Semua orang sangat khusuk membaca doa. Seorang Wanita yang terlihat sangat cantik sedang terisak-isak di samping kuburan Alan. Ia adalah ibunya Alan. Sampai akhir acara pemakaman, ia tidak berhenti menangis. Semua orang merasa sangat iba melihatnya. Putra satu-satunya kini sudah pergi meninggalkannya.
Setelah selesai membacakan doa, satu-persatu meninggalkan pemakaman itu. Waktu terasa sangat singkat. Mala pun ikut meninggalkan pemakaman itu. Ia berjalan bersama Ita dan juga Edo.
“Duh, aku masih gemetaran nih. Nggak nyangka ada kejadian kayak gini”, kata Ita yang bergandengan tangan dengan Mala.
Mala dan Edo tidak menanggapi perkataan Ita. Karena mereka pun masih tampak tidak percaya. Tiba-tiba Mala merasa ada yang beda dengan sepatunya. Ia pun melihat ke bawah.
“Yah, tali sepatuku lepas lagi!” kata Mala sambil menekukkan lutut kanannya.
Bukannya di tunggu, ia malah ditinggal oleh Ita dan Edo.
“Tungguin dong”, teriak Mala.
“Panas banget Mal, aku duluan aja ya”, sahut Ita.
“Hm, dasar!”
Selesai mengikat tali sepatunya, ia berdiri lagi hendak mengejar teman-temannya. Tapi, tiba-tiba ia mendengar suara pertengkaran. Mala mencari sumber suara itu. Ternyata Ibu dan Ayah Alan sedang bertengkar. Ia pun bersembunyi di balik pohon untuk mendengarkannya.
“Kenapa kamu menuduh aku? Kamu juga salah! Seharusnya sebagai ibu, kamu mengurus Alan!” kata pria itu marah.
“Nggak! Ini semua memang salah kamu, Mas! Kamu nggak pernah ada waktu untuk Alan!” balas sang istri.
“Kamu pikir, kamu selalu ada waktu buat Alan?”
“Loh! Aku itu kerja, Mas. Dan itu semua buat biaya Alan!”
“Aku udah pernah bilang sama kamu. Untuk menolak tawaran pekerjaan itu. Tapi, kamu nggak pernah dengarkan aku!” tegas pria itu.
Wanita itu pun memalingkan wajahnya.
“Seandainya kamu mau mendengarkanku, setidaknya Alan mendapatkan kasih sayang dari ibunya. Berkali-kali aku bilang, biar aku aja yang bekerja. Kalaupun dia kecewa, biar aku aja orang yang dia kecewai”, lanjut pria itu lirih.
Kedua orang tua Alan saling menyalahkan atas kejadian yang menimpa Alan. Dari pembicaraan itu, Mala yakin Alan pasti sangat merindukan kasih sayang orang tuanya. Ia pun masih penasaran dengan apa yang terjadi kepada Alan.
“Mereka berdua memang egois! Ngakunya bekerja dari pagi hingga pagi lagi untuk anaknya. Tapi, perubahan pada anaknya dia tidak tau!” kata Mala geram.
“Hei! Ngapainmu ngomong sendiri? Kamu nggak pulang? Mau nginap disini?” tanya Edo pada Mala.
“Ih, apaan sih! Aku lagi dengerin pembicaraan orang tua Alan”, jawab Mala.
Edo pun menghampiri orang tua Alan. Mala heran, apa yang mau dilakukan oleh Edo? Mala masih di balik pohon mendengarkan percakapan mereka.
“Om, Tante, aku Edo teman sebangkunya Alan.”
“Iya, nak. Ada apa?” tanya Ayah Alan.
Edo merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah handicam, “Ini milik Alan yang saya pinjam kemarin.”
“Oh, iya. Makasih ya”, jawab pria itu.
“Oh iya. Aku nggak sengaja melihat Video Alan yang ada di situ. Mungkin Om dan Tante harus melihat video itu. Hanya itu saja yang mau saya sampaikan. Permisi Om, Tante,” jelas Edo dan berlalu pergi.
Edo kembali menemui Mala dan mengajaknya pulang. Mala penasaran tentang handycam yang diberikan Edo pada orang tua Alan.
“Edo”, panggil Mala.
“Ya, Mal? Kenapa?” sahut Edo.
Mala masih enggan menanyakan hal tersebut. Jadi, Mala tidak melanjutkan pembicaraannya. Mereka pun berjalan keluar dari area pemakaman.
“Kamu tadi mau ngomong apa? Kok nggak jadi?” tanya Edo penasaran.
“Em, itu… soal handycam tadi”, jawab Mala ragu.
“Emangnya ada apa dengan handycam-nya?” tanya Edo bingung.
“Ih, Edo! Seharusnya aku yang nanya kayak gitu!” jawab Mala kesal.
Edo melihat wajah Mala yang cemberut. Baginya, saat cemberut itu Mala begitu lucu. Rasanya ingin sekali ia mencubit pipinya.
“Jadi, waktu aku mau mindahin file ke laptop, aku nemuin file yang judulnya buat papa dan mama. Karena penasaran aku buka file itu. Eh, ternyata isinya pengungkapan hati Alan. Jadi, aku pikir orang tua Alan harus melihatnya. Puas?” jelas Edo.
“Pengungkapan hati? Emangnya ngomong apa aja?” tanya Mala lagi.
Edo pun menarik napas dalam-dalam. Lelah dengan semua pertanyaan yang tak hentinya keluar dari mulut Mala. Lalu, Edo mengajak Mala untuk duduk sebentar. Ia mengambil Hp beserta headset-nya dan memberikannya pada Mala.
Mala pun mengambilnya dari tangan Edo. Ia pun langsung melihat rekaman video itu. Edo yang merasa lelah tidur di pangkuan Mala. Awalnya, Mala terkejut. Tapi, ia pikir akan membiarkannya seperti itu.
Mala kembali melihat video tersebut. Ia melihat Alan sedang duduk sendirian. Matanya begitu sayu.
“Ma, Pa, Alan mohon maaf jika selama ini sudah merepotkan kalian. Asal kalian tau, sebenarnya aku rindu pada kalian. Dulu mama selalu ada buat aku. Tapi, semenjak mama bekerja semuanya berubah. Kalian lebih mementingkan pekerjaan dibandingkan aku. Kalau pun kita bertemu di rumah, kalian pasti selalu bertengkar dihadapanku.”
Alan menundukkan kepalanya. Air matanya pun mulai berlinang. Kepedihan yang ia rasakan dan ia simpan sendiri kini tidak bisa dibendungnya lagi.
“Apakah aku lahir di dunia ini hanya membuat kalian susah?” katanya sambil menangis.
Lalu ia menyeka air matanya sendiri. Terdengar jelas suara yang tersedu-sedu.
“Benarkah itu Ma, Pa? Sampai harus membuat kalian banting tulang untuk memenuhi kebutuhanku dan tidak sempat mengurusku? Aku sedih sepanjang hari. Harus mengurus diri aku sendiri. Di rumah sendiri dan nggak pernah tau kapan kalian pergi dan kapan kalian pulang”, lanjutnya sambil tersedu-sedu.
Berulang kali ia menyeka air matanya. Tapi, air matanya tetap mengalir deras. Mala yang melihatnya ikut tak kuat menahan air matanya.
“Aku udah diambang batas. Rasa sepi ini udah membuatku berjalan di kegelapan sepanjang hari. Nggak ada yang bisa aku lakukan lagi selain membuat diriku berkhayal seperti hidup dengan kasih sayang dari kalian. Aku ingin merasa seperti anak-anak lain yang selalu mendapatkan perhatian dari orang tuanya.”
Kala itu Alan tersenyum menceritakannya. Ia begitu menginginkan hal tersebut benar-benar nyata di kehidupannya bukan hanya sebatas hal yang semu.
“Bisakah kalian memarahiku? Atau memukulku? Sekali saja, tolong lihatlah anak kalian ini. Tapi, itu nggak mungkin, karena kalian sama sekali tidak memperdulikan keadaanku.”
Separah apakah rasa sakit yang di derita Alan? Sampai ia harus meminta hal seperti itu. Yang ada anak-anak lain tidak ingin dipukul apalagi dimarahi oleh orang tuanya. Kata Mala dalam hati.
“Kini, aku telah terjerat oleh maut. Mungkin kalian tidak akan pernah melihatku lagi. Maafkan putramu ini”, ucap Alan sambil menyatukan kedua telapak tangannya. “Putramu yang lugu ini sudah tidak ada gunanya lagi. Hidup pun aku percuma. Tapi, dengan begitu Mama dan Papa nggak perlu repot-repot lagi bekerja seharian karena biaya hidup kalian telah berkurang.”
Sejenak ia terdiam. Hanya isak tangis yang terdengar. Berkali-kali menyeka air matanya.
“Aku…aku ingin sekali memeluk kalian tapi, sepertinya kalian tidak ingin aku peluk. Aku nggak marah kok. Hanya saja aku sedih, aku hidup di dunia ini seperti anak yatim piatu bahkan mungkin lebih parah dari itu.”
Alan menutup matanya lama sekali. Entah apa yang sedang ia pikirkan.
“Sebelum terlambat aku mau mengatakan, aku sangat sayang sama Mama dan Papa lebih dari yang kalian tau. Ma, terima kasih karena telah sabar mengandungku selama sembilan bulan dan Mama juga sempat mengurusku walau sebentar. Aku juga sayang sama Papa karena, papa sudah menjaga Mama dan menjagaku ketika dalam kandungan. Sekali lagi, maafkanlah putramu ini.”
Mala menghelakan napasnya setelah melihat video itu. Ia berpikir, sangat di sayangkan Alan sampai terjerumus obat-obatan terlarang itu. Ia terlalu berharap orang tuanya memperhatikan kehidupannya tapi, tidak ada yang mengerti.
Seperti Mala, tidak ada yang mau mengerti apa yang diinginkannya. Apapun itu pasti selalu salah dimata orang tuanya. Ia harus mengikuti apapun keinginan ayahnya.
“Kamu tau nggak? Apapun yang kita lihat, dengar, dan orang lain lakukan, itu tergantung bagaimana kita menyikapinya”, oceh Edo tiba-tiba yang masih tidur di pangkuan Mala.
Mala mengerutkan dahinya, “Maksudnya Do? Aku nggak ngerti.”
Edo bangun dari tidurnya dan duduk di sebelah Mala. Ia menatap langit yang terlihat mendung.
“Ketika seseorang beranggapan dia telah melakukan hal yang benar, belum tentu orang lain beranggapan seperti itu juga”, jelas Edo.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments