Bab 3. Mas Jiny

“Appa!”

Seketika dari balik gulungan kain muncul kepala ayah sambil membetulkan kacamatanya juga memperhatikan. Aku tebak, ia pasti mengira putrinya ini adalah pelanggan toko.

“Oohh Mina? Baru datang sekarang?”

“Hehe ... Tadi Arin minta ditemani ke warung belakang gang appa.”

“Jangan panggil appa! Ayah saja.”

“Hmmm baiklah ... Tumben tokonya sepi. Ayah sudah makan?”

“Bagaimana bisa makan kalau kamu datangnya baru sekarang?” ayah menggeleng-geleng, mungkin saking gemasnya terhadapku. Maaf appa, Mina harus mengulur waktu istirahatmu demi gosip tidak jelas si Arin. Pokoknya ini gara-gara Arin!

“Ya-ya sudah, ayah pulang sekarang soalnya ibu sudah menyiapkan makan siang.”

Cinta pertamaku itu mengelap keringat, kembali ke meja kasir untuk merapikan beberapa buah buku akutansi penjualan.

“Mang Teja dan Mang Sakti ke mana yah? Tidak biasanya kosong.”

“Sedang mengirim barang ke konsumen langganan. Sudah ya, ayah pulang dulu. Tolong jaga toko baik-baik.”

“Siap ayah!”

Setelah ayah pergi, aku bergegas ke belakang meja kasir memeriksa beberapa nota pembayaran hari ini. Seperti biasa, cukup memuaskan. Hal itu pulalah yang membuat tekadku terbooster berkali-kali lipat untuk meminta upah kerja walau hanya cukup untuk beli tiket sehari itu saja. Soalnya setelah sah jadi pengangguran, uang pemasukan dari mana lagi? Biasanya Abang yang akan jaga, tetapi karena sudah mendapatkan pekerjaan tetap makanya jadi teralih. Kepintarannya di atas rata-rata, kuliah di sekolah kedinasan yang setelah lulus akan ditempatkan bekerja langsung oleh negara. Bisa dibilang Abang menjadi kebanggaan ibu dan ayah. Lalu putri bodohnya ini hanya tau bersenang-senang demi sebuah mimpi tak berkesudahan.

“Mbak udah lama datangnya?”

Mang Teja baru sampai, sepertinya habis memarkirkan mobil. “Mang Teja dan Mang Sakti makan siang saja dulu. Biar Mina yang jaga toko. Lagian tidak ada pembeli sekarang.”

“Baik mbak. Mohon bantuannya yah.”

“Don’t Worry!”

Mereka berdua itu karyawan ayah sejak dua tahun lalu. Mulanya hanya mang Teja, dua Minggu kemudian barulah diterima mang Sakti. Sebelum ayah memutuskan menerima karyawan, masih bisa di handle oleh ibu juga Abang. Sementara saat itu aku masih sibuk sekolah tanpa ikut membantu sama sekali. Makanya ibu sering kesal, katanya aku begitu di manja sampai tidak tahu apa-apa yang harus dikerjakan. Benar juga sih, aku gadis seperti itu. Namun jangan salah! Makanya sekarang gaya pikir ini berubah berkat ambisi menemui si suami masih menjadi booster utama, lama-lama juga bakal terbiasa kan? Jadi ini adalah langkah baik.

“Permisi!”

“Ya? Ada yang bisa saya ban ...?!”

Oh My God! Betulan tidak sih? Aku sampai meneguk saliva saking beningnya seorang mas berdiri tepat di hadapanku. Ia memakai topi hitam dengan model agak dibuat ke bawah. Aura-aura misterius dari si mas membuat aku migrain sampai bingung harus bagaimana.

‘Ini sih melebihi copy-annya Jiny!’ Teriak dalam hati. Omo! Aku harus apa? Tangan bergetar hebat tidak mampu mengimbangi aliran listrik dalam tubuh. Kalau Arin, dia pasti akan pingsan. Apa coba pingsan saja yah? Duh! Help me!

“Permisi mbak, saya sedang mencari bahan batik. Kira-kira bisa tunjukkan jenis dan corak paling bagus di toko ini?”

“H-hah? Mas ju-juga bagus!”

Alamak! Gagal total jaga image di depan mas Jin. Huweeeee! Jangan-jangan dia jadi ilfeel dan mencari toko lain yang penjaganya masih waras.

“Hmmm ... Mbak punya contohnya kan?” Eh tapi kok malah tersenyum? Simpul dan jelas. Jenis seperti dia adalah cowok cool yang bikin penasaran wanita setengah mati di planet manapun, bahkan planet Atata tiga!

‘Tenanglah jantung! Dia cuma cermin, bukan asli!’

“Mbak? Mbak?”

“Ini mas!” Sangat malu jika dia sadar telah kuperhatikan dari ujung kuku sampai ujung rambut. Akhirnya setelah memberikan katalog terbaru, aku berpura-pura memungut sesuatu di bawah kolong meja. Siapa tau ada tikus lewat untuk di ajak bicara.

“Mbak bisa tunjukkan pada saya kain yang ini?” tunjuk mas Jiny pada salah satu gambar kain batik berwarna hitam dengan corak modern baru saja masuk kemarin sore. Benar-benar pilihan terbaik.

“Mbak?”

Aduh! Pedagang macam apa diriku sebenarnya? Masa tidak sadar sedang bersembunyi, dia pelanggan loh. Apa ketampanan selalu membuat linglung? Jika benar mungkin aku dan Arin bisa jadi bodoh permanen berkat ketampanan para Oppa.

“Ah ma-maaf mas! Tadi ada tikus lewat.”

Dari sorot matanya nampak kalau ia terkejut, jelas lah! Mana ada wanita se-bar-bar ini bicara omong kosong bahkan pada tikus lewat sekalipun! Yang ada pasti jijik. Mina ... Mina, mau jaga image saja susah.

“Ahh bukan! Ma-maksud saya, pulpennya jatuh. Hehe ... Kita ke arah sini mas!”

“Iya mbak.”

Untunglah ia percaya dan mengikut saja, selagi kujelaskan satu-satu, ia mengangguk paham dan minta diberikan 1 roll bahan batik yang dipilih. Siapa sangka? Ayah pasti akan bangga padaku jika tahu bisa berhasil menjual sebegitu banyak seorang diri. Yes!

“Ini nota pembeliannya mas! Terima kasih sudah berbelanja dan mampir lagi yah!” sengaja pasang senyum lebar, semoga bakal diingat terus lalu jadi langganan tetap. Why not?

“Terima kasih kembali mbak. Oh ya, mbak putri pak Hermansyah yah?”

“Iya mas. Kok mas bisa tahu? Mas ... Dukun yah?”

ucapku malu-malu sembari menyelipkan anak rambut ke belakang telinga.

“Haha, bukan mbak. Saya sering kemari soalnya untuk belanja kain. Jadi lumayan akrab dengan beliau. Saya lihat tidak ada, hanya menebak ... Pak Herman pernah cerita punya dua orang anak, satu lelaki dan satu lagi perempuan. Tidak salah kan?”

“Hehe, tidak sih mas ...”

Katakan harus ke mana wajah penuh rasa malu ini? Padahal tadi berniat menggombal, berharap ia mengatakan, ‘Iya mbak, kok tahu?’ malah berucap terlalu jujur. Pura-pura saja kan bisa, tidak harus menjatuhkan harga diri ini sampai ke dasar-dasar.

“Baiklah mbak, salam buat pak Herman yah. Saya pergi dulu.”

“Iya mas, hati-hati di jalan!”

Plak!

Plak!

Plak!

Hari seperti apa ini? Isinya semua memalukan!

“Hoiiiiii!”

Tiba-tiba dikagetkan oleh suara. Saat Kulirik ternyata si Abang baru pulang kerja mampir ke toko. Alasan sok ingin tahu mengenai perkembangan toko bagaimana, bilang saja masih tidak rela kalau ini nanti bakal menjadi milik seorang Mina. Dia kan rese, suka cari gara-gara.

“Apaan sih? Perasaan semalam tidak minta hal aneh-aneh, tapi kenapa makhluk planet ini malah muncul?”

“Oooo kau bilang aku makhluk planet? Hah bocah ingusan?”

“Pulang sana! Mentang-mentang udah kerja mau pamer seragam? Sorry gak mempan!”

“Tapi bagus kan? Ganteng kan? Aura laki berkarisma keluar sepuluh kali lipat dari biasanya.” Matanya berkedip-kedip bagai sakit mata betulan. Betulan juga tidak apa-apa, biar tau rasa dia.

“Dek! Mau makan sesuatu yang pedas, nikmat, tahan lama habisnya dan bikin mood pengangguran hilang selamanya gak? Di jamin deh habis ini kamu bakal dapat kerja.”

“Jangan ngayal, udah pulang! Ini toko bakal jadi ladang usaha Mina kelak, jangan coba-coba rebut yah.”

“Ya sudah, kalau tidak mau. Apa sebaiknya ajak Arin aja yah? Mau tidak yah dia makan tteokbokki di seberang jalan sana? Dengar-dengar ada level pedas terbaru.”

Oh!? Kalau makanan Korea tidak bisa ditolak.

Satsetsatset!

“Yok bang! Pesan dua porsi untukku yah?” saatnya menggamit lengan si Abang untuk pamer di depan mantannya yang baru saja putus. Mentraktir makanan pedas dan nikmat! Cihh hanya akal-akalan saja. Dia malu mengatakan kalau sedang butuh gadis cantik supaya disangka kekasih baru, bucin akut. Kenyataannya, ini abangku woi!!

“Tokonya gimana?”

“Mang Teja dan Mang Sakti sudah selesai makan, tuh!”

“Elahhh ... Punya adek satu tapi sok jual mahal.”

“Biarin, wekk!”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!