“Mas, air ketuban Sekar pecah.”
“Astaghfirullah…” Suara Riza terdengar panik.
“Dek, kamu kuat jalan kira-kira sepuluh menit? Atau kalau nggak, Mas cari bantuan dari desa sebelah. Arum kamu di sini aja nemenin Riza dan Sekar. Bertahan ya, Dek.”
“Riza, kita lebih masuk ke dalam hutan. Mbak khawatir api akan cepat merambat.” Arum menatap ke desa yang kini bagai lautan api. Ia sudah pasrah dengan kondisi rumah dan bengkelnya.
“Sekar, bangun sebentar, yuk, Sayang. Kita cari tempat lebih dalam.”
Fauzan sudah melesat membelah hutan. Sekar terhuyung dipapah Riza dan Arum. Kini kontraksi sudah semakin sering terasa.
Mereka mendudukkan Sekar di bawah pohon.
“Coba atur napas. In syaa Allah bantuan segera datang.”
Sekar mengangguk. Arum menyeka bulir-bulir keringat dingin di kening Sekar.
Tiba-tiba mereka melihat kilatan cahaya senter dari arah desa.
Riza mendekati untuk melihat.
“Riza! Syukurlah kami menemukanmu!”
Riza menatap lega sosok yang menyapanya.
“Alhamdulillah. Tolong … Sekar hampir melahirkan!”
Riza bergerak arah tempat Sekar dan Arum menantinya diikuti laki-laki dan satu pengawalnya. Kelegaan terserat dari raut wajah Riza.
“Sekar, alhamdulillah, coba ternyata siapa yang dat …”
Belum sempat Riza menyelesaikan kalimatnya, bunyi letusan terdengar nyaring di dalam hutan yang senyap.
Riza berdiri tegak sebelum sedetik kemudian roboh.
“Mas!” Pekik Sekar melihat darah mengalir dari punggung suaminya yang telungkup tak bergerak.
Arum menatap ngeri pada moncong senjata laras pendek yang diarahkan ke adik iparnya. Tangannya meraba-raba tanah mencari sesuatu untuk mempertahankan diri.
“Pak, jangan … saya sedang hamil …” Sekar memohon dengan air mata berlinang.
Si laki-laki itu tidak berkata apa-apa, matanya berkilat bengis sembari tetap membidik ke arah Sekar.
Dengan sekuat tenaga Arum melempar batu yang ditemukan ke arah laki-laki itu dan mengenai kepalanya. Ia tersungkur ke tanah. Dari arah samping, Fauzan menerjang bodyguard yang maju untuk memukul Arum.
“Arum, bawa Sekar pergi,” seru Fauzan sambil terus menyerang si pengawal.
“Mas …”
“Cepat!”
Pergulatan terjadi dalam gelap. Arum membantu Sekar yang masih gemetaran menahan sakit dan panik melihat suaminya masih tak bergerak bersimbah darah.
Alih-alih pergi, Sekar dengan sisa tenaga menghambur ke arah Riza.
“Mas, bangun. Mas, aku nggak bisa tanpa kamu. Mas … Mas, Sekar takut.”
Laki-laki yang memegang pistol tersadar dari pingsannya. Ia melihat kilatan benda besi yang telah memuntahkan pelurunya malam itu tergeletak tak jauh darinya.
Arum pun melihat, ditendangnya jauh, lalu belum sempat laki-laki itu bangun, kakinya sudah mendarat di wajah bengis hingga mengaduh.
Fauzan dan Arum adalah juara pencak silat di SMA. Tak mudah mengalahkan mereka jika pertarungan tanpa senjata api.
Riza menggerakkan kepala.
“Sekar … Sekar…”
“Mas, bangun! Kita harus pergi dari sini. Sekar mohon bangun, Mas harus kuat buat Sekar dan bayi-bayi.”
Arum lalu membantu Riza yang mengerang kesakitan. Fauzan berhasil melumpuhan pengawal lalu gegas ikut membantu Riza.
“Sayang …” Riza masih tersenyum lega melihat Sekar tidak terluka.
“Ayo …” Fauzan memapah Riza. Kemeja adik iparnya sudah basah karena darah. Sekar pu tertatih-tatih. Bagian intinya terasa panas dan sakit luar biasa. Dari perut seperti ada tekanan ke bawah.
“Nak, sabar. Keluarlah jika sudah aman. Bismillah …” Sekar mengelus perutnya sambil terus berusaha melangkah.
Mereka berempat beringsut pergi. Tidak bisa cepat karena Sekar yang sangat kesakitan setiap melangkah dan Riza yang sudah lemas karena kehilangan banyak darah.
“Mas, tinggalkan Riza di sini. Saya titip Sekar dan bayi-bayi,” ucap Riza menghentikan langkah.
“Nggak, Sekar mau sama Mas Riza.” Sekar menggeleng kuat-kuat.
“Cantik … Cantik …” Riza meletakkan jarinya di bibir Sekar. Kemudian mengecup kening wanita tercintanya. Susah payah ia duduk untuk menyamakan tinggi dengan perut Sekar. Membisikkan sesuatu yang tak seorang pun mendengar.
Fauzan dan Arum memandang berkeliling di hutan yang gelap. Posisi mereka dan musuh sama-sama rentan karena hanya berbekal lampu hape dan senter di tengah hutan yang cukup lebat.
“Mas Fauzan, bantu Riza berdiri.”
Fauzan mengangkat tubuh Riza dan menopangnya agar berdiri berhadapan dengan Sekar.
“Hidup bersamamu adalah hal terindah sepanjang hidupku. Pergilah, Cintaku. Kamu harus selamat demi bayi-bayi kita.”
“Mas …” Sekar berkata sambil menahan sakit.
“Berdoalah untuk kita. Aku mencintaimu dan selau mencintaimu, Sekar. Pergilah. Aku akan menahan orang-orang itu.”
“Riza, kita udah nggak jauh lagi. Bertahan, aku akan menggendongmu.”
“Mas, Mba Arum, sekali lagi, titip Sekar dan bayi-bayiku. Aku hanya akan memperlambat kalian.”
Riza memohon pada Fauzan.
“Mas kita harus bergerak.” Arum mendengar gemerisik daun diinjak.
“Sekar, Sayang, kamu janji harus selamat untuk bayi-bayi kita.”
Riza dan Sekar kemudian berpelukan seolah itulah pelukan terakhir mereka. Riza mendekatkan bibirnya ke telinga Sekar lalu membisikkan sesuatu.
Sekar menggigit bibir sambil mengangguk.
“Kamu dan anak-anak kita adalah cinta dalam hidupku. I love you, Sekar Ayu.”
Riza kemudian menjauhkan tubuhnya dari Sekat lalu tertatih berbalik menuju arah sebelumnya.
“Mas Riza …” Sekar memanggil suaminya yang tak berapa lama hilang ditelan gelapnya malam. Air mata terus membanjiri wajahnya.
Fauzan dan Arum kemudian memapah Sekar melanjutkan pelarian ke desa sebelah.
Entah berapa lama ketika mereka mendengar letusan senjata api.
Sekar terhenti. Rasa sakit di perut terkalahkan dengan sakit yang luar biasa di dadanya. Bibirnya berbisik, “Sampai kita jumpa lagi, Mas …”
Lalu ia membulatkan tekat, menahan derita lahir batin malam itu. Berjalan sekuat tenaga dibantu kakak dan kakak iparnya. Hingga akhirnya mereka melihat lampu-lampu desa sebelah.
Penduduk desa ternyata sedang menyiapkan air untuk memadamkan api desa tempat tinggal Sekar. Salah seorang dari mereka melihat wanita hamil yang berjalan terhuyung-huyung dibantu dua orang di kiri kanannya.
“Astaghfirullahaladzim! Panggil Bidan Aliyah! Cepat!” Perintah salah satu dari mereka.
Sekar dimasukkan ke dalam rumah terdekat. Kondisinya sudah sangat lemah. Para ibu mengambilkan minum lalu segera menyiapkan baskom berisi air hangat dan handuk.
“Bidan Aliyah, cepat, ada yang mau melahirkan.”
Bidan Aliyah masuk dan langsung memeriksa Sekar. Lalu menyuruh para ibu yang ada di ruangan untuk keluar.
“Sudah waktunya lahir. Siapa nama Ibu?”
Sekar tidak mampu menjawab. Bibirnya pucat. Matanya kosong.
“Namanya Sekar, Bidan. Dia adek saya, hamil anak kembar.” Fauzan yang tak sadar masih dalam ruangan.
“Baik, Bapak keluar dulu. Ibu silakan temani saudaranya.” Bidan Aliyah menunjuk Arum yang langsung mengambil tempat di sisi Sekar sambil menggenggam tangan adik iparnya.
“Sekar, kamu harus kuat dan berjuang.”
Sekar menatap netra Arum dalam-dalam.
“Jika terjadi apa-apa dengan Sekar, Mba Arum dan Mas Fauzan janji untuk jagain anak-anak Mas Riza dan Sekar, ya. Sayangi mereka seperti anak sendiri.”
“Sssh, kamu akan melahirkan dengan selamat dan berkumpul lagi dengan Riza. Tinggal selangkah lagi.”
Bidan mengangguk, “Bukaan sudah lengkap. Ibu mengejan sesuai aba-aba saya, ya.”
“Sakit, Bidan, sakit.” Teriak Sekar dengan mata terpejam.
“Dorong, Bu, dorong sekuatnya.”
Sekar mengejan sekuat tenaga.
“Stop! Ambil napas dalam. Lalu atur napas. Bagus kok ini, kepalanya sudah mulai kelihatan. Nanti kalau mulai sakit tarik napas lalu dorong, ya.”
“Aaaah ….”
“Dorong!”
Sekar mengejan sekuat tenaga.
“Bagus, Bu. Sudah … istirahat dulu. Sekali lagi yang kuat, in syaa Allah lolos.”
Arum mengelap bulir-bulir keringat dari kening dan wajah Sekar.
“Aaaah…” sekar kembali berteriak.
“Yak dorong, kuat, Bu!”
Dengan sekali dorongan, bayi pertama lahir di dunia. Tangisnya kencang memecah malam.
Arum mengambil handuk lalu menerima bayi perempuan yang terus menangis. Lalu menyerahkan kepada Sekar.
Air mata terharu mengalir di wajah Sekar.
“Assalamualaykum, Cantiknya Papa dan Mama. Halo Dara, ini Mama.” Dara langsung tenang begitu berada di pelukan Sekar. Ia menggeliat-geliat lucu walau wajah dan badannya belum dibersihkan.
“Bu, bayi kedua sudah mulai masuk. Bersiap …”
“Aaaah!” Sekar berteriak lebih kencang, sakitnya berlipat dari saat kelahiran Gadis.
“Dorong, Bu! Ini lebih gampang sepertinya.”
Sekar mengejan sekuat tenaga. Dengan dua kali dorong, bayi kedua lahir tanpa tangisan.
Bidan menatap bayi yang masih diam. Ia menepuk-nepuk perut bayi. Masih juga tidak menangis. Kemudian bidan membalik bayi dan menepuk punggung dengan lebih kuat.
Sekar menatap dengan ketakutan. Demikian juga Arum. Tak berapa lama tangisan bayi kedua pecah dengan kuat.
Sekar dan Arum bernapas lega. Sekar menerima bayi keduanya. “Assalamualaykum Gadis. Alhamdulillah sudah lahir, Nak.”
Bidan memeriksa detak jantung kedua bayi.
“Bu, maaf, saya akan siapkan kendaraan untuk ke rumah sakit. Jantung Gadis tidak berdetak kuat seperti kakaknya. Saya tidak punya alat periksa di sini.”
“Astaghfirullah.”
“Sini saya bersihkan dulu keduanya.”
Bidan kemudian membersihkan Gadis dan Dara dengan air hangat. Lalu membungkusnya dengan selimut yang dipinjamkan warga.
Setelah itu ia mengurus Sekar yang terbaring kelelahan.
“Saya panggil Bapak di luar lalu saya cari kendaraan. Ibu tenang saja. Bisa jadi ini hal normal tapi lebih baik diperiksa supaya aman.”
Fauzan masuk dan menatap dua bayi identik yang berada di gendongan Sekar dan Arum.
“Mas, tolong adzankan Gadis dan Dara.”
Fauzan kemudian mengadzani Gadis dan Dara dengan lembut di telinga masing-masing. Keduanya berbaring dengan tenang sambil menggeliat. Wajah mereka benar-benar serupa.
Sekar berkata dengan lemah, “Mas Fauzan, Mbak Arum. Orang yang tadi menembak Mas Riza adalah orang dari keluarga Anantara. Mas Riza berpesan agar kedua bayi ini dipisah untuk keselamatan.”
Fauzan dan Arum saling bersitatap.
“Sekar, sekarang kita sudah aman. Tidak perlu memisah Gadis dan Dara. Mas sudah minta tolong penduduk dan mereka juga sudah memanggil polisi.”
“Ini pesan Mas Riza sebelum kita berpisah. Mas dan Mbak, pergilah membawa Dara yang lebih kuat. Aku akan bersama Gadis ke rumah sakit.”
“Sekar …”
“Tolonglah. Sekar takut orang itu datang dan menyakiti Gadis dan Dara. Pergilah membawa Dara. Jika Sekar sudah sehat, kita akan bertemu.”
Arum menatap Dara yang berada di gendongannya. Bayi pertama yang baru beberapa menit merasakan dunia. Tidak tega rasanya memisahkan dari Sekar.
“Mas, Mbak, tolong penuhi permintaan Mas Riza. Sekar akan cari kalian. Di rumah sakit in syaa Allah akan lebih aman buat aku dan Gadis.”
Fauzan mengangguk pada Arum.
“Ijinkan Sekar menggendong Dara.”
Arum kemudian bertukar bayi dengan Sekar.
“Sayang, kamu harus jadi anak sholihah, turuti kata Oom Fauzan dan Tante Arum,” bisik Sekar pelan hingga tak terdengar kedua kakaknya.
Sekar mendekap Dara dengan penuh cinta. Bulir-bulir air mata kebahagiaan bercampur kegetiran menitik ke pipi Dara.
“Mama cinta kamu, Sayang. Semoga kita bisa bersama lagi.” Sekar lalu menyerahkan Dara ke Fauzan.
“Dalam kantong tas, ada liontin yang kupersiapkan untuk Gadis dan Dara. Bawalah Mas…”
“Dek, kenapa kamu berkata seperti kita tidak akan bertemu lagi?”
Sekar tidak menjawab kakaknya. Ia hanya tersenyum lemah.
“Ini dia,” seru Arum menyerahkan dua liontin berbentuk hati kepada Sekar.
“Berikanlah padanya. Jika kita terpisah, ini adalah penanda bahwa dia adalah Dara.”
“Dek …” Suara Fauzan terdengar bimbang.
“Mas, berangkat. Hati-hati. Bawa tas, di sana sudah Sekar siapkan susu formula. Mbak, sayangi Dara, ya …”
Arum menitikkan air mata. Ia menggeleng. “Kita akan ketemu lagi. Kamu, Riza, Gadis, Dara akan jadi keluarga bahagia.”
“Aamiin … sekarang berangkat, mumpung bidan belum datang.”
Dengan berat hati Fauzan dan Arum membawa Dara. Di depan pintu mereka menoleh ke arah Sekar yang masih terlihat pucat tengah menggendong Gadis.
“Dek …”
“Fii amanillah … “ Balas Sekar sambil mengangguk untuk meyakinkan kakaknya.
“Bismillah … in syaa Allah kita segera ketemu. Mas akan hubungi kamu.”
Sekar kembali mengangguk.
Begitu pintu tertutup memisahkan dirinya dengan Dara, Sekar menangis. Didekapnya Gadis. Entah bagaimana nasib suaminya dan kini Dara harus dipisahkan demi keselamatan.
“Ya Allah … kuserahkan semua pada kuasaMu. Jagalah kami …”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
🟡𓆉︎ᵐᵈˡ 𝐀⃝🥀sthe⏤͟͟͞R🔰¢ᖱ'D⃤
nyesek banget
semangat Sekar...kalian akan berkumpul lagi
2022-12-02
1
Aisyah farhana
ya Allah sakit banget belom apa" sudah harus berjuang berdarah", semoga Sekar sama gadis juga selamat dijauhkan dari s Adrian yg gila harta gaa tega banget sedih bacanya kak
2022-11-28
2
Arie
😭😭😭😭😭😭😭😭sepupunya Riza yg gila itu😠😠😠😠😠😠😠😠😠😠
2022-11-28
2