Aku segera membawa Zain keluar rumah menghindari ibu yang sedang meluap luap mengeluarkan amarahnya. Percuma, bicara sampai mulut berbusa pun ibu tidak akan pernah mau mengalah dan selalu merasa benar dan lebih baik aku saja yang mengalah.
Di luar rumah, aku menenangkan Zain yang masih saja tidak mau berhenti menangis. Aku bingung kenapa Zain tidak mau berhenti menangis. Lalu, ku buka celananya karena aku takut ada yang terluka. Benar saja, di pinggang Zain nampak biru seperti bekas cubitan. Seketika mata ku berair melihat pinggang anak ku yang membiru. Kenapa ibuku tega sekali menyakiti anak sekecil Zain.
Aku menangis tersedu sambil menciumi wajah anak ku yang masih menangis terisak. Rasanya sakit sekali melihat anak ku di sakiti orang, terlebih lagi yang menyakitinya adalah nenek nya sendiri.
Aku masih menggendong Zain sambil menimang di depan teras. Zain sudah kembali tenang meskipun sesekali terdengar isakan kecil.
"Nuriiii.....Nurii....!"
Terdengar teriakan ibuku dari dalam. Entah mau apa lagi dia memanggilku. Aku sengaja diam saja tidak mau menyahuti panggilannya karena aku masih kesal atas perlakuannya pada anakku.
Tak lama kemudian, Dia muncul dari balik pintu depan rumah dan berdiri di ambang pintu sambil menatap tajam ke arah ku.
"kamu itu budeg apa, di panggilin dari tadi ngga nyaut nyaut," ucap ibu sambil berkaca pinggang sebelah.
Aku melirik malas. Lalu, ku alihkan pandanganku ke arah lain karena aku masih kesal padanya.
"ibu itu lagi ngomong sama kamu bukan sama patung. Ngga punya sopan santun sekali kamu sama orang tua." Dia mulai kesal lagi padaku karena aku cuekin. Aku pun tak peduli, aku masih diam saja.
"Nurii.....!" bentaknya sambil matanya melotot seperti hendak keluar semua.
Aku menghela nafas kesal lalu melirik ke arah ibu ku.
"mau apa lagi sih Bu, aku lagi nenangin anakku."
"halah, alasan aja kamu tuh. Udah tau anak mu yang salah kenapa malah kamu sendiri yang marah sama ibu."
Aku diam saja tidak lagi membalas omongan ibuku. Sebab jika aku membalasnya maka tidak akan ada habisnya karena ibuku sendiri tipe orang yang egois dan merasa benar saja.
"itu kenapa buburnya di tumpahkan? apa kamu sengaja biar ibu kelaparan? baru sekali aja beliin bubur harga sepuluh ribu udah sok, kayak beliin mas sepuluh gram aja,"ucap ibuku tiba tiba.
Hanya karena perkara bubur yang tumpah, Ibu jadi bicara merambat kemana mana. Kalau masalah beli membeli, apa dia lupa berapa ratus kali aku sering membelikan dia sesuatu baik itu makanan atau pun barang barang yang dia mau? ya, mungkin dia lupa, karena dia hanya melihatku yang sekarang, aku yang sudah tidak lagi menghasilkan uang bukan aku yang dulu, banyak uang dan sering memberikan uang serta apa saja untuk dirinya dan dua saudaraku.
"aku ngga sengaja menumpahkan nya Bu, tadi aku panik melihat ibu mukulin Zain," jawabku dengan jujur, tapi tetap saja di mata ibuku aku ini selalu salah.
"halah, alasan aja kamu tuh. Kamu kan tau ibu mu ini laper banget. Sana beliin lagi buburnya. Terus yang tumpah tadi buang aja dan beresin."
"tapi Bu, aku sedang gendong Zain. Dia baru aja berhenti nangis. Ibu kan bisa pergi sendiri."
"Halah, jangan membantah perintah orang tua. Apa kamu ngga tau dosa besar kalau ngelawan orang tua?"
Aku terdiam sudah malas menanggapi ocehannya. Lalu, aku bergegas jalan ke arah pintu belakang untuk mengambil mangkok tanpa menghiraukan tatapan ibuku. Aku tidak mau lagi berdebat dengannya karena tidak akan pernah ada habisnya. Lebih baik aku mengalah saja.
Kemudian, aku berjalan sambil menggendong Zain menuju tukang bubur Bu Minah lagi. Tiba di sana, aku memesan satu mangkok bubur lagi pada wanita berpostur tubuh gemuk itu.
"yah, nur. ayam nya sudah habis tinggal bubur, kuah sama kerupuk aja yang tersisa," ucap Bu Minah.
Aku terdiam dan bingung antara memesan bubur tanpa ayam atau tidak jadi membelinya. Namun, jika tidak jadi membeli ibu akan marah lagi padaku. Akhirnya aku putuskan untuk membeli nya saja meskipun tanpa ayam.
"yaudah Bu Minah biarin deh ngga pake ayam juga ngga apa apa."
Bu Minah mulai menuangkan bubur ke dalam mangkok yang ku bawa, di beri kuah bubur lalu di beri toping kerupuk.
"berapa Bu Minah?" tanyaku setelah aku menerima mangkok bubur itu.
"karena ngga pake ayam, kacang sama daun bawang jadi ku kasih harga lima ribu aja deh."
Aku tersenyum, setidak nya harganya berkurang lebih murah dari pada bubur ayam yang pertama. Jadi nafkah dari suamiku hanya berkurang lima ribu saja.
"ini Bu uangnya. Makasih ya?" kemudian aku beranjak pulang ke rumah.
Tiba di rumah, aku mendapati ibuku sedang memilih milih ikan di tukang pedagang keliling. Aku berdiri mematung melihat pada ibuku yang sedang memilih ikan sambil memegang mangkok bubur dan menggendong Zain.
"Enak banget ini ikan gerong. apalagi kalau di bikin gulai kuah kuning. mantap dah," ucap nya sambil menjinjing tinggi ikan yang memang terlihat besar dan pungkil.
Kemudian ibu membawa satu kantong ikan tersebut lalu berjalan masuk ke dalam rumah.
"Bu Retno, kan belum bayar ikannya," ucap tukang ikan tersebut.
Ibu menoleh ke belakang pada penjual ikan." tuh, di bayar sama si Nuri, kemarin kamu bilang mau beli ikan kan Nur? tuh, bayarin si mamang nya," ucap ibu lalu dia masuk ke dalam rumah.
Aku tersentak kaget. Aku memang berniat akan membeli ikan tapi bukan ikan mahal seperti yang di bawa oleh ibuku. Dan aku yakin ikan itu harganya tidak cukup dua atau tiga puluh ribu.
"Neng gimana? mau di bayar ngga?" tanya tukang ikan itu padaku.
"eemm, emang ikan tadi berapa harga nya mang?" tanya ku dengan ragu. Aku takut sekali harga nya di luar batas sisa uang yang kumiliki.
"ikan tadi satu kilo neng. harganya enam puluh ribu."
Aku membelalak kan mataku, terkejut sekali mendengar harga ikan yang menurutku sangat mahal itu. Aku terdiam, uang nafkah dari suamiku tinggal tersisa seratus lima puluh ribu lagi. kenapa ibu tega sekali membeli ikan dengan harga mahal lalu melimpahkan bayarannya ke aku.
"gimana neng?"
Pertanyaan tukang ikan tersebut membuatku terperangah. Aku baru sadar kalau penjual itu sedang menunggu uang dariku.
"apa ngga bisa di kurangi harganya mang? mahal sekali."Aku mencoba menawarnya dengan harapan penjual tersebut mengurangi harga.
"gimana ya neng, dari sana nya juga udah mahal. tapi ya udah lah di pas kan aja jadi lima puluh ribu."
"apa ngga bisa turun lagi mang?" aku coba menawarnya kembali.
"waduh, ngga bisa neng, udah mentok segitu. itu juga mamang cuma untungnya lima ribu."
"oh, gitu ya mang. Ya udah tunggu sebentar ya mang, saya kedalam dulu."
Kemudian, aku masuk ke dalam lalu berjalan menuju dapur. Ku lihat ibu sedang menghitung ikan yang sudah dia letak kan di dalam bak kecil. Aku meletak kan bubur di meja makan.
"nih Bu, buburnya," ucapku. Ibu melirik ke arahku sebentar lalu melihat pada ikan itu lagi. Entah sedang apa yang dia lakukan.
"Bu, apa ngga sebaiknya belinya setengah kilo aja Bu?itu ikan nya mahal banget. lagi pula yang makan kan cuma ibu aja."Aku memberanikan diri bicara padanya.
Ibu menoleh lalu melotot kepadaku."ya ampun Nur, kamu kok pelit banget sama ibu kamu sendiri. Kamu itu ngga pernah membelikan ikan lho. Jangan kan ikan mahal, ikan murah aja kamu ngga pernah beli Nur. Sekali kali nyenengin ibu kamu kenapa nur. lagi pula kamu itu kan di kirimi duit sama suami kamu."Ibu bicara dengan suara tinggi seolah olah bicara dengan orang berjarak seribu meter. Padahal jarak kami hanya lima meter.
Lagi lagi ibu bilang aku tidak pernah membelikan. Padahal tidak pernah dengan jarang itu memiliki arti yang berbeda. Aku jarang membelikan bukan berarti tidak pernah membelikan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 239 Episodes
Comments
Oya-chan
orang tua yang gak punya otak
2023-09-12
1
Sarie
hihhhhhh
2023-08-14
1
ciru
cakeep.
Ada yah ibu kayak gitu??😠
2023-06-27
0