Aku segera beranjak pergi ke warung yang letaknya cukup jauh sambil menggendong Zain. kemana pun aku pergi selalu membawa Zain karena ibuku sendiri tidak pernah mau di titipi anak ku meskipun hanya sebentar. Entah mengapa, ibu ku seperti tidak sayang pada cucunya sama hal nya padaku sebagai anak kandungnya.
Tiba di warung, aku segera memesan tujuh kilo tepung terigu dan tiga kilo tepung kanji serta beberapa bumbu. Total belanjaan ku habis seratus sepuluh ribu. Sekarang sisa uang nafkah dari suamiku tinggal tersisa seratus sembilan puluh ribu lagi. Dalam tempo satu hari aku sudah menghabiskan uang tiga ratus sepuluh ribu. Lagi lagi aku tersenyum kecut. masih harus menunggu tiga puluh hari lagi untuk mendapatkan nafkah dari suamiku.
Aku kembali pulang sambil membawa beban berat di tangan kiri dan kananku. Sebelah kiri tanganku menggendong Zain dan sebelah tangan kananku menenteng plastik yang berukuran besar dan cukup berat. Aku tidak menurunkan Zain karena jalanan menanjak. Aku tidak mau anakku merasa kelelahan karena jalan menanjak.
Tiba di teras rumah, aku langsung menurunkan kedua beban di tanganku itu. Lalu, aku duduk menghilangkan rasa lelah dan pegal di kedua tanganku.
"nurii....!" teriak ibu di dalam rumah. Dia sudah tau kalau aku sudah kembali karena mendengar Zain berceloteh.
"iya Bu....!" sahutku dengan suara sedikit di tinggikan karena aku takut dia tidak mendengar sahutan ku lalu marah karena merasa panggilannya di abaikan olehku.
Ibu membuka pintu lalu berdiri di ambang pintu dan melihat ke arahku. Aku masih duduk di lantai teras lalu menoleh padanya.
"ada apa Bu?"
"ada apa ada apa, apa kamu ngga tau sekarang udah jam berapa?"tanya ibu dengan suara cemprengnya.
"iya Bu, aku baru aja pulang dari warung."
"iya ibu tau, tapi kenapa kamu masih duduk di situ? bukannya cepat masuk dan masak."
"iya Bu, aku mau masak sekarang."
kemudian, aku menoleh pada Zain yang sedang bermain kelereng. Entah dapat dari mana dia benda tersebut tiba tiba sudah ada di tangan mungilnya.
"Zain, mainnya di dapur yuk, mama mau masak," ajak ku pada Zain dan balita itu mengangguk.
Aku bangun lalu meraih kantong kresek besar serta meraih tangan Zain lalu membawa masuk ke dalam rumah.
Tiba di dapur. Aku meletakan kantong kresek berisi tepung tersebut lalu membuka kulkas. Aku mulai mengeluarkan tempe serta kangkung yang ku beli tadi pagi di tukang penjual sayur keliling. Kangkung mulai ku rajang kecil serta tempe ku iris tebal. Aku masak tumis kangkung dan goreng tempe untuk makan malam ini. Setelah selesai masak aku sajikan di meja makan yang terbuat dari papan.
Aku menoleh pada Zain yang sedang asik memainkan benda bulat kecil itu. Mainan baru bagi Zain. Aku menatap sedih pada anakku yang sama sekali tidak memiliki mainan apa pun karena aku tidak pernah membelikannya termasuk suamiku. jangankan untuk membelikannya mainan, untuk memberi makanan bergizi saja aku sangat jarang karena keterbatasan uang yang ku miliki.
Aku memang membuat kerupuk dan menjualnya di setiap warung. Tapi, bukan berarti hasil dari penjualan kerupuk itu untukku melainkan semua keuntungan serta modalnya ibuku yang memegangnya karena asal muasal pembuatan kerupuk itu adalah dirinya dan aku hanya membantunya saja. Aku pun tak pernah meminta hasil dari penjualan kerupuk tersebut karena kata ibuku hasil penjualan kerupuk untuk kebutuhan kami sehari hari. Meskipun sebenarnya tidak semua kebutuhan sehari hari di beli olehnya.
"nak, mandi dulu yuk, udah sore," ajak ku pada Zain. Kemudian aku menggendongnya lalu membawanya ke kamar mandi untuk di mandikan.
Setelah Zain rapih, aku menyuapinya makan nasi dengan telur. Jarang sekali aku bisa membeli telur untuk Zain, lagi lagi karena keterbatasan uang yang aku miliki. Tapi, karena hari ini aku masih memegang uang nafkah dari suamiku jadi aku bisa beli telur.
Ketika aku sedang menyuapi Zain di lantai dapur, ibu ku datang dan langsung membuka tudung saji. Aku melirik pada ibu yang sedang berdiri membuka tudung saji dan terlihat dia mencebik kan bibirnya.
"yah, cuma tempe sama kangkung. kamu kan habis dapat transferan dari suamimu. Beli ikan kek sekali kali. masa ibu terus yang beli ikan," keluh ibu padaku lalu memajukan bibirnya lima senti.
Ibu memang selalu ingin makan enak. Hampir tiap hari dia beli ikan. Tapi, meskipun dia beli ikan aku hanya memasakkan nya saja untuknya dan tidak pernah ikut menikmatinya begitu pula dengan anak ku. Karena kalau aku ikut memakannya dan jumlahnya berkurang ibu akan protes.
"Cepat banget sih habisnya, perasaan ibu baru makan dua biji."
Sindiran seperti itu kerap kali aku dengar dari mulut ibuku ketika aku memakan ikan dapat dia beli. Oleh karena itu, aku tidak pernah lagi ikut memakannya, biar saja ibuku yang memakannya sendiri. sementara aku memilih makan dengan garam dan cabai dan anak ku makan dengan kecap jika aku sama sekali tidak memiliki uang.
" iya Bu, besok ya aku beli ikan, sekarang ibu makan apa yang ada dulu."
Aku selalu mengiyakan apapun yang ibu mau selagi aku punya uang. Tapi ketika aku tidak punya uang aku diam saja dan itu terkadang membuat dia jengkel dan marah padaku. Dia bilang aku pelit lah atau apa lah padahal sebenarnya aku tidak memiliki uang. Aku pun tidak mungkin bilang kalau nafkah dari suami ku tidak pernah mencukupi. Boro boro untuk berbagi pada orang tua untuk diriku sendiri saja tidak cukup. Tapi, seperti yang aku katakan sebelumnya bahwa aku menjaga harkat dan martabat suamiku karena aku tidak ingin suamiku terlihat jelek dimata keluargaku atau orang lain.
"ngga mau ah, ngga berselera. coba kamu belikan mie sama telor aja. ibu lagi pengen makan mie dog." Ibu menyuruhku untuk membelikannya mie serta telor tanpa memberi uang padaku. Itu artinya dia menyuruhku membelikannya menggunakan uangku. Aku pun menyanggupinya dan bergegas pergi ke warung terdekat sambil menggendong Al. Aku membeli satu butir telor dan mie instan total lima ribu. Jatah nafkah dari suamiku berkurang lagi lima ribu, jadi, uang yang ku miliki sisa seratus delapan puluh ribu lagi karena sebelumnya aku membeli dua telor untuk Zain.
Setelah itu, ku dudukan Zain di atas kursi." tunggu mama sebentar ya nak, mama mau masak mie buat nenek dulu," Zain mengangguk. Lalu, aku mulai memasak mie telor seperti yang ibuku pinta.
"jangan terlalu mateng ya Nur, ibu ngga suka mie yang lembek, terus telornya harus mateng," ucap ibu tiba tiba, dia berdiri di ambang pintu dapur. Aku mengangguk tanpa bicara.
"Nanti kalau udah mateng kamu bawain ke depan tivi ya Nur, ibu mau makan di situ," ucap ibu lagi. Aku pun mengangguk lagi tanpa bicara.
Hening, sepertinya ibu sudah beranjak pergi dari ambang pintu. Lalu, aku menoleh ke belakang, benar saja ibu sudah pergi.
Mie telor sudah siap ku masak. Lalu, aku membawanya ke ruang tv dimana ibuku sedang menunggu mie buatan ku sambil menonton tv.
"ini Bu mie nya." ucapku. kemudian ku letak kan mangkok mie tersebut di atas tikar tepat di hadapannya. Ibu tidak bicara apa pun, dia hanya menunduk sekilas melihat mangkok yang ku letakkan lalu fokus kembali pada layar tv yang menampilkan film Indosiar. Tv slim berukuran 21in yang aku beli lima tahun lalu menjadi hiburan tersendiri untuknya selama ini.
Setelah itu aku beranjak ke dapur untuk mengambil anakku yang ku dudukan di atas kursi. Kemudian, Aku ikut menonton tv bersama zain. Tapi, aku duduk di pojokan karena aku takut Zain akan menggangu neneknya. Aku melihat ibuku yang sedang menikmati mie telor itu dengan nikmat membuat ku menelan saliva ku sendiri. Kapan terakhir aku makan mie telor aku pun sudah lupa. tapi sepertinya dua tahun yang lalu sebelum aku melahirkan Zain.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 239 Episodes
Comments
Yuliana Purnomo
MasyaAllaah ngenes banget nasib mu Nuri,,tega ya hidup serumah dgn ibu kandung,, tapi perlakuan nya bgt pada nak dan cucunya
2024-10-05
0
realmaya
meskipun tidak sama dan sangat jauh berbeda... tapi, pernah merasakan berada di situasi ironi seperti ini.
2024-01-23
2
玫瑰
Sebak sungguh cerita nya
2023-07-03
3