Di rumah sakit wajah khawatir Pram mendadak penuh amarah kembali. Dua minggu lamanya ia berusaha menenangkan diri dan memulai semuanya dengan baik lagi.
Sayang, kini kata-kata dari dokter membuat pria itu sangat marah.
“Katakan sekarang? Kamu sejak kapan memulai hubungan itu? Katakan Bulan!” Suara Pram berteriak mencengkram erat kedua bahu istrinya.
Bulan di depannya sudah menangis terisak. Sakit rasanya mendengar suami sendiri tak percaya padanya.
“Mas, aku mengenal pria di luar sana pun tidak ada satu pun. Bagaimana aku berselingkuh? Aku bersumpah demi tuhan tidak tahu siapa pria itu. Aku mohon Mas, percaya denganku. Aku hamil anak kita. Sudah lama kita menunggu kehamilan ini kan Mas?” Pertanyaan Bulan membuat pikiran Pram sama sekali tidak terbuka.
Pria itu mengangkat tangan memberi isyarat untuk sang istri berhenti bicara.
“Sudahlah, berhenti menjelaskan apa pun lagi. Aku minta jangan kembali ke rumah. Pergi sejauh mungkin!” Tanpa mau memberi waktu Bulan, Pram sudah keluar dari ruangan itu.
Punggung tegap Pram tak lepas dari tatapan nanar Bulan. Ia menggelengkan kepala tak lagi mau memperjuangkan pernikahan yang menyakitinya.
“Aku tidak melakukan apa pun, Mas. Bahkan kamu memandang rendah aku tanpa mendengar penjelasan atau mencari tahu kebenarannya. Aku punya batas kesabaran, Mas. Aku percaya bukan aku yang rugi pisah darimu. Tapi kamu yang akan menyesal.” Mantap sudah keputusan Bulan berpisah.
Pernikahan sungguh bukanlah hal yang main-main untuknya. Tetapi melihat bagaimana suaminya sendiri meragukan kesetiaannya. Bahkan selama ini ia bersabar setiap kali menghadapi sikap keluarga sang suami.
Sementara di kediaman Oma dan Opa. Tampak seluruh keluarga tengah berkumpul.
Hentakan sepatu pantofel yang menggema terdengar memasuki ruangan tengah itu dengan tatapan penuh kesedihan dan kekecewaan.
“Pram,” Usi secepat kilat menghampiri sang anak yang mendekat.
Yah semuanya tengah berkumpul di ruangan itu atas perintah Pram sedari di jalan tadi. Usai menyelesaikan administrasi sang istri, ia bergegas menuju kediaman kakeknya.
“Bu, jangan katakan apa pun.” ucap Pram tanpa mau di bantah.
Usi bungkam dan mengikuti langkah sang anak yang duduk di sofa.
Pram menyalim oma dan opanya. Lantas mereka semua menatap pada Pram.
Keadaan hening beberapa saat. Tarikan napas di susul kemudian helaan napas kasar, akhirnya Pram mengeluarkan kata.
“Aku akan segera mengurus perceraian dengan Bulan.” Bagai sebuah putusan kemenangan.
Semua tampak mencerahkan wajah mereka setelah penantian sekian lama. Namun tidak dengan satu orang.
“Pram, apa sudah benar keputusan itu? Perceraian bukanlah sesuatu yang di benarkan. Bulan wanita yang begitu mencintaimu.” Riyo suami dari Tante Siti terdiam tak lagi melanjutkan kata-kata saat melihat tatapan Oma dan Tante Siti sangat tajam.
Bibirnya bungkam seketika.
“Tidak, Paman. Keputusanku sudah matang. Bahkan saat ini dia hamil. Entah itu anak siapa? Meski pun anakku, aku tidak yakin sepenuhnya. Sungguh aku tak menyangka.” Pram menggelengkan kepala pusing.
Semua menghela napas lega rasanya. Bahkan Tante Siti pun tampak tersenyum.
“Pram, apa kata Tante selama ini? Kamu selalu melawan naluri Tante. Dia itu hanya polos dari luar saja. Sudahlah, sekarang kamu fokus dengan perusahaan soal jodoh biar kami yang mengurusnya.” Ujar Tante Siti.
Pram pun menganggukkan kepala.
“Pram, apa pun yang terjadi. Opa harap tak akan mempengaruhi fokus pekerjaan kamu. Semua nasib keluarga ada di tangan kamu.” Hanya anggukan kepala yang mampu Pram berikan saat ini.
Pikirannya masih tak bisa fokus untuk mendengarkan apa pun yang mereka bicarakan. Sementara Hawa berbinar wajahnya.
“Sudahlah, kau akan baik-baik saja Pram. Tunjukkan kau pria kuat tidak lemah hanya karena wanita sepertinya. Aku pun yakin itu anak pasti hasil perselingkuhannya. Bisa saja ia hamil hanya untuk mendapatkan warisan dari mu dan bermain dengan pria di luar sana.” Makin panas rasanya perasaan Pram.
Tak tahan mendengar semua kata-kata dari keluarga, Pram memilih untuk menuju kamarnya di kediaman sang Opa. Rumah yang besar tentu lengkap semua kamar anggota keluarga.
Di sini ia merebahkan tubuh dan menatap hampa langit kamar yang bercat putih bersih. Bayangan bagaimana ia bahagia setiap hari menghabiskan waktu ketika pulang bekerja dengan sang istri kini hancur semua.
Tak meneteskan air mata, nyatanya Pram hanya menampakkan mata yang merah.
Marah dengan keributan tentu bukan sifat Pramudya. Ia hanya melampiaskan dengan menenangkan diri.
Tanpa terasa menyendiri di dalam kamar, kini di luar langit sudah mulai gelap.
Pram yang terlelap dalam keadaan sakit hatinya terpaksa harus terbangun saat mendengar suara ketukan pintu.
Tok tok tok
“Pram, Ibu masuk yah?” Pertanyaan dari suara Usi membuat Pram hanya membuka mata tanpa berniat bangun.
Detik berikutnya handle pintu tampak terbuka. Seorang wanita paruh baya dengan nampan di tangannya tersenyum dan melangkah masuk.
Pram pun sigap duduk menyandarkan tubuh pada sandaran kasur. “Ibu bawakan makan malam, sebaiknya mandilah dulu. Kau pasti sangat lelah, Nak.” Untuk pertama kalinya Pram mendapatkan perlakuan hangat sang ibu lagi setelah ia menikah dengan Bulan.
Tanpa bisa menahan diri, Pram memeluk sang ibu yang duduk di sisi tempat tidurnya. Pria itu tak kuasa untuk tetap baik-baik saja. Ia menenggelamkan kepalanya pada pundak sang ibu.
“Bu, Pram tidak ingin ini semua terjadi. Bulan wanita pilihanku, Bu. Aku mencintainya.” Suara serak dan bergetar membuat Usi membalas pelukan sang anak tak kalah eratnya. Ia mengusap punggung tegas suaminya dan mencium kepala Pramudya.
“Ibu selama ini tidak merestui kalian, bukan berarti ibu tidak suka dengan Bulan. Tapi, ibu hanya bermimpi memiliki menantu yang tidak ada di dirinya. Sekali pun ibu sama sekali tak menyangka jika Bulan seperti ini padamu, Pram. Sungguh, Ibu juga sangat sakit mendengar ini semua. Ibu akan selalu ada bersama mu, Pram.” tutur Usi yang sangat hancur hatinya.
Ingin rasanya ia memaki Bulan, namun waktu belum mempertemukan keduanya. Bahkan Pram sudah mengatakan jika ia mengusir Bulan dari rumah.
Berbeda keadaan pada jalanan yang mulai padat dengan kendaraan mewah milik para pekerja yang hendak pulang ke rumah mereka. Kini, Bulan berjalan kaki tanpa tujuan.
“Sudah malam, aku sangat lapar. Apa yang harus ku lakukan sekarang? Kemana aku harus pergi?” pertanyaan Bulan terdengar sangat menyedihkan.
Bergantung hidup dan mengabdi pada sang suami, membuatnya jauh dari orang-orang mau pun temannya. Kini ia merasakan ketika seorang diri, tak ada yang bisa membantunya atau ia mintai tolong. Satu-satunya orang yaitu Pram. Namun, sakit yang Bunga rasakan membuat wanita hamil itu bertekad tak akan memberi ampun suaminya.
“Kamu akan menyesal, Mas. Kamu akan menangis melihat anakmu ini lahir tanpa bisa kamu sentuh.” Itulah sumpah Bulan pada Pram sejak ia memutuskan untuk benar-benar pergi dari kehidupan sang suami.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
abu😻acii
ayo bulan tante online mendukung mu😂
2023-06-07
1
Erna Riyanto
baru sampai sini udh ikut nyesek.....yg kuat ya bulan....tinggalin aja si Pram....bikin nyesel udh ragu sm bulan.....bikin nyesel pas tau semua karena ulah kelg nya sendiri
2022-11-25
0
GapLEk,thiwul
ayo bangkit bulan,di luar masih banyak orang baik dan tulus,,semoga ketemu orang baik lebih kaya dan berkuasa,,atau pergi ke luar negri💪💪💪
2022-11-24
1