Siang hari yang begitu panas, Mala mengayuh sepedanya. Sesekali Mala mengusap keringat yang mengalir di keningnya. Sebenarnya Mala sudah malas naik sepeda terus-menerus, pulang-pergi ke sekolah. Ia ingin sekali diantar jemput tapi, tidak ada yang mau dan setuju tentang hal itu.
“Lama banget sih umurku tujuh belas tahun! Huh!” keluh Mala.
Saat ini Ia telah berumur enam belas tahun dan lima bulan lagi ia umurnya akan genap tujuh belas tahun. Saat itu, ia akan memiliki surat izin mengemudi dan bisa mengendarai sepeda motor ke sekolah.
Dari kejauhan Mala melihat penjual es cendol yang sedang berjualan di pinggir jalan. Ia pun mempercepat kayuhannya.
“Es cendolnya segelas ya pak”, katanya sambil memarkirkan sepedanya.
Mala duduk di bangku yang telah disediakan dan meletakkan tasnya di samping. Tidak lama, es cendol pun siap disantap.
Mala meneguk es cendolnya perlahan, “Hah”, Mala menghela napas. Ia merasa segar kembali. Lalu ia meneguk esnya kembali. Tapi, baru saja sedikit yang masuk ke mulut, Mala dikejutkan oleh Edo.
“Edo! Ngagetin aja deh! Kalau aku tersedak gimana?” kata Mala Marah.
“Kalau tersedak ya… uhuk…uhuk…. Hehehe”, canda Edo sambil memperagakan orang yang sedang batuk.
Edo pun memarkirkan motornya dan membuka helmnya.
“Ngapai sih kamu ke sini?Ganggu aja!”
“Ya mau minum es cendol dong.”
Edo duduk di sebelah Mala dan memesan es cendol untuk dirinya. Edo terus memperhatikan Mala tanpa berkedip. Hal itu tentu membuat Mala gerogi.
“Kamu pasti lelah banget ya, naik sepeda tiap hari?” tanya Edo sambil mengacak rambut Mala. “Aku antar-jemput mau?”
“Nggak mau ah!” tolak Mala mentah-mentah.
“Yakin nih, nggak mau?” tanya Edo sekali lagi.
Dalam hati Edo berkata, “Ayo dong Mal, please… mau, ayo dong….”
Tapi Mala menggelengkan kepalanya.
“Ya udah kalau nggak mau”, jawab Edo pura-pura santai.
Tiba-tiba Mala teringat pada Alan dan ia ingin menanyakan sesuatu kepada Edo.
“Do”, panggil Mala.
“Hm, kenapa?” jawab Edo sambil menyendok es cendolnya.
“Si Alan itu, beneran udah pindah sekolah tiga kali ya?” tanya Mala penasaran.
“Iya”, jawab Edo sambil menyendok es cendolnya.
“Terus beneran, dia juga udah tiga kali tinggal kelas?” tanya Mala lagi.
“Iya”, jawab Edo yang masih asik dengan es cendolnya.
“Ih, Edo serius dong!” rengek Mala sambil mengambil gelas yang ada ditangan Edo.
“Iya Mala, aku serius!” jawab Edo dan mengambil kembali gelasnya.
“Oh, gitu ya. Hm, aku kira kamu nggak bakal mau ngasih tau tentang Alan.”
“Dia nggak bilang kalau itu rahasia kok. Kenapa sih, kok kayaknya mau tau banget?”
Edo menoleh ke Mala dan dilihatnya Mala sudah melototinya.
“Oke, jadi intinya dia itu udah malas sekolah”, jawab Edo singkat.
Edo melanjutkan minum esnya. Ia tidak mendengar suara Mala lagi. Dan benar saja Mala masih melototinya.
“Hm, jadi orang tuanya itu sering banget bertengkar kalau udah ketemu di rumah. Alan merasa terganggu. Terus dia juga merasa kalau dirinya nggak dianggap di rumah itu. Yah, kurang kasih sayanglah. Kurang lebih sih begitu. Puas?” jelas Edo.
Mala tersenyum pada Edo, “Oke deh, aku duluan ya Do.”
Mala berdiri dan melangkahkan kakinya menuju sepedanya. Tapi, masih selangkah Edo menarik tangan Mala. Ada rasa yang aneh di dalam dada. Mala menoleh kebelakang melihat Edo yang memegang tangannya. Angin berhembus mengenai wajah Mala. Ia semakin terlihat cantik di mata Edo.
“Mal…”, panggil Edo.
“Ya…”, jawab Mala gugup.
“Em, tas kamu ketinggalan”, kata Edo sambil menoleh ke arah tas Mala.
Mala tersenyum malu, hatinya masih gugup. Perasaan apa itu? Mala sama sekali tidak paham. Mala mengambil tasnya setelah itu ia berlalu pergi mengendarai sepedanya.
“Berapa pak?” tanya Edo sambil merogoh sakunya.
Sambil mengumpulkan gelas si Bapak pun menyebutkan harganya yang membuat Edo kaget.
“Kok mahal pak? Biasanya nggak segitu”, tanya Edo heran.
“Mbak yang tadi kan, belum bayar mas”, jelas si Bapak.
Edo tersenyum mengingat Mala. Ia pun membayar es cendolnya. Dan berlalu pergi mengendarai motornya.
***
Tidak heran kalau Mala langsung berbaring di kasurnya. Ia harus merenggangkan otot-otot kakinya yang terasa sangat lelah. Ia merasa suhu tubuhnya naik dengan memegang dahinya. Ia lalu bercermin untuk melihat wajahnya.
“Kayaknya beneran pucat deh”, ucapnya sambil bercermin.
Lalu ia melihat ke dalam kelopak matanya bagian bawah, “Merah kok. Apa perasaanku aja ya?”
Mala kembali berbaring di kasurnya. Lama-lama matanya mulai terasa berat. Dan ia pun tak kuasa menahan kantuknya. Tapi, tiba-tiba ia tersentak mendengar bel rumahnya berbunyi. Mala lalu keluar dari kamarnya untuk melihat siapakah yang datang.
“Ita? Cepat banget sih datangnya?” tanya Mala merengek.
“Lebih cepat lebih baikan?” jawab Ita.
“Hm, iya deh. Ayo masuk. Bentar ya, aku ambil buku dulu”, kata Mala sambil buru-buru ke kamarnya.
Ita hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah sahabatnya itu. Ia langsung membongkar tasnya dan mengeluarkan buku-buku yang ada di dalamnya. Tidak lama kemudian Mala pun datang membawa bukunya.
Tanpa berbincang-bincang lagi, mereka langsung mengerjakan soal-soal yang lumayan banyak. Sesekali Ita membantu Mala memberikan penjelasan mengenai soal-soal yang tidak Mala mengerti.
Mala sering mengajak Ita belajar bersama. Kata-kata Ita yang sederhana, membuat Mala menjadi lebih mengerti. Dan, tidak terasa sudah dua jam mereka mengerjakan tugasnya.
“Buat jus mangga yuk!” ajak Mala.
“Ayo, udah dehidrasi banget nih”, ucap Ita sambil memegang lehernya.
Mereka pun langsung berjalan ke dapur. Nah, ini yang sering mereka lakukan setelah mengerjakan tugas. Yaitu, membuat cemilan dengan bahan ala kadarnya. Sebelum membuat jus, mereka membuat cemilan terlebih dahulu. Kadang buat kentang goreng lah, omelet, sosis goreng dan lainnya. Pokoknya mereka bereksperimen sendiri.
Setelah itu imbasnya ke bibi Surti deh. Jadi, bi Surti lah membersihkan peralatan masaknya. Yang paling repot kalau udah buat percobaan baru tapi gagal dan gosong semua. Kebayangkan gimana membersihkannya?
Setelah beberapa lama membuat keributan di dapur, akhirnya mereka keluar membawa makanan yang mereka buat beserta jus mangga. Mereka pun langsung duduk di depan TV dan melahap cemilan sambil bersenda gurau.
“Wuih, ramai bener nih?” kata Ivan yang tiba-tiba datang.
“Eh, kak Ivan. Udah pulang kak?” tanya Ita.
“Iya Ta. Kalian buat percobaan apa lagi?”
“Biasa kak, hehehe”, jawab Mala malu. “Oh, iya kak. Gimana les pianonya? Kakak jadikan mendaftarkan Mala?”
“Maunya sih gitu, tapi Ayah nggak setuju”, jelas Ivan.
Mala pun langsung terdiam. Ia tidak bisa berkata-kata lagi. Terlihat jelas kekecewaan diwajahnya.
Kenapa? Kenapa ayah selalu saja tidak setuju dengan apa yang aku inginkan? Itulah pertanyaan yang selalu ada di benak Mala.
Mala kembali melihat TV. Namun hatinya masih perih. Ia yang sangat suka dengan hal-hal yang berbau seni dan keterampilan, namun ayahnya tidak mendukung hal tersebut.
“Kata ayah, lebih baik kamu ikut les bimbingan belajar aja”, kata Ivan.
“Aku udah punya Ita kok, yang selalu mau ngajari aku. Ita juga nggak kalah pintar dengan tentor Bimbel!” sahut Mala.
Ivan melihat ke arah Ita. Memang benar, Ita selalu menjadi juara satu umum di sekolahnya. Dan semenjak itu, Ita dan Mala semakin akrab. Ita selalu senang hati membantu Mala yang sering kesusahan mengerjakan tugas sekolahnya. Dan semakin lama Mala pun masuk ke lima besar murid berprestasi di kelasnya.
“Mal, kak Ivan, aku pulang ya. Soalnya ayah udah nunggu di depan”, kata Ita berpamitan.
“Iya Ta, makasih ya”, jawab mala sambil tersenyum dengan Ita.
Ita pun menganggukkan kepalanya dan membalas senyuman kepada Mala. Lalu ia berjalan keluar sendirian.
“Udah deh, lebih baik kamu turuti aja apa kata ayah”, Ivan meneruskan perdebatan mereka. “Lagi pula demi kebaikan kamu juga kan?”
“Tau apa ayah tentang aku? Kalau memang ini untuk kebaikanku, kenapa ayah nggak bisa percaya sama aku?” ucap Mala kesal.
“Mal, ayah juga pernah seumuran kamu. Pasti ayah lebih berpengalaman dan lebih tau tentang apa yang terbaik buat kamu. Udah ah, kakak mau mandi dulu.”
Ivan kemudian pergi meninggalkan Mala sendirian. Mala sangat kecewa dengan larangan-larangan yang dibuat oleh ayahnya. Ia tidak dapat memilih sendiri hal-hal yang ia sukai. Hal inilah yang membuat jarak antara dirinya dengan sang ayah.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments