Matahari baru saja keluar dari peraduan, bergerak menuju singgasana agung di atas langit untuk menyinari dunia sebagaimana tanggung jawabnya. Tak luput pula menerangi kegelapan tersembunyi dengan menembus celah-celah kecil, seperti menyerobot masuk ke dalam kain hitam yang menutupi sesuatu di dalamnya. Sampai suatu hal itu tergerak untuk menampakkan diri dan manik mata merah gelapnya mengidentifikasi keadaan sekitar, lalu menautkan alis serta mulutnya sedikit terbuka.
Seorang anak kecil terdampar di pantai di atas perahu sendirian. Tiba-tiba teringat kejadian di mana ia merasa benda dingin yang menusuk perutnya, dengan tergesa-gesa ia memeriksa anggota badan bagian perut. Tidak ada bekas luka, hanya pakaiannya yang berlubang di sana.
“Apa yang terjadi?” ia bertanya entah kepada siapa lantaran tidak ada siapapun di sana.
Ia mengalihkan pandangannya ke hamparan pasir nan luas, ombak berkejar-kejaran menuju daratan, serta menerjang batu karang sampai airnya terciprat ke mana-mana, begitu ia baru mengangkat tubuhnya hendak berdiri terdengar suara benda terjatuh. Bocah bersurai sewarna salju menunduk untuk melihat apa yang dijatuhkan.
“Seruling?” ia mengambil benda berwarna hijau muda. Anak laki-laki itu merasakan bahwa alat musik tiup yang dipegang terasa agak berat, matanya terbelalak kala seruling tersebut memantulkan cahaya matahari, “giok?!” pekiknya langsung membungkam mulut sendiri sambil melihat sekeliling.
Benar saja, ia mendengar suara orang sedang membicarakan sesuatu, dan berjalan ke arahnya. Anak laki-laki tersebut segera turun dari perahu, lalu berlari sambil membungkus tubuhnya dengan kain hitam—diduga sebuah jubah entah milik siapa menuju semak-semak untuk sembunyi.
Muncul tiga pria membawa pancing tengah membicarakan sesuatu tentang seorang bangsawan muda yang baru saja dibebaskan.
“Bagaimana bangsawan muda dengan mudah dibebaskan tentara padahal sudah berani menyelundupkan orang-orang asing dengan alasan kemanusiaan?” salah satu orang bertanya, laki-laki botak itu mengayun-ayunkan saringan ikan ke kiri lalu ke kanan.
“Dari mana tadi orang-orang itu?” tanya pria berambut hampir putih.
Pria berkumis setebal ulat berdecak, raut wajahnya terlihat kesal, ”kau ini sudah gampang lupa, Negara Shigeko. Mereka korban perang penguasa sana, terlunta-lunta di perairan tidak bisa menerobos sihir pelindung negara kita, dan akhirnya ditemukan oleh Tuan Muda Yume.”
Pria beruban kembali menimpali, “keluarga Yume, ‘kan, memang terkenal rendah hati.”
“Bahkan sampai rela bermalam di jeruji besi?!” seloroh lelaki berkumis tebal dengan nada tinggi. Pria dewasa itu menggeleng-gelengkan kepala, “dia masih terlalu muda….”
Pria botak mendesah, “masih terlalu muda, seperti klan Kazuya. Setelah dipikir-pikir banyak sekali pertanyaan untuk keputusan dari pemerintahan, tapi apa bakal dijawab oleh mereka?”
Pertanyaan dari pria tersebut membuat ketiganya tertawa, namun tiba-tiba suara tawa mereka berhenti saat menemukan perahu.
Laki-laki bertubuh kekar pembawa saringan ikan mendekati perahu kecil tersebut, “kenapa ada perahu di sini?”
“Entah, mungkin ada orang yang mencari ikan semalam,” jawab pria paruh baya asal.
“Bagaimana kalau kita gunakan saja? Aku bosan memancing di atas batu,” usul laki-laki bertubuh kurus yang membawa tongkat pancing, disambut dengan pria berambut penuh uban yang mengangguk.
Pria dewasa bertubuh kekar berkacak pinggang usai memeriksa perahu kecil, matanya memandangi sekitar, kemudian turut mengangguk menyetujui.
Pemilik mata merah gelap memandangi perahunya dengan tatapan tak rela lantaran dibawa pergi oleh orang-orang tersebut. Ia mendesah, menggaruk kepalanya yang tidak gatal, anak laki-laki itu mengusap mukanya berkali-kali, “aku harus bertemu dengan bangsawan muda Yume.”
Entah apa yang ada di dalam pikirannya, dengan penuh percaya diri ia berdiri, dan langsung keluar dari persembunyian. Langkah kakinya mantap berjalan ke arah di mana tiga orang sebelumnya datang, yang harus ia lakukan hanya menutupi rambut putih serta rupanya atau mereka akan mengetahui bahwa ia dari klan yang hanya ada di Negara Shigeko.
Lonceng berdentang, hati berani
Bunga putih, kesepian berayun pada kemurnian abadi
Wewangian suci, tuangkan tangis pengorbanan
Jalan mana yang diambil?
Menapaki kehampaan ataukah mimpi nyata dari harapan nan menyakitkan
Mendadak langkah kakinya berhenti saat mendengar suara perempuan tengah bersenandung, juga nyanyiannya asing di indra pendengaran. Dahinya berkerut lantaran lantunan suaranya seolah bersarang di kepala yang terus-menerus bernyanyi diulang-ulang sampai membuatnya berdecak sehingga mempengaruhi langkah kakinya yang dihentak-hentakkan karena kesal, sehingga tak menyadari adanya keberadaan orang yang berjalan dari arah berlawanan, dan berakhir menabraknya.
Bocah 8 tahun itu hampir terjatuh bila tidak bisa menahan keseimbangan tubuh, kepalanya lantas menunduk.
“Perhatikan jalanmu, Nak,” hardik orang tersebut, setelah mengatakan itu orang berpakaian mewah di hadapannya memberikan satu keping emas, “untukmu.”
Ia menerimanya dan langsung mengucapkan terima kasih saat laki-laki yang baru saja ia tabrak berjalan pergi menjauh darinya. Ia memandangi benda berbentuk lingkaran, lalu menghirup koin emas di tangannya, dan kemudian berganti membaui jubah hitam bekas tabrakannya dengan laki-laki bak bangsawan tadi. Kepalanya ditelengkan ke kanan saat memandangi lagi koin di telapak tangannya, “apa aku dikira anak terlantar?” tanyanya, kemudian kembali berbicara, “tentu saja, bahkan saudaraku sendiri telah membuangku. Aku terlantar di negeri orang yang bahkan gelarku sendiri sepertinya bisa menjadi bencana bila negara ini mengetahui diriku,” keluhnya, lalu menghela napas yang panjang seperti hendak meringankan berat di pundaknya barang sejenak.
Baru saja mengambil langkah untuk kembali berjalan, ia dikejutkan dengan suara orang berdebat. Anak itu mengikuti arah suara, merangsek masuk ke dalam gerombolan orang yang penasaran akan cerita tuduhan pria bangsawan kepada seorang rakyat jelata.
“Tuan, saya tidak mencurinya dari Anda,” kilah laki-laki berpakaian compang-camping bersimpuh memohon saat seorang bersenjata—diduga prajurit menemukan sehelai kain yang nampak mahal di dalam tasnya.
“Lalu bagaimana bisa sapu tanganku berada di dalam tas itu? Kau pikir benda mati bisa berpindah tempat sendiri?”
Anak laki-laki mendengar kosakata baru yakni umpatan yang dilontarkan oleh pria berderajat tinggi kepada laki-laki yang bersujud sambil berkali-kali mengatakan bahwa bukan ia pelakunya. Terlihat pria pemilik sapu tangan berwarna merah itu mulai hilang kesabaran dan melayangkan perintah kepada beberapa prajurit untuk membawa pergi dari hadapannya.
Bocah asing di negeri orang asing, dengan berani keluar dari kumpulan manusia yang haus akan berita, berjalan mendekat sampai tepat di hadapan pria bangsawan, lalu menghirup udara sebanyak-banyaknya sebelum berbicara.
“Tuan, masih ingat dengan saya?”
“Ya, kau adalah bocah tadi yang tiba-tiba menabrakku, kenapa?”
Mendadak ia mengangkat tangannya yang mengepal, membuat orang-orang di sana terkejut atas tindakannya.
Pria di hadapannya mendengus, “apa yang kau lakukan, Nak?” tanyanya kemudian berkacak pinggang.
Kepalannya terbuka, terdapat koin emas di telapak tangannya.
“Tuan, Anda sendiri yang memasukkan kain sapu tangan itu di dalam tas Paman.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments