Aku beranjak pergi dari dapur meninggalkan ibu yang sedang mengomel karena aku menyarankan agar membeli ikan setengah kilo saja tapi dia tetap tidak mau. Seperti biasa, lebih baik aku mengalah saja dari pada berdebat yang hanya akan membuang waktu. Lalu, Aku memasuki kamar ku untuk mengambil uang sisa nafkah dari suamiku. Ku ambil satu lembar uang warna biru. Setelah itu, aku bergegas ke luar untuk menemui penjual ikan. Kasihan dia, sudah terlalu lama menunggu uang dari kami.
"Ini mang uangnya, maaf ya mang lama,"ucap ku sambil menyodorkan selembar uang ke arah penjual ikan tersebut.
"Ngga apa apa neng, makasih ya."
"Sama sama mang."
"Nurii....Nurii....!"
Baru saja tukang ikan itu pergi, ibu berteriak memanggil namaku. Entah lah, mau apa lagi dia memanggilku. Aku masuk ke dalam tanpa menyahuti panggilannya.
"ada apa lagi Bu?" tanyaku pada ibu yang sedang berdiri di depan meja makan sambil menunduk melihat pada mangkok bubur yang ku beli ke dua kalinya.
Dia menoleh ke arahku dengan raut wajah yang tidak enak di pandang oleh mataku. Aku tau dia pasti mau memarahiku lagi setelah tau buburnya yang hanya kuah serta toping kerupuk yang sudah basah.
"apa apaan kamu beli bubur kok kayak gini? ngga ada ayam serta kacangnya. kamu sengaja kan ngga pake ayam biar harganya lebih murah?" tuduh ibu padaku dengan suara tinggi.
"daging ayam serta kacangnya sudah habis Bu, tinggal sisa bubur, kuah dan kerupuk. Kalau ibu ngga percaya ya sudah tanyakan saja sama penjual buburnya langsung." Aku membela diri karena aku tidak terima di tuduh yang tidak aku lakukan.
Amarahnya meredam. Dia tidak lagi memasang wajah sangarnya setelah aku menyuruhnya tanyakan langsung pada penjual bubur jika dia tidak percaya.
"ya sudah kalau gitu, cepat kamu masak gulai ikan itu," titah ibu padaku sambil menunjuk ke arah bak kecil.
"tapi Zain belum makan Bu. Aku mau nyuapin Zain dulu."
Kasihan anak ku sudah jam sembilan belum di beri makan. Aku sibuk ke sana kemari mengikuti kemauan ibu sementara anak ku sendiri belum makan apa apa.
"apa kamu pikir ibu mu ini udah makan hah? jangan membantah, cepat kerjakan kalau di suruh sama orang tua. Dasar anak durhaka kamu."
Selalu menyebut anak durhaka ketika aku menolak setiap keinginannya. Lidah tak bertulang ibu kerap kali mengeluarkan kata kata yang semestinya tidak harus dia katakan. Padahal, ibuku bukan orang yang buta akan pengetahuan agama Islam. Dia sering ikut pengajian hampir setiap hari di beberapa tempat pengajian. Tapi, sayangnya. sikap Ibu ku seperti orang yang tidak pernah ikut pengajian saja.
Aku tidak bicara lagi. Ku letak kan kembali kembali piring yang terisi nasi telor untuk Zain makan di atas meja. Aku mengurungkan niatku untuk menyuapi Zain.
"mama Zen lapal....!" celetuk anak ku yang sedang berada di gendonganku.
"iya nak, sebentar ya, mama masak dulu untuk nenek. setelah itu kita makan okey." Zain mengangguk. Dia tidak menangis. Lalu, ku dudukan anak ku di atas kursi.
"Zain tunggu di sini ya, mama masak dulu," ucap ku pada Zain dan dia mengangguk.
Aku mengambil bak berisi ikan di samping kompor lalu ku bersihkan ikan itu terlebih dahulu. Ada lima ekor ikan cukup besar kemudian aku memotongnya menjadi dua bagian, jadi ikan tersebut menjadi sepuluh potong. Setelah itu, aku menyisihkan empat potong untuk ku masak gulai hari ini. ku sisihkan empat potong untuk besok dan ku sisihkan dua potong untuk Zain. Aku sengaja menyisihkan dua potong untuk anak ku karena Zain jarang sekali makan ikan. lagi pula ikan ini aku yang membelinya. oleh karena itu, aku berani menyisihkan untuk anakku.
Aku mulai memasak ikan gulai dan bersyukurnya bumbu bumbu masih lengkap yang telah di beli olehku seminggu yang lalu. Karena aku sendiri termasuk orang yang mengirit bumbu jika memasak.
Tercium harum gulai menguar dari dalam wajan di atas kompor.
"Apa ikan nya sudah masak Nur?" tanya ibu tiba tiba ada di belakangku.
Aku melirik sebentar lalu aku fokus mengorek orek gulai di dalam wajan lagi.
"sudah," jawabku singkat.
Ibu melihat ke arah wajan." Berapa yang kamu masak ikan nya itu?" tanya ibu.
"cuma dua. cukup kan untuk makan ibu hari ini?"
"berarti yang di simpan ada tiga lagi ya?" tanyanya memastikan jika ikannya tidak berkurang.
Benar dugaan ku ikan nya sudah dia hitung. Seperti biasa, ibu memang selalu menghitung jumlah ikan yang dia beli. Jika jumlahnya berkurang dia akan menanyakannya padaku dan tak jarang dia sering memarahiku hanya karena ikannya berkurang.
Aku tidak menjawab pertanyaannya. Ku letak kan centong di atas wajan lalu ku matikan api kompor. Kemudian, aku berjalan ke arah Zain lalu menggendongnya dan membawanya ke luar meninggalkan ibuku yang sedang menatapku tajam karena pertanyaannya aku abaikan.
Matahari sudah tampak tinggi. Aku mulai menjemur kerupuk yang telah ku buat tadi malam. Ada beberapa penampi beras yang ku jemur berjejer rapih di atas bunga pagar.
"semoga hari ini panas biar kerupuknya kering," gumam ku sambil menatap pada beberapa penampi beras berisi kerupuk basah.
Kruk kruk kruk
Terdengar bunyi keroncongan di dalam perutku. sibuk ke sana kemari membuat aku lupa bahwa dari tadi pagi aku belum makan nasi barang sesuap pun. Ku lihat jam di atas dinding sudah menunjukan pukul sepuluh. Pantas saja perutku keroncongan dan tubuhku sedikit terasa gemetaran.
Aku melihat Zain sedang main anteng di dalam kamarku. memainkan mobilan yang sudah menjadi rongsokan yang aku temui di jalan. Aku cuci bersih dan ku berikan pada Zain sebagai mainan barunya.
Aku berjalan ke arah dapur. Ibu ku sudah tidak tampak lagi di rumah. Aku tidak tahu kemana dia pergi. Biarlah, agar sedikit tenang telinga ku ini tidak mendengar teriakannya meskipun hanya satu menit.
Aku mengambil piring lalu menyendok kan nasi serta mengambil tempe sisa semalam di atas meja makan. Aku menoleh pada wajan di atas kompor lalu mendekati dan membukanya. Harum sekali tercium di hidungku. Aku menelan saliva melihat gulai ikan di dalam wajan. Ingin sekali rasanya memakan gulai tersebut tapi aku takut pada kemarahan ibu. Ku aduk kuah gulai itu dan tampak ada tiga potong ikan lagi di sana. Lalu, aku menyendok kuah gulai itu lalu di satukan dengan nasi di atas piring yang ku bawa. Hanya kuah nya saja yang ku ambil karena aku takut ibu marah jika aku memakan ikannya.
Aku bersyukur perutku sudah terasa kenyang. Tubuhku tidak terasa gemetar serta perutku tidak keroncongan lagi. Namun, mulutku yang mengeluarkan bunyisendawa. Aku selalu bersyukur karena aku masih bisa makan meskipun makan seadanya. Di luar sana mungkin ada yang nasibnya jauh lebih buruk dariku. Oleh karena itu, aku tak henti henti nya selalu mengucapkan rasa syukur.
Aku menoleh pada seonggok plastik besar berisi kerupuk yang telah ku bungkusi kecil kecil dan sudah siap untuk di titipkan di warung warung kecil.
"Zain, antar mama antar kerupuk ke warung warung yuk nak?"
"yuk, mama...!" jawab Zain lalu tersenyum senang. Balita itu memang selalu senang jika aku ajak jalan jalan meskipun jalan kaki.
Aku berjalan sambil menuntun Zain serta menenteng plastik besar berisi kerupuk menuju setiap warung yang berjarak dekat serta berjarak jauh. Ada delapan warung yang ku titipi kerupuk buatan ku. Sesekali aku menggendong Zain ketika dia sudah lelah berjalan kaki.
"Bu iyam, saya antar kerupuk lagi," ucap ku pada salah satu pemilik warung yang ku titipi kerupuk buatan ku.
"waduh Nur, kerupuk yang kemarin aja masih ada sepuluh lagi terus udah alot ngga enak di makan. orang orang pada ngga mau belinya," ucap Bu iyam.
"Oh, gitu ya. ga apa apa Bu, yang masih tersisa saya tarik, jadi ibu bayar yang sudah habisnya aja."
"ya udah kalo gitu. jadi saya bayarnya lima belas ribu ya Nur."
"iya Bu, dan ini saya narok lagi ya Bu iyam?"
"iya Nur, gantung aja di situ."
Aku menarik kerupuk yang tidak habis kadang sudah alot lalu menggantinya dengan yang baru.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 239 Episodes
Comments
ciru
dasar ibu durhaka!
2023-06-27
0
ciru
cerewet !!
2023-06-27
0
Chrisna Cendana
bagus diracun aj mamaknya.. biar diem selama2nya.. gemesss gua
2023-06-17
1