Aku mulai menjalankan pekerjaanku sebagaimana mestinya, Kesibukanku menjalankan tugas membuatku kehilangan banyak waktu, waktu yang biasanya aku pergunakan untuk sekedar mengisi waktu luang. Seperti halnya sekedar nonton ataupun nongkrong. Apalagi Partner dari Relationship yang kini ku jalani juga termasuk gila kerja. Bagaimana tidak, Sean bisa seminggu atau bahkan lebih tak menghubungiku sama sekali. Dan bahkan pernah dalam sebulan ia hanya menghubungiku 2x lewat aplikasi perpesanan BlackBerry Messenger.
Kulirik penda pintar yang tergeletak diatas meja kerjaku, benda yang bernama Android itu masih bergeming dengan sempurna. Layar hitam menandakan belum ada satupun perubahan yang terjadi padanya. Mungkin ia lebih suka berdiam daripada harus bersusah-susah menempel di telingaku, toh pada aslinya aku juga tak banyak menyentuhnya.
Namun, kini ku kubur niatku dalam-dalam untuk tak menyentuh benda pintar tersebut, sebuah panggilan masuk ke gawai yang entah sudah berapa jam tak terdengar berdering. Aku berharap memang panggilan itu berasal dari dia, Seanku. Namun nyatanya bukan. Anthoni lah yang menghubungi aku.
“Iya ada apa thon?” pertanyaannya ku lontarkan dengan nada serampangan. Aku memang tak bersemangat menerima telepon dari Anthoni yang notabene adalah atasanku meski kita sudah lama kenal.
“Zha, kalau kamu kesulitan membagi waktumu, kamu bisa istirahat dulu dari Bar milikku,” Anthoni menjelaskan sesuatu yang membuatku dihinggapi rasa tanya yang begitu besar. Aku masih sulit untuk mencerna kata-kata yang Anthoni lontarkan padaku barusan saja.
Segera ku tutup panggilan dari Anthoni setelah aku memberikan keputusan yes, “Sean ...” ucapku lirih. Aku sangat tahu bahwa ini semua sudah ia rencanakan. Meski keduanya tak saling akrab, namun keduanya tergabung dalam Paroki yang sama. Aku menduga bila Sean sudah meminta Anthoni untuk menggantikan ku dengan pegawai yang sudah Anthoni siapkan. Mungkin Sean merasa iba kala melihatku harus membanting tulang.
Ku lirik ponsel yang masih dengan sembarangan ku letakkan diatas meja kerjaku, aku begitu menunggu penjelasan yang harusnya aku dengar langsung teman dekatku itu. Jangankan menghubungi aku, mungkin memikirkan diriku juga dia enggan. Siapakah aku hingga Sean harus memikirkan aku?
Hingga penunjuk masa sudah mulai menyeretku untuk segera berlalu dari pekerjaan yang aku geluti, Si pemilik senyum hangat itu masih belum juga memberiku alasan yang masuk akal. Berkali-kali ku berniat untuk menghubunginya, namun lagi-lagi aku mengurungkan niatku aku takut akan mengganggu waktunya. Kembali lagi pokok pertanyaannya siapa aku? Kenapa aku memintanya untuk memberikan kabar darinya? Aku bukan istrinya ataupun keluarganya.
“Tunggu sebentar lagi! Selesai Misa aku akan menjemputmu Zha,”
Sebuah pesan sudah kubaca, aku sengaja tak membalasnya. Pertama aku ingin memberi protes untuknya sesekali, kedua aku tak mau mengganggunya ketika ia masih menjalankan ibadah. Bagaimana pun aku sangat menghormati pegangan hidup Sean.
Bagaikan seorang anak kecil yang telah dijanjikan sebuah mainan oleh Sang Mama, entah mengapa kau begitu patuh pada pria itu. Aku mengikuti setiap apa yang ia perintahkan, sepertinya ada yang aneh pada diriku. Bagaimana tidak, sebelumya aku tak pernah bisa begitu tunduk pada seseorang yang bukan keluargaku. Namun Sean? Ah pasti ada yang tak beres dengan isi kepalaku.
Aku telah menunggu kurang lebih 15 menit, baru kulihat dari kejauhan mobil yang biasa pria itu kendarai, dia bukan tipe pria yang suka bergaya. Bisa dilihat mobilnya, bukan mobil mewah yang terkesan elit. Aku sangat tahu sifatnya, meski ia bisa membeli lebih baik dari itu namun dia lebih suka berinvestasi dengan beberapa pendapatannya.
“Mau makan apa?” aku menoleh sambil memasang sabuk pengaman di mobilnya. Kenapa dia malah memikirkan aku makan apa? Bukankah lebih baik memberiku sebuah penjelasan yang masuk akal? Ah pria ini benar-benar sedang mengujiku.
“Nasi goreng kambing dekat toko peralatan olahraga,” jawabku asal. Aku sengaja bersikap jutek padanya. Aku punya hak untuk protes pada lelaki yang saat ini sedang bersamaku.
“Ngga kurang adoh yank?” dia sedikit terkejut dengan sahutan yang aku lontarkan padanya. Sean mungkin berpikir aku sedang mengerjainya. Hingga dia mencubit hidungku dengan gemas.
“Apanya yang jauh? Dari Pemuda ke Mulyosari ko? Belum ke Margomulyo!” jawabku asal. Aku sengaja membuatnya lebih emosi lagi dari sebelumnya. Melihat tingkahku yang seperti anak kecil, ia sedikit mengerutkan dahinya. Aku tahu dia begitu kesal dengan ucapanku barusan.
“Oke, tapi ada syaratnya!” ucap Sean dengan seringai licik dibalik senyumnya.
Ah pria ini benar-benar bisa membuatku mengelus dada seharian ini, sikapnya yang kadang-kadang berubah membuatku harus menarik napas dalam-dalam. Aku sudah curiga ia akan merencanakan sesuatu yang pasti menguntungkan dirinya. Aku sudah bisa membaca pikiran pria yang sudah sangat perhatian padaku.
“Seperti berhenti bekerja di tempat Anthoni?” sindirku secara tiba-tiba. Lalu aku melirik pria yang sedang mengemudi mobilnya tersebut. Entah apa yang aku rasakan? Aku sungguh berharap dia menjawab Iya. Apa aku sudah gila? Untuk apa aku mengharapkan jawaban yang pasti akan sangat merugikan aku.
“Mengapa kamu membahas masalah itu Zha?” tanya Sean, dan aku sangat tahu ia pura-pura terkejut dengan pertanyaan yang aku luapkan dengan spontan. Sean kini ganti menatapku dengan tajam. Aku bisa mengartikan bahwa matanya mengisyaratkan agar aku mengikuti kemauan darinya.
“Baiklah Ko, aku sudah berhenti bekerja ditempat Anthoni seperti yang kamu inginkan bukan?” aku terus saja memancing pertikaian kecil diantara kami. Sangat jelas terlihat ia tersenyum puas atas kemenangannya kali ini.
Ia pasti sudah merencanakannya ini sebelumya.
“Jadilah anak penurut Zha, jangan main ditempat macam-macam tanpa aku!” ucapnya penuh penekanan di akhir kalimat. Pria itu sungguh ingin berkuasa sepenuhnya pada diriku. Jauh dari yang kita telah sepakati dari awal mengenai hubungan kami. Entah mengapa Sean sekarang semakin berani mengambil alih atas semau keputusanku. Bukanya aku tak suka, namun ini membuatku merasa semakin di awasi.
Untuk sekian detik lainya kami hanya menghabiskan masa tanpa bersuara, dinginnya udara malam serta suhu di dalam mobil menambah keheningan diantara kita berdua. Aku merasa dia memendam sesuatu yang tak ingin ia utarakan padaku. Entah mengapa aku merasa Sean lebih posesif padaku pada akhir-akhir ini.
*
Rasa yang kini kurasa
Rasa yang belum pernah kurasakan
Rasa yang membuatku terlena
Rasa yang membuatku terluka
Namun tahukah engkau wahai rasa?
Siapakah engkau?
Berani-beraninya engkau merengkuh hati ini
Siapa penciptamu wahai rasa?
Mengapa ia begitu mampu menguasai tubuh ini?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments