“Woy bengong aja, kek anak perawan lagi nunggu apelan!” sapa Sean Yang sambil menepuk pundakku kala aku duduk memaku didepan teras rumahku.
Sean Yang, pria itu memang bisa dengan leluasa masuk ke rumah yang aku sewa beberapa bulan yang lalu. Pria berperilaku humoris itu merupakan keturunan Chinese, bisa dibaca dari nama marga Yang dibelakang namanya. Kalau untuk umur bisa kalian tebak sendiri saja pasalnya si Koko ini memang tak pernah terbuka dengan umurnya.
Lalu apa hubungannya dengan aku? Apakah dia pacarku?
Pacar? Kenapa mendengar kata pacar aku merasa risih? Entah lah selama aku memutuskan untuk menjadi wanita singel, aku belum pernah menjalin hubungan yang serius dengan lawan jenis.
Lalu Sean? Hubungan diantara kami memang lebih terlihat seperti hubungan kerjasama yang saling menguntungkan. Kami memang tak pernah secara resmi mendeklarasikan diri kami berpacaran. Entah lah, aku lebih nyaman dengan Friend Zone seperti saat ini.
Aku kembali mengingat pertemuan pertamaku dengan pemuda humble tersebut. Pemuda? Aku sebut saja pemuda karena kala itu usianya masih belum genap 30tahun. Aku bertemu untuk pertama kali pada peluncuran salah satu Tower eksklusif disalah satu Mall daerah Surabaya Barat.
Kala itu aku sedang ditugaskan untuk mengawasi sebuah pameran salah satu produk new release dari perusahaan ku dan yang mengejutkan lagi perusahaan yang aku naungi menjadi salah satu sponsor untuk sebuah Mega Proyek Apartemen.
Bertepatan dengan Launchingnya Tower tersebut, secara khusus aku perusahaan yang aku naungi diundang langsung untuk menghadiri acara tersebut.
Apartemen yang sedang digarap oleh perusahaan interior design yang digeluti oleh Sean. Sean adalah salah satu tim design untuk Mega proyek tersebut.
Secara kebetulan salah satu atasanku meminta bantuanku untuk menemaninya, dari sanalah aku mengenal sosok Sean. Pria yang memiliki senyum sehangat mentari pagi. Sean termasuk workaholic dilihat dari pekerjaannya yang membutuhkan tingkat konsentrasi yang tinggi, tak seperti diriku yang hanya mengandalkan beberapa koneksi, sebagai sales tentunya aku dituntut agar luwes dalam mengolah kata.
“Apa aku terlalu kotor?” tanya ku pada sosok Sean yang segera duduk di depanku saat ini. Ia memasang wajah seserius mungkin, meski aku tahu itu ia mencoba serius saat mendengar kata-kata yang aku ucapkan.
“Apa kau minum lagi? Sudah aku katakan jangan minum sembarangan Zha,” ucap Sean menggenggam tanganku.
Pria ini sangat tahu saat aku butuh teman untuk sekedar mencurahkan isi hatiku.
Apa aku pantas membahas masalah Akidah padanya? Jelas-jelas Sean adalah non muslim.
Terlahir dengan membawa darah Tionghoa, Sean memang menganut Agama Katholik seperti kedua orang tuanya. Meski begitu ia tak pernah mempermasalahkan perbedaan diantara kami berdua. Dia sangat menghormati ku sebagai Muslim dan aku juga sangat menghargai dirinya sebagai umat Nasrani.
“Aku serius ko!” nada suaraku sedikit ku naikan lalu ku tatap kedua bola matanya yang lebih sempit dari milikku. Ada sedikit rasa sesal ku karena telah membahas hal intim pada Sean. Ia sedikit bingung atas pernyataan ku barusan.
“Tak ada yang menganggapmu kotor Zha, tak ada sampah yang menyebut dirinya sampah. Yang bisa menilai baik buruknya manusia hanya Tuhan bukan manusia lainnya.” Ucapnya sambil menatap dalam-dalam mataku.
“Baiklah, aku ingin istirahat dulu kau tahu aku baru saja pulang dan nanti malam aku harus ke Bar Anthoni,” pamitku mencoba bangkit lalu meninggalkan Sean yang masih duduk di kursi yang di depan kursi yang aku duduki barusan tadi.
“Istirahat lah, nanti aku akan memesankan makanan untukmu,” tuturnya sebelum menyambar kunci kendaraan yang tergeletak di atas meja yang berada diantara kursi yang kami duduki tadi.
*
Sean tahu aku bekerja di Bar milik Anthoni. Bukan Elizha namanya kalau tak pandai mencari pundi-pundi rupiah. Bar yang menjadi tempat kerjaku merupakan Bar milik temanku.
Aku masih ingat di suatu sore Anthoni datang menemui ku, dia memintaku untuk mengelola salah satu Bar miliknya.
Keluar masuk Bar bukan hal yang aneh bagiku, namun bila harus mengelola Bar? Ya itu pekerjaan yang baru saja aku geluti. Setelah Manager Anthoni mengundurkan diri, Anthoni memintaku untuk mengantikan posisi tersebut untuk sementara waktu. Laku mengapa aku menerima tawaran tersebut?
Harum dari rupiah memanggil-manggil namaku untuk mendekatinya. Ah persetan dengan pandangan masyarakat pada diriku, aku masih muda jadi untuk apa aku peduli tentang hal semacam itu.
Orang pasti akan memandang rendah pekerjaan seperti yang aku jalani saat ini. Sebaik apapun bila kita berada ditempat sampah pasti akan tercium bau busuk juga bukan? Tapi aku tak terlalu memperdulikan pandangan orang padaku, toh aku tak meminta makan pada mereka bukan?
Pernah suatu malam ada customer yang menghampiri diriku dan menanyakan beberapa gadis-gadis padaku. Tak sedikit para tamu menganggap diriku mampu menyediakan para gadis belia untuk dibawa. Lalu kenapa mengapa mereka mengira aku ini mami-mami?
Segelas Jack Daniels dan sebungkus tembakau berfilter yang aku hisap mungkin. Kalau ditanya apa aku pernah minum? Jawabannya sebelum aku menggeluti pekerjaan ini aku sudah mengecap beberapa jenis minuman memabukkan itu. Whisky dan Vodca dari berbagai merk sudah pernah menemani malam-malam ku selama ini.
Aku coba untuk memejamkan kedua kelopak mataku agar aku bisa beristirahat sejenak, namun lagi-lagi perasaanku tak karuan. Sudah lebih dari satu jam aku hanya menghabiskan masa ku diatas pembaringan ku. Perasan ini sungguh aneh.
Tak berselang lama, sesuatu membuyarkan lamunanku. Aku mencoba bangkit dari tempat tidurku. Ku langkahkan kaki ini menuju pintu rumah yang aku sewa. Lalu ku raih handle pintu utama untuk memastikan apa itu.
Seorang kurir salah satu Rumah makan tersenyum manis padaku, lalu ia membacakan menu dan Si pemesan makanan tersebut. Ya aku tahu pasti Sean yang melakukan ini semua.
Dua box yang masing-masing berisi kudapan lezat yang sangat aku gemari. Bakmi goreng lengkap dengan aneka topping dan box selanjutnya adalah Fuyunghai. Dia sangat hapal bila kecintaannya ini sangat menggemari masakan di salah satu depot di daerah Mleto.
Aku menerima bingkisan itu, tak lupa aku mengeluarkan lembaran rupiah sebagai tip untuk sang karyawan yang sudah susah payah mengantar makanan pesanan Sean. Karena jarak dari lokasi tempat makan ke rumahku cukup jauh.
“Maaf aku selalu menyusahkanmu Ko,” gumamku pelan.
Segera saja kubuka dua bingkisan tersebut, Harum dari kedua masakan itu makin menambah gairah dan napsu makanku. Sean paling tahu bahwa ini lah satu-satunya alasan dia bisa mendapatkan hatiku. Untuk saat ini hanya Sean lah yang paling mengerti dan menerima keadaanku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments