Tak Tergantikan …

Malam-malam setelah Diandra meninggal dan Riza memutuskan untuk pergi dari rumah adalah waktu yang menyiksa bagi Darius. Duduk berteman buku bacaan, terkadang sambil menghabiskan cerutu.

Huruf-huruf yang tertulis bagaikan untaian kata tanpa makna. Terlihat namun tak terbaca. Detik demi detik berlalu sangat lambat hingga lelah menunggu fajar menjadi sahabat dalam sepi.

Sudah berapa batang cerutu yang dihabiskan malam itu. Kebiasaan yang muncul sejak orang-orang tercintanya pergi.

Hapenya berbunyi. Darius langsung mengangkatnya.

“Tuan, desa tempat tinggal Pak Riza dan Bu Sekar terbakar habis. Mereka tidak dapat ditemukan.”

“Apa? Siapkan pesawat kita berangkat sekarang.”

Setengah jam kemudian Darius sudah terbang menuju kota terdekat tempat tinggal putra dan menantunya. Bolak-balik ia menghubungi nomor putranya.

“Riza, semoga kamu dan istrimu baik-baik saja. Ayah menyesal. Setelah ini kamu kembali di rumah, ya.” Begitu tulisnya di pesan aplikasi. Centang dua, namun tidak terbaca.

“Berapa menit lagi, Kapt?”

“Empat puluh menit lagi, Tuan,” jawab kapten sambil menelan saliva. Darius bertanya tiap lima menit sekali.

“Ya Allah, Engkau tau aku marah padamu karena mengambil Diandra dariku. Kumohon, jangan Kauambil juga Riza. Kumohon ….” Pinta Darius lirih. Doa pertama yang ia panjatkan setelah istrinya tewas dalam kecelakaan pesawat.

Dulu, Darius dan Diandra adalah orang-orang yang taat. Mesjid adalah rumah kedua bagi mereka. Namun kepergian Diandra mengubah segalanya. Hati Darius mengeras.

Ia tidak pernah lagi masuk mesjid manapun karena mengingatkan akan sholat jenazah untuk istrinya. Ibadah ditinggalkan, Al Qur’an tersimpan hingga berselimut debu.

Kini ia mengiba pada Yang Maha Kuasa untuk keselamatan putra tunggal dan keluarganya. Penyesalan yang membuncah mengiringi tiap kata yang terucap di bibirnya.

Melebihi malam-malam dingin yang selalu menemaninya, detik demi detik terasa semakin lama bergerak. Jarak yang terbentang tak jua mendekat. Darius berulang kali menghela napas sambil memandang keluar jendela jet pribadinya.

“Sudah ada kabar dari tim di lapangan?” Entah untuk ke berapa kali Darius menanyakan hal yang sama pada pengawalnya.

“Belum, Tuan. Mereka pun kesulitan mencari karena kebakaran sudah merembet kemana-mana. Saya sudah memerintahkan sebagian dari mereka untuk menyisir hutan hingga ke desa sebelah.”

Darius mengangguk.

“Riza, kamu dan keluargamu harus bertahan. Kita akan pulang, Nak. Maafkan Ayah.” Jerit batinnya. Bulir air mata menetes membuat pengawal yang sudah bekerja padanya selama puluhan tahun ikut merasa pilu. Darius tidak pernah menangis. Bahkan saat Diandra meninggal, Darius menyimpan kesedihan untuk dirinya sendiri.

Empat puluh menit akhirnya berlalu. Darius gegas turun dari pesawat dan masuk ke mobil yang sudah disiapkan.

Malam masih setia, mobil mengarah ke arah desa yang berjarak 80 kilometer dari lapangan udara pribadi. Tak sabar dengan driver, Darius mengambil kemudi dan menjalankan kendaraan seperti kesetanan.

Fajar masih malu-malu ketika Darius dan beberapa pengawal tiba di desa yang hampir luruh lantak. Puing-puing hitam menjadi latar belakang wajah-wajah putus asa dan kebingungan.

Petugas pemadam kebakaran, kepolisian, masyarakat desa sekitar telah berjibaku memadamkan api. Namun dampaknya masih terlihat di seluruh desa. Hanya ada tiga rumah yang terletak di ujung desa selamat dari si jago merah.

Darius dan orang-orangnya menembus lautan warga, mereka meratapi harta benda yang telah menjadi arang dan debu. Beberapa memanggil nama anggota keluarga. Suasana mencekam dan memilukan.

Tibalah dia di rumah Bik Yek. Rumah yang pernah menjadi tempat berlindung anak yang sudah dibuangnya. Matanya menatap nanar sisa bangunan yang habis terbakar.

“Semua penghuni berhasil menyelamatkan diri. Fauzan, Arum dan Sekar, adalah penduduk asli. Sepertinya mereka mengajak Pak Riza untuk menembus hutan ke desa sebelah.” Salah seorang warga menjelaskan kepada Darius yang menatap puing tempat tinggal putranya dengan putus asa.

Darius memerintahkan anak buahnya untuk menunjukkan arah ke desa sebelah.

Langkahnya terhenti melihat beberapa timnya mendekat dari arah hutan sambil membawa kantung besar berwarna hitam.

***

Tubuh Riza terbaring di ruang jenazah. Terdapat luka dan lebam. Darius menatap jenazah putranya yang siap dimandikan.

“Yus, sabar, ya …” Anwar menepuk pundak sahabatnya. Pundak yang biasanya tegap kini luruh lunglai.

“Semuanya sia-sia, Anwar. Kerja puluhan tahun nggak ada gunanya dengan kepergian Riza,” jawab Darius sambil menatap tubuh tak bernyawa di hadapannya.

“Lihatlah, anakku masih sangat muda. Dia berhasil hidup cukup dengan jerih usahanya sendiri. Hidup di rumah sempit, jauh dari kemewahan. Lihat wajah yang masih tersenyum di saat terakhirnya. Betapa ia meninggalkan hidup yang bahagia.” Darius terisak.

Seorang polisi mendekati.

“Pak Darius, silakan ke kantor. Ada benda-benda milik korban yang akan kami serahkan.”

“Korban punya nama. Dia adalah Riza Anantara.” Darius terus menatap putranya tanpa kedip.

“Saya mandikan Riza setelah itu baru ke kantor.”

“Baik, Pak. Kami turut berduka cita.”

Darius mengangguk lemah.

Petugas pemandi jenazah telah menyiapkan semuanya. Darius maju mendekati tubuh yang telah kehilangan nyawa.

“Riza, Ayah ingat pertama kali memandikan kamu. Usiamu baru lima hari. Bukannya menangis kamu tertawa kesenangan ketika air hangat menyentuh kulitmu. Kini Ayah mandikan kamu untuk terakhir kali. Maafkan Ayah …”

Dengan penuh kasih sayang, Darius menyiramkan air dari pucuk kepala hingga kaki. Bahkan dirinya sendiri yang menyabuni kulit Riza yang tetap bersih seputih salju, terlepas dari luka dan lebam yang masih tersisa.

“Kamu sudah bersih sekarang, Nak. Sampaikan salam ke Bunda jika kamu bertemu dengannya. Ayah akan sangat merindukan kalian,” bisik Darius di telinga anaknya.

Sebuah pesan masuk:

Kami sudah mengetahui posisi Ibu Sekar.

***

Sekar terus berlari menggendong putrinya. Dua orang mencegat ambulans dan melumpuhkan petugas rumah sakit sekaligus supirnya. Sekar tidak dapat melihat siapa mereka namun insting menyuruhnya untuk segera menyelamatkan diri.

Ia berhasil kabur tepat sebelum si penyerang berjalan untuk membuka pintu belakang ambulans. Didekapnya bayi erat-erat.

Rasa sakit luar biasa pasca melahirkan, hutan yang gelap gulita, pedihnya ranting menyayat kaki tidak sebanding dengan keselamatan putrinya.

Bolak-balik ia harus berhenti untuk memastikan bayinya masih bernapas.

“Bertahan, Nak. Mama akan lakukan apapun untuk memastikan kamu selamat. Papa dan Mama menyayangimu,” bisik bayi yang malah terlihat lelap.

Sekar kembali berlari menembus hutan yang akan membawanya kembali ke desa. Wanita yang masih lemah itu hanya berharap nalurinya bisa menunjukkan arah.

Batinnya terus memohon keselamatan. Kalimat dzikir tidak pernah lepas dari bibirnya.

“Astaghfirullah …” Sekar hampir tersungkur ketika sendal jepitnya putus. Sekar membuang sendalnya lalu kembali berlari.

Hingga akhirnya tubuhnya tak mampu lagi bergerak. Telapak kakinya sudah berdarah.

Fajar mulai menyingsing. Ia mencari pohon dan menyandarkan diri di sana.

Gadis mulai bergerak-gerak. Bibirnya mencari jemari untuk dihisap. Salah satu tanda bayi mulai lapar. Sekar berharap air susunya sudah keluar karena tas yang berisi perlengkapan sufor diberikan pada Fauzan dan Arum.

Sekar membuka dasternya, Gadis langsung menyusu dengan kuat. Sekar sudah sangat lemah. Dirinya bersandar pasrah dan berharap siapa pun yang menghentikan ambulans tidak berniat mengejarnya.

Bunyi kemeretak tak jauh darinya membuatnya waspada. Kaki Sekar sudah tak bisa digerakkan. Ia masih berusaha menopang tubuh dengan satu tangannya ke pohon namun akhirnya jatuh terduduk.

Gadis menangis karena kaget. Sekar menimangnya agar putrinya tenang.

Pagi sudah mulai terang. Dua orang pria muncul di hadapan Sekar. Mereka berdua memakai masker ski. Satu di antara mereka maju sambil mengacungkan senjata.

“Jangan … kasian anak saya baru lahir. Saya mohon.”

Sekar mendekap Gadis.

Dari kejauhan terdengar suara laki-laki berseru.

“Arah sini!”

Dua orang itu terlihat panik. Sekar memejamkan mata. Jika takdirnya hanya sampai di sini, setidaknya dia sudah bertemu kedua putrinya.

“Sekar!”

***

Darius mengelus pucuk kepala mantunya.

“Sekar, bertahan. Maafkan Ayah. Maafkan Ayah. Ijinkan Ayah memperbaiki kesalahan dengan merawatmu dan bayimu.” Darius berbisik pada Sekar yang berbaring dengan mata terpejam.

“Na … nama… namany ..a Ga.. dis. Gadis. Tuan … Maaf … ma …afkan Mmaas Ri ..za dan Sek …ar,” jawab Sekar lirih, masih dengan mata terpejam.

“Ayah yang salah. Ayah yang berdosa sama kalian. Bertahanlah, kita segera sampai di rumah sakit..”

Sekar membuka mata, menatap Darius.

“Mmmas .. Rii..za, saang..at mmerindukan … Tuuuaan.”

“Panggil aku Ayah, Sekar. Kamu adalah anakku juga. Aku juga merindukan Riza. Maafkan Ayah.”

Air mata mengalir di pipi Sekar. Napasnya tersengal. Ia mengalami pendarahan hebat. Darius menggenggam tangan menantunya yang mulai dingin.

“Lebih cepat sedikit!” Titahnya pada pengemudi.

“Aaayyaah … tii ..tip Ga..dis. Saayangi.. Ga ..dis.”

Darius menatap bayi yang kini digendong oleh salah satu pengawal setianya.

“Kita besarkan bersama. Kamu akan jadi ibu yang luar biasa untuk Gadis,” balas Darius cemas. Ia menempelkan jari ke leher Sekar yang tertutup kerudung ala kadar.

“Cepat! Nadinya mulai melemah!” Kendaraan yang mereka tumpangi melaju kencang dibantu fore-raider dari kepolisian setempat untuk membuka jalan.

“M…mas Riza …” Mata Sekar menerawang, bibir tersenyum bahagia.

“Riza … Riza sudah tenang sekarang.”

“Mmaaas Riza da …tang.”

Sekar tersenyum bahagia lalu melirik ke arah putrinya.

“Mama sayang kamu. Laa ilaahaillallah …”

***

Di dua tempat yang berjarak ratusan kilometer, Gadis dan Dara menangis begitu keras mengiringi kepergian ibu mereka.

Gadis mendadak menangis keras membuat panik Darius dan pengawalnya.

Fauzan dan Arum yang sedang berada dalam bis harus menenangkan Dara yang terus berteriak.

“Mas perasaanku nggak enak,” ucap Arum sambil berusaha menenangkan Dara.

Fauzan dengan sorot mata cemas hanya mengangguk.

“Sekar, Riza, semoga kalian baik-baik saja.”

***

Darius berusaha untuk menguatkan diri saat melihat jenazah Riza dan Sekar mulai tertutup tanah. Mereka dimakamkan di taman pemakaman keluarga. Di samping peristirahatan Diandra.

“Beristirahatlah dengan tenang kalian berdua. Maafkan Ayah …” Bisik pria yang merasa gagal sebagai orang tua.

Media banyak hadir meliput acara pemakaman membuat para pengawal kewalahan karena Darius menginginkan privasi.

Setelah tamu-tamu pergi, Darius duduk di samping kuburan yang masih merah bertabur bunga. Terus membacakan doa untuk anak dan menantu agar kehidupan mereka mudah di alam barzah.

Langit mendung. Anwar dan Adrian menatap pria setengah baya yang biasanya gagah dalam semalam nampak lima tahun lebih tua.

Darius kemudian bangkit, mendekati keduanya.

“Saya siap mengeluarkan statement.”

Adrian segera memberi perintah kepada para pengawal dan staff media dari Anantara Corporation.

Darius merapikan pakaiannya lalu berjalan mendekati kerumunan wartawan.

“Hari ini, saya kehilangan dua orang tercinta. Riza Anantara, anak, dan Sekar Ayu, menantu saya. Sebelum meninggal, Sekar melahirkan bayi cantik. Untuk itu, saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari Anantara Corporation, menyerahkan tampuk kepemimpinan untuk sementara pada Adrian dan Anwar. Sementara karena setelah cucu saya siap, maka dialah yang akan memegang kepemimpinan Anantara Corporation.”

Adrian terbelalak. Demikian juga Anwar.

“Yus …” Anwar menyela Darius.

“Keputusan saya sudah bulat. Saya akan membesarkan Gadis Anantara yang kelak akan menjadi pemimpin di Anantara Corporation. Anwar, Adrian, selamat bekerja. Sekian.”

Darius bergegas melangkah pergi. Para pengawal membentuk barikade untuk mencegah para wartawan yang masih ingin bertanya tentang sebab kematian Riza dan Sekar.

Adrian berdiri mematung. Emosinya menggelegak. Bahkan dengan kematian Riza, Darius masih tidak sepenuhnya melepas kekuasaan padanya.

Wartawan beralih pada Adrian dan Anwar.

Dengan penuh wibawa, Anwar memberikan pernyataan.

“Seperti yang telah disampaikan Darius Anantara selaku pemegang saham mayoritas di Anantara Corporation, saya dan Adrian akan memegang komando. Sampai Gadis siap.”

Adrian menggumam. “Sampai Gadis siap.”

***

Terpopuler

Comments

Aisyah farhana

Aisyah farhana

berikan keadilan buat Reza n Sekar kak

2022-11-29

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!