“Saya terima nikah dan kawinnya Sekar Ayu binti Mansyur Syah dengan mas kawin sepuluh juta rupiah, dibayar tunai!”
Suara Riza terdengar mantap mengucapkan kalimat yang mengikatnya secara sah dengan Sekar.
“Sah?” Tanya penghulu.
“Sah!” Jawab para undangan yang terdiri dari kerabat dekat.
Riza mengusap wajahnya penuh syukur.
“Andai Ayah dan Bunda ada di sini, kalian akan melihat betapa bahagiannya Riza,” batin pria yang baru memasuki babak baru dalam hidupnya. Ia menghela napas dalam untuk membuang kesedihannya.
Netra Riza mengarah ke pintu yang dihias rangkaian bunga sederhana. Tak sabar menunggu Sekar keluar dari kamar.
Jantungnya berdegup ketika pintu terbuka. Sekar nampak cantik sekali memakai kebaya putih. Parasnya berseri-seri. Matanya menatap Riza dengan penuh kebahagiaan.
Di luar skenario yang sudah diatur oleh kakak iparnya, Riza berjalan mendekati Sekar.
“Wah penganten lakinya wis ndak sabar,” celetuk seorang tamu.
Sekar tersipu malu. Riza berdiri di hadapannya, dekat sekali. Laki-laki yang baru beberapa menit menjadi suaminya mengecup keningnya. Sentuhan pertama yang mereka lakukan sejak saling mengenal.
Dengan takzim, Sekar mencium punggung tangan suaminya.
“Halo, Pak Bojo …” Sekar tertawa jahil.
“Hai you, Nyonya Riza Anantara …” Riza menjawab lembut, lalu menggandeng Sekar ke sofa yang dijadikan pelaminan.
Tak terbayang sebelumnya dirinya akan menikah dengan penuh kesederhanaan. Namun luapan kebahagian karena berhasil mempersunting sang pujaan hati melebih apapun yang bisa dibeli.
Riza beberapa kali melirik Sekar yang telihat sama bahagianya. Mereka menyalami tamu-tamu yang hadir. Hanya mengundang kerabat dan beberapa tetangga dekat karena Bik Yem belum empat pulih hari meninggalkan mereka.
“Aku udah nggak sabar sampai tamu-tamu pulang,” bisik Riza menggoda Sekar.
“Mas, iih.. genit.” Sekar tersipu. Ekspresi yang sangat disukai Riza.
“Sabar, Za … sabaaar …” Riza menggigit bibir menahan gemas. Syukuran yang hanya dua jam terasa seperti lima belas jam bagi Riza.
Malam hari Fauzan dan Arum sengaja menginap di bengkel untuk memberikan privacy pada pengantin baru.
Usai menutup pintu dan jendela, Riza menggendong Sekar ala bridal style. Istrinya memekik namun pasrah ketika tubuh langsingnya dibaringkan di tempat tidur.
Riza merebahkan diri di sampingnya. Mereka saling bertatapan. Mengagumi paras pasangannya. Entah siapa yang memulai karena selang beberapa detik, bibir mereka sudah saling me ma gut.
Hidup belasan tahun di Amerika tidak menggoda Riza merasakan nikmat surga di dunia sebelum waktunya. Sekar adalah wanita pertama yang dicumbui sedemikian untuk memuaskan napsu halalnya.
Perlahan tapi pasti, tangan Riza meraih area-area sensitif istrinya. De sa han nikmat yang keluar dari bibir Sekar membuatnya semakin bersemangat untuk menjelajah tubuh yang kini sudah siap menerimanya.
Riza menatap dalam-dalam netra Sekar, memastikan kesiapan untuk menerima dirinya.
“Mas …”
“Bismillaah …” bisik Riza dengan suara serak.
Terdengar pekikan pelan ketika Riza memasuki Sekar. Ia bisa merasakan tubuh istrinya menegang.
“Mas … sakit.”
“Maaf, Sayang,” jawab Riza yang untuk pertama kali merasakan kenikmatan yang tidak terkira. Tubuhnya mulai bergerak-gerak. Perlahan agar tidak semakin menyakiti Sekar.
Setelah beberapa saat, Sekar mulai menikmati penyatuan. Tubuhnya merespon gerakan Riza. Mereka terus berusaha memuaskan satu sama lain hingga pada puncaknya, Riza dan Sekar sama-sama mencapai kepuasan untuk pertama kali.
Riza memeluk Sekar. Wanita yang kini utuh miliknya. Di kamar sempit yang jauh dari kemewahan, ia merasakan kebahagiaan yang utuh.
Peluh membasahi tubuh polos mereka. Engahan napas memecah sunyi. Riza tersenyum melihat bercak merah dan semakin mengeratkan pelukannya.
“Terima kasih karena menjadikan Mas sebagai yang pertama untukmu.”
“Aku juga yang pertama buat Mas, kan?”
“Iya, Sayang. Kamu yang pertama dan in syaa Allah terakhir,” bisik Riza sambil mengelus rambut tebal istrinya lalu beralih memainkan puncak bukit kembar.
“Mas …” Sekar menggeliat.
“Hmm …” Netra Riza mulai berkabut.
“Istirahat dulu …” Rengek Sekar.
“Ngga bisa, Sayang. Si Babang udah minta lagi,” jawab Riza sambil terkekeh. Agaknya benar kata orang, sekali mencicip surga dunia, maka akan ingin lagi dan lagi.
Sekar pasrah ketika Riza kembali mengungkungnya dan mulai menyerang. Kali ini lebih gencar, terlebih Riza sudah mulai paham lekuk tubuh dan sentuhan di area yang bisa membuat istrinya merem melek.
Tangan Sekar pun mulai berani mengeksplor tubuh sempurna milik suaminya. Dada bidang dan berotot, perut bak roti sobek, punggung yang kokoh benar-benar menggodanya lahir batin.
Sekar bermain dengan jari jemarinya yang lentik. Lembut, membuat tubuh Riza meremang. Mereka pun kembali menyatu, menikmati detik demi detik hingga hasrat mereka meletup.
Setelah puas keduanya berbaring saling memeluk dan langsung tidur kelelahan.
***
Ratusan kilometer di ibu kota, Darius menatap layar hapenya. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
Emosi di dadanya menggelegak melihat Riza dan Sekar bersanding sebagai suami dan istri di pelaminan.
“Yus, come on! Apa kamu nggak bisa liat anakmu tersenyum bahagia? Sejak ibunya meninggal Riza tidak pernah terlihat segembira ini.”
“Omong kosong! Anak durhaka. Dia nggak akan bahagia sama Sekar. Liat aja.”
“Darius Anantara! Istighfar, ucapan orang tua adalah doa buat anaknya.” Anwar berkata keras. Tak menyangka Darius akan mengucapkan kata-kata setajam itu.
Darius terdiam.
“Yus, cobalah untuk menerima keputusan Riza. Kamu mungkin lupa bahwa harta tidak selalu bisa membeli kebahagiaan.”
“War, kepalaku pusing. Bisakah kah tinggalkan aku?” Darius menyandarkan kepalanya.
“Well, you know how to reach me.” Anwar berdiri sambil menatap sejenak wajah sahabatnya yang terlihat semakin menderita sejak Riza meninggalkannya.
Darius menjawab dengan alisnya. Matanya terpejam. Kepalanya berdenyut. Setelah beberapa saat dalam keheningan ia bangkit menuju jendela ruang kerjanya.
Malam itu ibu kota mulai melengang. Dari lantai tiga puluh dua Gedung Anantara, ia menatap langit yang bertabur bintang.
“Semoga kamu bahagia, Nak. Maafkan Ayah yang belum bisa menerima keputusanmu.”
***
Delapan bulan berlalu. Riza dan Sekar melalui hari-hari dengan bahagia. Layaknya suami istri kadang perselisihan muncul namun keduanya selalu berhasil menemukan titik temu.
Riza membuka usaha makanan online, Karaku. Terinspirasi dari ayam goreng yang sering disantap di drakor-drakor. Bumbunya perpaduan asin legit yang memanjakan lidah, belum lagi bunyi kriuk di tiap gigitan.
Awalnya usaha Riza mengalami kesulitan, namun Sekar yang memiliki banyak teman di daerahnya menyebarkan melalui beberapa grup chat. Akhirnya Karaku berkembang dan menjadi salah satu makanan online yang diminati.
Sekar sangat mengagumi Riza yang bagai bidadara terjatuh dari surga, sanggup hidup dalam kesederhanaan cenderung minimalis.
Sedikit demi sedikit berkat keuletannya, dapur rumah mendiang Bik Yem yang awalnya ala kadar kini diperbaiki menjadi lebih layak untuk tempat usaha.
Riza pun mensyukuri keputusannya untuk menikahi Sekar. Setelah membuka Karaku istrinya berhenti kerja dan membantunya di Karaku. Terlebih lagi saat Sekar hamil. Mereka menghitung minggu hingga buah hati terlahir dan melengkapi kebahagiaan mereka.
Riza tetap merindukan ayahnya. Beberapa kali ia menanyakan kabar melalui pesan singkat, namun laki-laki paruh baya keras kepala itu mengindahkan.
Sekar menyemangati Riza untuk terus berusaha. Karena bagaimana pun Darius adalah ayah kandung Riza.
Anwar di lain pihak sering menghubungi Riza. Menanyakan kabarnya dan Sekar. Melalui Anwar, Riza mendapatkan berita tentang Darius.
Riza hanya tersenyum ketika mendengar ayahnya menyiapkan Adrian, sepupu jauhnya, untuk menjadi pemimpin di Anantara Grup. Dari dulu ia memang tidak berminat menjadi bos usaha properti besar yang pernuh intrik dan persaingan kotor.
Dapur adalah tempatnya. Mengolah bahan-bahan mentah menjadi hidangan yang membangkitkan selera.
Sementara Adrian sangat ambisius dan mengidolakan Darius. Sewaktu remaja, Riza merasa Darius lebih menyayangi Adrian. Bunda Diandra selalu mengatakan bahwa kasih sayang seorang ayah tak mungkin tergantikan. Kedekatan dengan Adrian hanya karena minat yang sama pada dunia bisnis.
Darius memang lebih nyambung ketika bicara dengan Adrian ketimbang Riza. Walaupun sedikit banyak tahu mengenai bisnis yang ia kelola namun tidak ada sirat ketertarikan di netra coklat putra semata wayangnya itu.
Riza menitip pesan melalui Anwar untuk ayahnya agar tetap rajin olah raga dan minum vitamin. Pesan yang tak luput disampaikan pada Darius yang menanggapi dingin dan malah menyuruh Anwar untuk berhenti menghubungi Riza.
Tanpa sepengetahuan Anwar, Darius telah menempatkan orang-orang kepercayaannya untuk menjaga Riza dan Sekar. Orang-orang itu selalu melaporkan apapun yang terjadi pada putra tunggalnya.
“Diandra, aku akan tetap menjaga putra kita dari jauh. Kamu tau? Riza akan segera punya anak. Aku akan jadi kakek … Tapi …kenapa kemarahanku masih belum mereda padanya. Diandra, andai kamu ada di sini …”
***
Pemuda tampan masuk ke ruangan Darius Anantara dengan penuh percaya diri.
Dialah Adrian Wiryaguna, sosok yang digadang-gadang akan menjadi bos di Anantara Group menggantikan Sang Pemilik, Darius Anantara.
Wajahnya terbentuk sempurna membuat hati wanita langsung meleleh dan pria langsung merasa insecure. Tubuhnya tinggi tegap. Jangan tanya tentang kecerdasannya. Adrian punya kemampuan untuk menganalisa situasi dengan cepat dan menentukan langkah apa yang haris diambil.
Adrian adalah sepupu jauh dari Riza. Darius dan ayahnya kakak beradik. Sejak remaja, ia sering menghabiskan waktu di kantor pamannya dan belajar mengenai seluk beluk menjalankan bisnis.
Berbeda dengan Riza yang memilih untuk bereksperimen di dapur dengan aneka resep. Riza memang lebih santai sementara Adrian sangat ambisius.
Kepergian Riza semakin melebarkan peluangnya untuk menguasai bisnis Anantara. Darius telah memercayakan beberapa mega proyek untuk dikelola Adrian.
Ia mensyukuri kebucinan Riza pada Sekar dan menganggap itu adalah kebodohan mutlak dari sepupunya. Kebodohan yang membawa keberuntungan baginya.
Adrian melihat Darius sedang duduk membelakangi pintu menghadap ke jendela kantor.
“Gimana menurutmu? Adrian memang luar biasa tapi dia bukan darah dagingku. Aku masih berharap Anantara Grup dipegang oleh Riza dan nanti diwariskan ke anak-anaknya.”
Langkah Adrian terhenti. Tubuhnya mematung mendengar perkataan pamannya.
“Tidak! Si Bucin itu tidak boleh kembali!” Jeritnya dalam hati. Ia sudah bersusah payah sampai di posisi ini dan akan terus mempertahankannya.
Adrian berdehem.
Darius memutar kursi kebesarannya dan langsung menyudahi pembicaraannya via telepon.
Adrian tersenyum lalu mendekati pamannya membawa berkas pembangunan ibukota propinsi yang baru.
“Paman, aku berhasil membebaskan lagi 1000 hektar lahan dengan harga yang menguntungkan. Bahkan pesaing tak bisa menyaingi prestasi kita.”
“Wah kerja bagus! Kamu sudah siapkan berkas presentasi ke kantor gubernur? Oom yakin proyek itu akan jatuh ke tangan kita.”
“Siap, Oom. Jangan khawatir, Adrian tidak akan mengecewakan, Oom. Ini akan jadi proyek terbesar untuk Grup Anantara.”
Darius mengulurkan tangan untuk menjabat Adrian.
“Lanjutkan …”
Adrian menjabat erat tangan Darius dan menatapnya mantap. Setelah bercakap sejenak, Adrian keluar ruangan menuju ruang kerjanya.
Darius menatap punggung pemuda yang berjalan menjauh.
“Andaikan Riza memiliki ambisi sepertimu,” batinnya menahan kecewa.
Sementara Adrian yang melihat pantulan wajah Darius melalui cermin memahami bahwa sekeras apapun dirinya bekerja, ia tidak mungkin bisa menggantikan Riza.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
🟡𓆉︎ᵐᵈˡ 𝐀⃝🥀sthe⏤͟͟͞R🔰¢ᖱ'D⃤
jadi duri dalam daging kyknya adrian
2022-12-02
2
Arie
OMG 🤦🤦🤦🤦🤦🤦🤦🤦
2022-11-27
1
Aisyah farhana
mulai baca situasi nih kayanya s Adrian jadi devil buat Reza n keluarga rebutan warisan, harta emang senjata yg sangat mematikan karena ga Mandang siapapun n apapun ayoo up up kak
2022-11-26
1