tinggal memberi jawaban maka ia akan mendapat jawaban atas nasibnya nanti.

“Ryuji,” ungkapnya.

“Sudah dengar, Tuan Setsu?”

Pria bangsawan—Tuan Setsu, begitu pemuda di sisi kirinya menyebut laki-laki paruh baya di depannya, wajahnya terlihat pucat, “bu-bukankah hanya tinggal kau dan A-Adik perempuanmu?” bahkan saat ia bertanya pun terbata-bata.

Terdengar dengusan oleh pemuda yang nampak tampan dari sisi kirinya, “tersisa tidaknya klan Kazuya apa urusan dari orang luar?” bukan jawaban yang diberikan, namun dikembalikan pertanyaan yang terdengar sinis.

Kazuya? Ia bertanya dalam hati, lalu melirik sepintas laki-laki muda yang mulai kembali berbicara.

“Tuan Setsu, senang bertemu di sini, dengan begini maka lebih mudah untuk kami membawa Anda ke pengadilan,” terdengar begitu tenang namun tak meninggalkan kesan dingin seperti membalikkan pertanyaan sebelumnya. Manik mata merahnya menyala bagaikan permata kala tersorot cahaya matahari, begitu mengagumkan. Apalagi tersemat senyuman saat Tuan Setsu mempertanyakan kesalahan apa yang telah dilakukan sampai pasukan khusus menjemputnya.

“Atas tindakan penyelundupan senjata kepada pelaku pemberontakan yang terjadi di daerah Okada, Anda juga dituduh atas pelaku pembunuhan di pertambangan, dan salah satu korban selamat serta saksi ialah orang yang Anda tuduh sebagai pencuri.”

Tuan Setsu menggeleng, sedangkan pemuda yang masih mencekal pergelangannya berdiri, “begitu cara Anda bermain? Menjijikkan, bawa dia pergi!”

Semua laki-laki bersenjata dengan serentak menyanggupi titah dan segera membawa Tuan Setsu menjauh. Sekarang, tinggal urusannya bersama remaja laki-laki yang akhirnya melepaskan tangannya, namun jantungnya masih tidak bisa berhenti untuk berdetak tidak sewajarnya. Begitu kencang, dan mungkin orang di sampingnya akan mendengar lalu menikamnya.

Semua perhatian terfokus pada laki-laki tua berjanggut yang diseret paksa karena mulai berontak. Ia mendongak, mendapati manik mata pemuda yang menatapnya terlihat meredup, mungkin karena tidak mendapat pantulan cahaya, namun tetap terang nan menawan, juga mengerikan menurutnya.

“Aku ingin kau tinggal bersamaku, Ryuji,” tangan kanan pemuda bangsawan tersebut mendarat di pipi kiri sembari memanggil namanya. Terdengar pelan suaranya, terasa menenangkan, begitu pula tangannya sehangat milik orang lain yang masih sedarah dengannya. Ia takut, juga berkeinginan untuk turut menggenggam tangan itu di waktu bersamaan.

“Ryuji….”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!