Nafkah Lima Ratus Ribu
Drrt... drrt...drrt...
Ponsel jadul yang ku simpan didalam saku daster terasa bergetar. Kemudian, aku menghentikan sejenak aktifitas ku, mematikan kompor lalu meletakkan serokan di atas wajan yang berukuran besar. Wajan khusus kerupuk yang akan ku bungkus setelah digoreng nanti.
Dengan rasa tidak sabar, ku rogoh saku daster. Dan ku tatap lekat-lekat layar ponsel yang sudah terdapat banyak goresan. Ponsel yang aku beli dengan uangku sendiri dua tahun yang lalu. Pada saat aku belum menikah dan masih bekerja. Sebenarnya, ponselku terbilang ponsel yang bagus pada masanya, karena waktu itu aku membelinya dengan harga tiga juta.
Ternyata, getaran itu sebuah tanda notifikasi SMS dari m banking yang menginformasikan jika uang telah masuk ke rekeningku dengan nominal lima ratus ribu. Aku ingat kalau hari ini adalah tanggal gajian suamiku.
Ku tatap kembali ponsel yang masih ku pegang. Berharap angka nol yang berjejer rapih itu bertambah menjadi enam. Namun kenyataannya, angka nol nya tidak berubah masih saja sama yaitu lima.
Tak selang lama, sebuah pesan masuk dari suamiku yang sedang bekerja di Jakarta dan aku segera membacanya.
"Aku sudah transfer uang untuk kebutuhan bulan ini. Jangan boros boros karena nyari uang itu sulit."
Aku tersenyum kecut menatap pesan yang ada di layar ponselku. Jangan boros boros, kalimat itu selalu dia katakan ketika mengirim jatah bulanan yang berjumlah tidak pernah lebih dari lima ratus ribu sebagai nafkahnya padaku selama tiga tahun usia pernikahan kami.
"mama, Zen mau minyum cucu."
Pada saat yang sama, Anak ku Zain merengek minta dibuatkan susu sambil manarik-narik dasterku. Zain memang tidak minum ASI melainkan minum susu formula. Dulu ketika baru lahir, aku sempat memberinya ASI sampai berumur satu bulan. Namun ketika aku sakit dan dirawat di rumah sakit, suamiku, mas Surya melarang aku memberinya ASI dengan alasan takut tertular oleh penyakitku. Padahal penyakit ku tidak ada hubungannya dengan ASI dan dokter pun membolehkannya. Akan tetapi, suamiku kekeh ingin diberikan susu formula saja.
"Sebentar ya nak, mama buatkan dulu susu untuk Zain," ucap ku sambil mengelus pucuk kepalanya.
Kemudian, aku mengambil sebuah kotak tempat penyimpanan susu Zain dan membuka tutupnya. Tepat setelah terbuka, mataku berubah membesar dan dadaku berasa sesak. Ternyata, kotak itu sudah tidak ada isinya sesendok pun. Merasa bersalah pada Zain tentu saja. Terlalu sibuk membantu usaha ibu, jadi lupa pada kebutuhan pokok anak ku sendiri.
Aku berjongkok mensejajarkan tinggi ku dengan Zain. Melihat senyum senang Zain yang mengira akan menerima susu dariku, rasanya hati ini nyeri sekali.
"Maafin mama ya nak, ternyata susunya sudah habis.Tapi, papa sudah kirim uang buat beli susu lagi. Kita ke mini market dulu yuk, Zain mau ikut?"
Sehalus mungkin aku mengatakannya pada Zain. Dan diluar dugaanku, ternyata Zain tidak menangis melainkan dia tersenyum dan mengangguk setuju.
Setelah itu, aku meraih switer yang tergantung di atas paku sebagai penutup atasan daster lalu memakai jilbab rumahan. Setelah merasa rapih, kami beranjak pergi ke mini market dengan berjalan kaki, karena aku tidak memiliki kendaraan. Di sepanjang jalan dan sambil berjalan kaki, Zain terus berceloteh apa saja. Hal itu cukup membuatku terhibur. Tapi, aku tidak membiarkan Zain terus berjalan kaki. Sesekali ku gendong dia lalu ku turunkan kembali agar dia tidak kelelahan.
Tiba di mini market, aku menarik semua uang kiriman suamiku yang berjumlah lima ratus ribu. Kebetulan di mini market menyediakan mesin ATM, jadi aku tidak perlu repot mengambilnya ke bank. Setelah selesai menarik uang, ku lanjutkan berbelanja di tempat yang sama. Membeli dua box susu formula paling murah yang berukuran satu kilo dan sabun serta minyak telon. Semua di total habis dua ratus ribu dan sisa uang tinggal tiga ratus ribu lagi. Sisa uang belanja kebutuhan anak ku itulah aku harus pandai pandai mengaturnya selama satu bulan.
Setelah selesai transaksi, aku kembali pulang dengan cara yang sama, yaitu berjalan kaki. Sebenarnya banyak tukang ojek. Tapi bagi ku, dari pada naik ojek yang harus bayar sepuluh ribu, lebih baik uang nya digunakan untuk hal yang lebih penting lagi.
Di tengah jalan, tiba tiba hujan turun cukup lebat. Sambil menggendong Zain, aku berlari ke sana kemari mencari tempat untuk berteduh. Dan akhirnya, aku berteduh di bawah saung bambu yang terletak di pinggir jalan. Di tengah penantian hujan reda, tiba- tiba teringat pada jemuran kerupuk.
"Ya allah bagaimana ini! kerupuknya pasti basah dan rusak," gumam ku lirih.
Aku sangat gelisah memikirkan jemuran kerupuk yang sudah pasti hancur karena baru tadi malam membuatnya. Berharap hari ini cuaca panas lalu kerupuk terjemur dan kering. Selain gelisah memikirkan kerupuk, aku juga gelisah memikirkan ibu. Kemarahan ibu sudah terbayang di otak ku.
Setelah hujan reda, aku kembali melanjutkan langkahku. Kali ini, Zain tidak dibiarkan berjalan kaki melainkan di gendong hingga sampai rumah.
Dan tiba di rumah, aku mendapati ibu sedang meraung menangis dihadapan beberapa penampi jemuran kerupuk. Aku pasrah jika ibu mau memarahiku. Karena seperti biasa, ibu akan memarahiku habis habisan ketika aku melakukan kesalahan meskipun hanya melakukan kesalahan kecil. Apalagi sekarang, kesalahan yang menurut ku besar.
Aku segera menurunkan Zain dari gendongan dan meletakkan belanjaan terlebih dahulu. Lalu berjalan mendekati ibu yang belum mengetahui kedatanganku. Ku tatap punggungnya yang bergetar. Tangannya menggebrak-gebrak penampi kerupuk yang basah. Kerupuk yang mestinya nanti akan dijual di setiap warung dan dari keuntungan hasil penjualan kerupuk itu lah untuk makan kami sehari hari.
"ibuu," ucap ku memberanikan diri. Tangis ibu tiba tiba berhenti. Lalu menoleh ke arahku. Detik itu pula matanya melotot. Nampak sekali jika ibu benar-benar sedang marah. Di pelototi ibu, aku hanya menunduk dan pasrah. Melihatku, ibu bangkit disertai nafas naik turun menahan amarahnya.
"Kenapa kamu biarkan kerupuknya kehujanan nuriiii, dari mana saja kamu?" Tanya ibu dengan amat lantang. Suara cemprengnya cukup memekakkan gendang telingaku. Tapi karena hal itu sudah biasa, jadi aku biasa saja menghadapi ibu suara lantang dan cemprengnya.
"Lihat itu ! kerupuknya hancur. Kalau sudah begini bagaimana? boro boro untung modalnya saja tidak balik. Terus gimana mau membuat kerupuk lagi kalau modal nya saja tidak ada nuriiii,"
"Maaf Bu, tadi aku beli susu Zain di mini market, susunya sudah habis dan aku tidak tau kalau siang ini mau hujan."
Ibu tidak langsung membalas alasanku, melainkan mengelap mukanya yang penuh dengan air mata menggunakan bajunya. Selain mengelap airmata nya, dia juga membuang ingus dengan bajunya. Ibuku memang orang yang cukup jorok. Aku pikir setelah mendengar alasanku dia luluh. Tapi ternyata tidak. Ibu kembali menatap nyalang ke arahku.
"Oh, jadi kamu sudah dapat transferan dari suami mu? bagus kalau gitu, kamu bisa belikan lagi bahan-bahan kerupuk pake duit itu. Anggap saja sebagai pengganti karena kamu sudah membuat kerupuk ku hancur dan tidak layak makan."
Mendengar ucapan ibu yang dengan entengnya, rasanya, saliva ku tercekat di tenggorokan. Ibu sendiri tidak pernah tau berapa nafkah yang selalu di berikan oleh suamiku. Aku sendiri tidak pernah mengeluh atau pun cerita. Baik pada ibu, pada kakak, maupun pada orang lain tentang nafkah yang ku terima dari suamiku. Karena aku sebagai istri hanya ingin menjaga harkat dan martabat suamiku di depan keluargaku maupun orang lain.
Akhirnya mau tidak mau, aku harus merelakan sisa uang nafkah dari suamiku untuk membeli bahan-bahan kerupuk seperti yang ibu mau. Aku pikir, biarlah yang penting ibuku tidak marah lagi padaku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 239 Episodes
Comments
玫瑰
kasihan
2023-07-03
3
Fatimah Azzahrak⃟K⃠
Kayanya seru ni si hayati🥰🥰
2023-06-30
2
ciru
baru baca bab pertama aja dah hampir gak kuat 😭😭😭 smoga penderitaan nuri tidak terlalu lama
2023-06-24
1