"Kenapa kau langsung pulang saja Pak. Harusnya kau minta seserahan pernikahan nya! Bodohnya kamu. Dari dulu kau tak pernah bertambah pintar malah kebalikannya semakin tua dan lemot!" Anik tersungut-sungut kesal karena suaminya.
Suhadi langsung undur diri setelah resepsi pernikahan mengajak keluarga kecil nya pulang ke rumah. Padahal orang lain masih bersantai duduk bercengkrama bersama si tuan rumah. Mereka asyik mengobrol dengan kopi hitam dan jajanan pasar khas desa, yang jelas khusus orang berada saja yang mampu membelinya.
Sebenarnya Anik mampu, sayangnya dia sangat boros membelanjakan uang. Belum lagi uang kiriman Ayah Larasati. Wanita itu berbohong, fakta itu dia sembunyikan dari suaminya.
Ia terlalu memanjakan anak-anaknya agar terlihat lebih cantik dan tampan tak kalah dengan yang lainnya. Tanpa disadarinya sang anak berperilaku yang sama dengan nya. Tidak bersikap jujur dan boros.
"Larasati bangun. Ini sudah malam, waktu nya makan malam." Suara Bagaskara membangunkan gadis itu. Namun lelaki itu langsung terkejut manakala Larasati langsung bangkit.
"Iya Budhe segera Laras akan masak. Tapi sayuran nya tinggal sedikit, juga ayamnya hanya empat potong. Sumpah Budhe. Aku enggak pernah memakannya. "
"Saya masak sesuai porsinya. Jangan hukum aku Budhe." Gumam Larasati, dia duduk dengan mata terpejam lalu turun dari ranjangnya.
Bagaskara tertegun dan menganga lebar mendengar pengakuannya. "Seperti nya gadis ini diperlakukan seperti pembantu." Batinnya.
Larasati berjalan menuju ke pintu karena ia berjalan dengan mata setengah tertutup ia tak melihat jika pintunya tertutup maka jidatnya terbentur cukup keras. "Iskh. Dasar bocah." Umpat nya. kesal.
"Hati-hatilah apa kau masih mengantuk?" Tanya nya menahan kesal. Larasati tersadar akan tingkah laku nya saat di rumah. Ia selalu ditekan oleh Budhenya makanya sudah menjadi kebiasaannya.
Larasati meringis kala mata tak sengaja menatap mata Bagikan yang memelototi nya. "Maafkan aku, Aku.." Cicitnya lirih.
Bagaskara menatapnya dengan menyela kalimat nya. " Aku hanya mau mengajak mu makan malam, sudah di tunggu Ayah. Ayo cuci mukamu lalu ke ruang makan."
Larasati hanya mengangguk sambil berjalan menuju ke kamar mandi. Bagaskara langsung menuju ke ruang makan. Juragan Darto duduk di sana menikmati hidangan.
"Aku lapar, baru ingat tadi siang belum makan." Kata Darto saat Bagaskara mendekat dan duduk di hadapannya.
"Dia tadi tertidur jadi aku menyuruh nya cuci mukanya." Jawab Bagaskara, sembari menunggu ia mencomot gorengan di depannya.
" Kenapa lama dia ? Jika hanya cuci muka mengapa lama?' Tanya Darto pada anaknya yang dijawab dengan menggedikkan bahunya.
Karena malas menunggu Bagaskara mengambil nasi beserta lauknya. Pada suapan ke lima Larasati muncul dan duduk di kursi yang ada piring nya.
"Maaf lama Juragan Darto, Mas. Saya shalat fardhu dahulu." Aku Larasati dengan suara lembutnya.
"Anak pintar bagus kau sudah mengerti tugas mu." Ucap Darto.
"Mulai sekarang panggil aku Ayah. Kau sudah menjadi menantu ku. Jadi jangan panggil Juragan. " Kata Darto. Larasati mengangguk mengiyakan.
Mereka makan bersama layaknya sebuah keluarga kecil bertukar cerita. "Apa kau mau kuliah Larasati?" Tanya Darto tiba-tiba.
"Sangat sayang jika kau berhenti di sini. Kalau kau mau aku akan membiayai sekolah mu. Dan uang jajan minta lah pada Suamimu!" Kata Darto santai.
"Apa ayah meremehkan kemampuan ku. Kau nanti kuliah di kampus yang ternama. Asisten ku akan mencari informasi tentang nya. Bidang apa yang kau minati?" Tanya Bagaskara.
"Arsitektur. Aku suka menggambar desainnya. " Ucap Larasati dengan semangat. "Bagus. Kita lihat aja hasilnya." Sahut Bagaskara.
"Bukannya Ayah promosi, dia ini dari kecil mendapatkan beasiswa juga santunan karena anak Piatu, hanya nasibnya saja yang buruk tak sesuai dengan kecantikan nya." Jelas Darto.
"Ayah, sudah. Yang lalu biarkan berlalu." Larasati mencoba untuk menengahi. Dia malu pada Bagaskara atau mungkin yang lainnya jika tahu bahwa ia dijadikan alat pembayaran hutang oleh keluarganya.
"Aku sudah tahu ceritanya tentangmu. Tak perlu malu, semua nya ada progres nya. Kelak kau akan mengerti apa yang kau lakukan akan membuahkan hasil apa." Sambung Bagaskara.
"Bagus. Jika kau melihat sisi positifnya, aku mengiyakan karena dia bibit unggul." celetuk Darto. Bagaskara meliriknya sekilas.
"Besuk kau datang kembali ke rumah, ambil semua barang-barang berharga milikmu, Bagaskara akan menemani mu. Dan bawa hantaran layaknya menantu berkunjung ke rumah mertua."
"Ayah sudah siapkan semuanya, kau tinggal membawa nya dan bersikap lah seolah tak mengerti apapun." Nasehat Darto mengingat kan kembali, Bagaskara mengangguk mengiyakan.
Keesokannya keduanya berkunjung pada saat hari menjelang sore. Dan mereka pun menyerahkan hantaran kepada Anik.
Bukan riang bahagia nya dia mendapatkan barang-barang berupa buah, kue, yang semua merk dari kota. Ada juga pakaian untuk Anik sekeluarga. Namun tanpa perhiasan.
"Di mas kawin mu, uang juga perhiasannya? Biar aku yang menyimpan semuanya buat kamu." Cecar Anik di pantry manakala mereka membuat teh.
Anik sengaja mengajak keponakan nya untuk berbicara mengenai mahar dengan leluasa.
Agar Bagaskara tidak mengetahui kemauannya, yang ada ia ingin membuat citra Larasati turun di mata keluarga juragan Darto.
"Budhe aku tak menyimpan itu. Mas Bagaskara yang menaruh semuanya. Maaf. Saya hanya mau mengambil barang-barang ku saja." Jawab Larasati dengan takut.
"Alah bilang kalau kamu mau menguasai nya sendiri. Ingatlah kau seperti ini karena siapa!" Hardik Anik. Tanpa di ketahui oleh keduanya Bagaskara berdiri di samping mereka yang tertutup almari.
Rumah mereka tidak bisa dikatakan sebagai orang tak mampu. Karena bangunan yang terbuat dari tembok bata, kuat. Semuanya sudah keramik tak seperti tetangganya yang masi semi permanen bangunan nya.
Bagaskara berdehem menatap keduanya, "Tadi saya menumpang ke belakang. Eh, sayup-sayup mendengar suara kiranya suara Budhe Anik sama Karina. Dik, bukankah kau tadi hendak membereskan pakaian juga barang mu?"
Bagaskara mencoba membawanya pergi dari wanita serakah itu. " Baik lah Budhe Anik saya pamit ke kamar." Pamit Larasati.
Ditemani oleh Bagaskara di belakangnya hanya terdiam saja melihat sang istri yang melipat dan memasukkan pakaian juga buku-bukunya.
"Ini lebih mirip kandang ayam, mana kasurnya keras. Kamar pembantu Ayah saja lebih lebar dari ini. keterlaluan sekali! Batin Bagaskara kesal.
Lelaki itu mengambil alih tas dan berlalu begitu saja. Kardus kecil juga tas jinjing sangat ringan di tangan Bagaskara
"Kami pamit dahulu Budhe maaf tidak menginap. Kebetulan saya ada janji dengan teman di desa sebelah. Saya juga mau memperkenalkan Larasati juga. Maaf." Kata Bagaskara sesopan mungkin..
"Apa makan dulu saja baru pulang." Tawar Budhe Anik basa basi.
"Terimakasih atas semuanya Budhe Anik. Kami pamit pulang saja, sekali lagi maaf sudah merepotkan semua nya." Lelaki itu menggandeng Larasati mengajak nya cepat berlalu dari tempat itu.
"Dasar sombong baru gitu aja sudah lupa dengan asalnya." Maki Anik kesal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments