Mendapat Pertolongan

Wajah sendu sosok pria yang tengah duduk di kursi penumpang pesawat memejamkan matanya sejenak. Rahangnya mengeras menahan sakit yang coba ia lupakan.

“Semua jauh dari impianku saat kita menikah, Bulan. Mengapa pernikahan ini harus berakhir seperti ini?” Tangannya mengusap kasar wajah sembari menunduk. Tak perduli jika tubuhnya berguncang merasakan pesawat sudah melaju hendang terbang ke atas awan.

Yang ada di dalam pikirannya hanya ingin ketenangan. Berharap berlibur beberapa hari membuat Pram akan melupakan sakit dan kembali fokus bekerja. Bahkan saran itu di berikan dari sang opa langsung. Dengan ketidak berdayaannya, Pram hanya pasrah menurut.

Hari yang berlalu begitu cepat memisahkan kedua insan yang masih saling mencintai. Nyatanya tak semudah keputusan untuk pisah.

Di sini Bulan yang sejak malam berusaha menguatkan hati dan meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia baik-baik saja. Nyatanya tak sesuai harapannya.

Tak mendapatkan tempat berteduh sejak semalam, ia memilih duduk menangis di depan ruko yang baru saja akan di buka pagi ini.

“Mba! Mba, tolong yah jangan di situ. Rukonya sudah mau buka.” Seorang pria tua tengah memegang kunci ruko usai memarkirkan kendaraan roda duanya.

Secepat kilat Bulan pun mengangguk dan meminta maaf. “Iya, Pak. Maafkan saya.”

Melangkah tanpa tenaga, perut yang berisi janin kecil itu membuatnya merasa sangat mual. Di tambah sejak malam ia belum mengisi perutnya.

“Ya Tuhan…kemana aku harus pergi? Aku pikir kisahku akan sama seperti orang-orang di tv pergi dan mendapatkan pertolongan orang lain. Semalaman aku duduk tanpa tidur tak ada juga yang menolongku.” keluhnya hampir putus asa.

Tak tahu kemana harus melangkah dan memulai hidupnya. Berjalan terus berjalan, pandangan mata Bulan tertuju pada wanita paruh baya yang tengah berdagang bubur ayam. Suasana pagi di kota itu tentu menjadi waktu yang tepat untuk jualan bubur ayam.

Bulan menunduk memegang perutnya yang terasa sangat perih. Pelan ia mengusapnya. “Sayang, bantu Ibu berdoa yah? Supaya kita bisa makan bersama.” Air mata Bulan jatuh.

Kehidupannya sejak malam tadi benar-benar di luar dugaan. Bulan tak menyangka bahkan untuk makan pun ia tidak bisa membelinya.

“Permisi, Bu.” sapa Bulan dengan sopan.

“Ada apa, mba? Beli bubur ayam yah?” Senyuman di wajah penjual bubur itu surut saat melihat Bulan menggelengkan kepala.

“Bu, saya boleh gadaikan handphone saya ini buat makan? Nanti siang saya tebus setelah jual cincin emas ini?” Mendengar ucapan Bulan dan melihat ponsel mahal di genggaman Bulan serta cincin berlian di tangan mulus itu, perasaan ibu penjual bubur sontak tersentuh.

Jelas terlihat bagaimana pucatnya wajah Bulan pagi ini.

“Sini duduk, mba mau pakai semuanya atau ada yang nggak di pakai ini bubur ayamnya?” Tanpa menjawab, ibu itu sudah mempersilahkan Bulan.

Merasa mendapatkan pertolongan, Bulan sampai menggenggam tangan wanita itu. “Terimakasih yah, Bu? Terimakasih saya akan tebus handphone ini siang nanti. Saya janji, Bu.”

“Sudah, jangan bahas itu. Yang penting mba makan saja dulu.” Ujar wanita paruh baya sembari mengusap punggung tangan Bulan.

Saat menunggu, Bulan berkali-kali mengucap syukur telah bertemu dengan orang baik.

“Sayang, kita akan makan. Kamu pasti senangkan? Ibu janji, kita akan hidup layak dengan usaha Ibu. Tapi usaha apa yah?” Bulan termenung memikirkan sesuatu.

Sungguh pengalaman bekerja pun ia tak punya. Lamunan Bulan buyar kala melihat semangkuk bubur ayam terhidang di depannya.

“Ayo di makan? Kenapa sampai harus gadaikan barang begitu? Tidak baik, Mba. Nanti jadi kebiasaan. Apa kabur dari mamah papahnya?” Pertanyaan ibu itu terlontar begitu saja saat melihat Bulan yang masih cantik dan muda. Serta pakaian yang bagus.

Bahkan cincin di jarinya sangat berkilau. Tentu saja sudah bisa menjelaskan dari keluarga mana wanita ini.

Pelan Bulan menggeleng lirih. “Saya bukan kabur, Bu. Saya di usir suami saya.” Tiba-tiba saja telinga Bulan berdengung sesak menyebut sang suami.

Ingatannya bagaimana suaminya sendiri meragukan kehamilannya saat ini, sangat menyakitkan rasanya.

“Hah? Di usir? Ya Allah kasihan. Terus tujuannya mau kemana, Mba?” Pertanyaan ibu itu di jawab gelengan kepala oleh Bulan.

Helaan napas tampak wanita itu keluarkan.

“Sepertinya Mba adalah jawaban doa Ibu semalam.” Ucapan itu membuat Bulan bertanya-tanya dalam hati. Matanya menatap wanita di depannya.

“Ibu punya anak perempuan di rawat di rumah sakit. Ibu bingung gerobak bubur satunya kan biasa dipegang anak ibu itu. Tapi berhubung dia sakit, ibu nggak tahu harus pindah tangan ke siapa? Nyari orang susah buat di percaya resep bubur keluarga. Mba mau gantiin anak Ibu?” Senyuman di wajah Bulan tiba-tiba saja merekah mendengar tawaran yang tak ia sangka-sangka.

Cepat ia menganggukkan kepalanya. “Bu, benar? Ibu percaya sama saya? Kita kan baru pertama ketemu?” ujar Bulan sangat tidak percaya. Rasanya ini seperti mimpi.

“Orang yang di sakiti, pasti tidak akan tega menyakiti oranglain.” Jawaban penjual bubur sontak meneteskan air mata Bulan seketika.

“Dedek, kita dapat malaikan penolong. Ibu senang akhirnya Allah kasih kita jalan untuk bertahan hidup.” Terlalu senang sampai Bulan tak lagi bergumam. Ia terang-terangan mengatakan rasa bahagianya pada sang anak.

Tangannya terus mengusap perut rata itu.

“Mbanya hamil? Astagfirullah. Suaminya ngusir mba di saat hamil seperti ini?” Wajah prihatin sang wanita itu jelas terlihat saat mengetahui keadaan Bulan yang sebenarnya.

Di tengah-tengah perbincangan keduanya, tiba-tiba ada pembeli yang datang.

“Bu, bubur ayamnya tanpa kuah dua di bungkus. Satunya lagi pakai kuah.” Segera ibu itu bergegas menyiapkan pesanan.

Tak mau membuang kesempatan, Bulan berdiri.

“Bu, biar Bulan bantu.” ujarnya.

Bulan bagian membungkus dan melengkapi bumbu di bungkusan kecil. Sementara ibu penjual bubur itu bagian mencampurkan bubur serta pelengkap lainnya dalam plastik lalu memberikannya pada Bulan.

Tak terasa pagi itu mereka menyelesaikan penjualan dengan berdua. Hingga waktu sudah menginjak pukul sepuluh. Artinya waktu jualan bubur sudah usai.

“Masih ada yang sisa itu, Bu? Kok sudah pulang?” tanya Bulan melihat wadah penjualan masih ada cukup untuk lima mangkok.

“Nggak apa-apa. Biasa juga lebih banyak dari ini kok. Tapi sudah lumayan hasilnya. Sisanya kita bagikan sama orang-orang pinggir jalan nanti.” Sang ibu penjual bubur tersenyum.

Keduanya tampak bersiap pulang, Bulan membungkus bubur untuk di bagikan.

“Jadi nama kamu Bulan yah? Nama yang indah.” celetuk ibu itu.

“Hehee terimakasih, Bu. Tapi nggak seindah kehidupannya kok.” Bulan merasa lucu dengan ucapannya barusan.

“Kalau nama Ibu, Bu Rini. Kamu terlalu malu sampai nggak berani nanya ibu yah?” Bu Rini terkekeh melihat Bulan mengangguk cepat.

“Iya, Bu. Rasanya saya menebalkan wajah terlalu malu sama Ibu.”

Dari arah jalan, tak ada yang sadar jika seorang wanita tampak memicingkan matanya penuh akal jahat.

“Oh jadi dia di sini?” tuturnya sembari mengamati Bulan dari jauh.

“Sepertinya Nyonya Bulan sedang sarapan, Nyonya.” Sang supir berkata berdasarkan dugaannya.

“Kamu kalau tidak bisa meneliti, diam saja. Bagaimana bisa sarapan seakrab itu sampai membantu melakukan banyak hal? Ini pasti ada apa-apanya. Wanita itu tidak boleh bahagia di atas penderitaan anak ku.” Geram wanita yang tanpa sengaja melihat sosok Bulan tadi. Dia adalah Usi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!