bab 4.

Yu hwa masih sangat terguncang dengan peristiwa yang baru saja di lihat dengan mata kepalanya sendiri.

Suara gesekan pedang masih terdengar sangat jelas, membuat nyalinya semakin menciut. Dengan segenap keberaniannya dia melangkahkan kakinya keluar kamar.

Jantungnya berdegup sangat kencang, langkah demi langkah akhirnya Yu Hwa berada tepat di teras kamarnya.

Dengan hati-hati Yu Hwa menyapu situasi luar dengan mata tajamnya, setelah situasi di rasa aman dia segera mengambil pintu yang tergeletak di halaman.

Yu Hwa mempercepat langkahnya dan meraih pintu.

"Grepp ..."

Akan tetapi sebuah tangan menghentikan aktifitasnya.

Sebuah tangan dengan bercak merah yang memegang pundak Yu, membuat keringat dingin Yu bercucuran.

"Kalau kau ingin tetap hidup, tutup mulutmu. Jangan sampai kejadian ini tersebar!" Suara itu bersedih sangat mengerikan di telinga Yu Hwa.

Dia hanya mengangguk lirih, setelah itu suara itu menghilang di ikuti dengan suara langkah kaki yang melangkah begitu cepat.

Dia segera menoleh kebelakang, Yu Hwa hanya melihat punggung yang penuh goresan luka dalam memanjat tembok dengan mudah dan menghilang begitu saja.

Jauh di dalam lubuk hatinya masih sangat mencemaskan prajurit itu, tubuhnya masih penuh dengan luka dalam.

Setelah situasi di rasa aman Yu Hwa memasuki kamar dengan menenteng pintu yang terlepas. Pintu yang tadinya bagus sekarang rusak parah tak bisa di gunakan.

Yu Hwa menyandarkan pintu tersebut, dia mengambil beberapa selendang untuk menutupi kain yang berlubang gara-gara goresan pedang.

Bagaimanapun Yu Hwa masih sangat takut kalau salah seorang prajurit berpedang akan datang kembali kemari.

Dirinya masih sangat takut kalau ada penyerangan lagi, Yu Hwa memilih duduk di sudut ruangan yang minim penerangan.

Dia sangat takut malam ini, akan tetapi rasa lelahnya lebih dominan. Sehingga tak butuh waktu lama dia telah masuk ke alam mimpi.

***

Di dalam hutan yang gelap dan sunyi, terdapat beberapa gerombolan orang dengan pakaian serba hitam dan wajah yang tertutup sebagian.

Melihat pemimpin kelompok datang semua orang membungkukkan badannya, semua tampak khawatir dengan keadaan pemimpinnya.

"Hentikan kerja sama dengan Bangsawan Feng, mereka telah berkhianat!"

"Besok kalian bisa berpesta di sana, habisi semuanya tanpa sisa!" ucap seorang itu dengan amarah yang meletup-letup.

"Kalian dengar! kita bisa berpesta besok." salah satu orang tertawa kejam.

"Lalu dengan sekutu Jepang?" salah satu orang menyahut.

"Aku masih belum bisa mempertimbangkannya, kita tidak tau apa di balik rencana mereka. Mulut mereka terlalu manis, dan kita harus mewaspadai itu semua!" pemimpin itu melangkah mendekati batang kayu dan duduk disana.

"Hentikan semua ini Jae Sung, Ibumu sudah tenang dan mengikhlaskan semua ini" ucap seorang paruh baya melangkah mendekati pemimpin tersebut.

"Ibu memang ikhlas, tapi tidak denganku paman!" sahut Jae Sung tegas.

"Kalau sampai sesuatu terjadi kepadamu, apa yang akan aku katakan pada Ibumu kelak?" seorang paruh baya itu berucap lirih.

"Tinggalkan kami, beristirahatlah!" ucap Jae Sung membubarkan gerombolan orang berbaju hitam.

Satu persatu orang meninggalkan tempat yang dingin tersebut, saat ini hanya tersisa Jae Sung dan pamannya.

"Aku tidak berharap duduk di singgasana Paman, tapi ... "

"Kalau kau tidak bisa menyimpan dendammu, maka peperangan ini semua akan terjadi berlarut-larut. Bagaimanapun seorang Raja memiliki banyak putra dan kau tau itu!" sahut Paman.

"Aku lebih suka mati dengan menuntaskan dendamku dari pada Aku harus melihat kejayaanya"

"Ini waktu yang tepat untuk balas dendam Paman, bahkan para pejabat tinggi sedang saling perang dingin di dalam istana!"

"Situasi seperti ini membuat langkahku semakin mudah, tidak akan ada yang dapat mengetahui identitas ku sebenarnya dan sangat minim resiko,"

Jae Sung menatap api unggun yang berkobar sama seperti semangat nya saat ini, semangat yang bergelora tanpa dapat di redupkan.

"Kau tidak seharusnya seperti ini!" Paman Wang berbalik badan dan menatap api unggun yang berkobar.

"Jangankan Raja, bahkan setiap pangeran mempunyai selir lebih dari satu. Dan kau pasti sangat tau dengan tugas mereka"

Jae Sung terdiam, matanya berkaca membendung air yang hampir tumpah.

Memorinya kembali di saat Ibunya yang harus di habisi di hadapannya, membuat dirinya tak mampu menerima kenyataan hingga saat ini.

"Aku sangat mengerti apa posisi Ibu di kerajaan, akan tetapi itu bukan alasan untuk mereka menghabisi Ibu dengan keji,"

"Aku masih tidak bisa terima, semuanya terekam jelas paman. Dan aku tak akan sedikitpun mengampuni mereka!" ucap Jae Sung menggelapkan genggaman tangannya kuat.

"Semua keputusan ada padamu, jaga nyawamu!" ucap Paman Wang menepuk pundak Jae Sung dan melangkah menjauh menghilang di kegelapan hutan.

Kini hanya tinggal Jae Sung yang duduk di temani api unggun yang berkobar dan sebotol minuman yang berbau menyengat.

Jae Sung menatap lekat rembulan malam yang menyinari hutan malam ini, tampak wajah Ibunya menatap Jae Sung dengan senyum indahnya.

Memori kelam tiba-tiba melintas di angannya, terlihat jelas bagaimana seorang telah memperlakukan Ibunya dengan keji.

Bagaimana tangan-tangan kotor itu menyiksa Ibunya, bagaimana mulut-mulut itu berkata kasar. Semua masih tersimpan rapi di kepala Jae Sung.

"Aku berjanji akan mematahkan semua tangan-tangan yang berani menyentuh tubuhmu Bu!"

"Masih teringat jelas siapa saja yang merendahkanmu di hadapanku tanpa mereka tau,"

"Akan Aku habisi mereka tanpa ampun, nyawa harus di balas nyawa!"

"Maafkan putramu ini yang telah menjadi monster menakutkan yang haus akan kematian,"

"Akan tetapi ... percayalah Bu, Aku tetap Jeo Sung putra kesayanganmu!"

"Hari-hariku penuh dengan kesepian Bu, hanya api amarah yang menghangatkaku saat ini!"

"Aku merindukanmu ..."

"Ibu ...."

Seketika air mata berseluncur di pipi Neo Sung, Dirinya sudah tak mampu membendung air mata yang dari tadi sudah ingin keluar.

Rasa perih luka dalamnya tidak sebanding dengan sakit hatinya yang dia rasakan beberapa tahun ini.

Hawa dingin yang menusuk tulang juga tidak sebanding hawa dingin yang selama ini dia rasakan. Harus berjuang hidup sendiri tanpa seorang Ayah dan Ibu.

Dirinya hidup dan di besarkan oleh gejolak dendam yang semakin lama semakin bergelora. Dengan langakah tertatih dirinya melangkah menghilang di telan kegelapan hutan yang menakutkan.

Bersamaan dengan itu ada segerombolan prajurit datang ke tempat Jae Sung beristirahat tadi.

"Kita terlambat," ucap salah satu prajurit.

"Berpencar, temukan ... jangan sampai lolos," perintah ketua pasukan.

"Baik," semua pasukan menyebar ke penjuru hutan yang kelam,

Hanya tinggal seorang panglima perang yang memakai ikat kepala merah yang tersisa di dekat api unggun ini.

Dia mulai frustasi karena sekutunya mendadak binasah malam ini, siapa dalang di balik penyerangan malam ini?"

Terpopuler

Comments

ᴄᷤʜͦɪͮᴄͥʜͣɪᷡᴋͣ

ᴄᷤʜͦɪͮᴄͥʜͣɪᷡᴋͣ

wah jangan bilang jae sung anak haramnya Raja trus balas dendam karena ibunya mati

2022-12-29

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!