Samar wajah tampan pria yang tengah emosi membuat Bulan memanggil lirih.
“Mas Pram…” tuturnya memegang kepala dan membuka lebar matanya.
Sayangnya usai memukuli pria itu Pram justru tak lagi mengatakan apa pun. Ia begitu sangat malu dan menyeret paksa tangan Bulan keluar dari hotel.
“Pram! Pramudya!” Panggilan sang oma pun tak lagi Pram hiraukan. Ia benar-benar malu melihat keadaan di kamar hotel. Wajah tampak pria itu benar-benar merah penuh kobaran api di dalamnya.
“Sssh aw sakit, Mas.” pekik Bulan yang meminta di lepaskan tangannya oleh sang suami.
Tak menghiraukan, justru Pram menghempaskan tubuh istrinya ke dalam mobil. Ia melajukan kendaraan roda empat itu dengan sangat laju. Beberapa kali Bulan tampak berteriak. Meski ia tahu semua akan percuma.
Di tengah paniknya Bulan, wanita itu mulai merasakan sesuatu dalam tubuhnya. “Mas hentikan. Aku takut.” Pekiknya ketakutan jika sampai kecelakaan.
Tak ada jawaban dari Pram. Mobil terus melaju bahkan saat tiba di depan gerbang rumah. Begitu tak sabaran, Pram mengklakson panjang penjaga gerbang agar cepat di buka.
Memarkirkan mobil pun ia begitu sembarangan. Pram benar-benar marah. Ia menggenggam kuat dan menyeret kembali tangan Bulan masuk ke dalam kamarnya.
“Kamu benar-benar memalukan, Bulan!” Teriaknya menghempas tubuh sang istri ke atas tempat tidur itu.
Bulan meneteskan air mata, ketakutan dan perlakuan kasar suaminya membuatnya sadar dari gairah yang menguasai tubuhnya.
“Mas, aku…”
“Apa? Hah! Sejak kapan kamu melakukan ini semua? Sejak kapan? Kenapa kamu mempermalukan aku, Bulan? Di sana ada keluarga besarku!” Pramudya menghantamkan kepalanya di tembok kamar.
Tak tahu harus mengambil keputusan apa saat ini. Ia pun benar-benar sangat malu malam ini. Masih terngiang di ingatannya bagaimana Bulan mendesah bersama pria itu.
Air mata Pram menetes, hatinya sangat sakit di permainkan seperti ini. Wanita yang selama ini ia percaya dan cintai justru membuatnya harus menerima semua perlakuan yang memalukan itu.
Tak sampai di situ, belum sampai beberapa menit mereka bertengkar. Tiba-tiba ketukan pintu di depan kamar terdengar.
“Nyonya, permisi.” Suara pelayan mengetuk pintu kamar.
Keluarlah Pram dengan dada yang menahan gemuruh. “Ada apa, Bi?” Tanyanya dengan wajah dingin.
Sang pelayan tak berani menatap majikan hanya mampu memberikan sebuah paperbag.
“Ada paket barusan, Tuan. Untuk Nyonya Bulan.”
Tanpa bersuara, Pram mengambil paper bag itu dan menutup pintu. Entah mengapa hatinya tergerak untuk membuka dan melihat apa isi paket itu.
Di sudut kasur sana Bulan hanya menangis. Ia sendiri tidak tahu apa yang terjadi barusan.
“Aku benar-benar tidak tahu, Mas. Aku hanya melihat wajah kamu yang bersamaku tadi. Aku tidak tahu siapa pria itu.” Tangisnya berusaha menjelaskan.
“Aku merasa tubuhnya sangat menginginkan sentuhan kamu, Mas. Sumpah aku tidak berbohong…”
“Brengsek!” Umpatan kesal Pram sontak membuat Bulan menghentikan ucapannya. Ia terkejut saat sang suami melemparkan kain yang berbentuk baju sangat tipis berwarna hitam lengkap dengan dalaman transparan di sana.
“Sejak kapan, Bulan? Sejak kapan kau menghianati aku?” Amarah Pram semakin meluap.
Disana ia meremas kertas yang bertuliskan, ‘aku rindu dengan gaun ini. Bisakah kau memakainya kembali untuk mengenang malam indah itu?’
Jika di katakan bodoh, yah Pram adalah pria yang paling bodoh jika menyangkut cinta. Besar rasa sayangnya pada Bulan membuat pria itu bahkan tak bisa lagi memakai logika untuk berpikir. Semua yang ia gunakan hanya amarah karena cemburu.
“Mas, apa ini? Apa maksudnya? Baju siapa ini, Mas?” Kurangnya komunikasi dalam pertengkaran menyebabkan keduanya sulit menyelesaikan masalah.
Bulan mendekati sang suami. Ia berusaha untuk menyelesaikan kesalah pahaman. “Mas, kita bicarakan baik-baik. Aku yakin ini salah paham. Ayo Mas,” ajak Bulan yang ingin menyentuh tangan suaminya.
Namun, Pram langsung menepis tangan sang istri. Ia meninggalkan kamar dan mengunci kamar itu dari luar.
Pram pindah menuju kamar tamu. Di sana ia duduk berusaha menenangkan diri. Keluar dari rumah menuju tempat yang tidak semestinya bukanlah pilihan Pram untuk menenangkan diri. Ia hanya butuh tempat yang tak ada Bulan. Menurunkan emosi mungkin jalan satu-satunya.
Di kamar ini, Bulan tampak menangis. Ia bingung, mengapa semua terjadi dengan kilat tanpa ia tahu sebabnya.
Ingatan kembali pada keadaan di hotel sebelumnya.
“Permisi, Nona.” Wanita dengan seragam hotel itu mengetuk pintu.
Kening Bulan mengernyit mendengarnya. Ia berjalan membuka pintu dan bertanya, “iya ada apa yah?”
“Ini pesanan untuk cemilan dan minumannya.” Kening Bulan mengernyit heran.
“Saya tidak ada memesan apa pun?” tutur Bulan tanpa curiga sama sekali.
“Maaf kami hanya menjalankan perintah. Sebab tadi ada telepon yang menyebutkan nomor kamar ini, Nyonya.” Jelas wanita itu.
Tanpa menaruh curiga sedikit pun, Bulan pun mengambil dan menikmati makanan ringan itu sembari menonton.
“Mas Pram sangat perhatian. Mereka pasti makan enak di sana, makanya pesanin aku makan juga.” Senyuman Bulan pun mengembang.
Ia mulai menghabiskan hingga beberapa menit setelah memakan, tubuhnya terasa menegang. Ada gejolak yang terasa ingin segera ia tuntaskan saat itu juga.
“Ada apa yah? Kok aku merasakan ingin hal itu?”
Samar-samar Bulan mulai bergerak di atas tempat tidur. Pelan ia turun dari ranjang dan duduk di sofa. Menenangkan diri adalah pilihannya. Sayang, rasa gairah itu semakin menjadi. Hingga pikiran Bulan mulai sulit di kondisikan. Kehaluan yang ia rasa semakin tinggi.
“Ehem.” Deheman seorang pria yang membuka pintu dengan card serep membuat Bulan menatap wajah itu mirip dengan suaminya.
“Mas…” panggil Bulan lirih. Segera ia merentangkan tangan kala melihat sosok pria mendekatinya.
Di sanalah di sofa itu keduanya saling memeluk dan Bulan tanpa bisa mengendalikan suara ia mendesah nyaring.
“Ada yang tidak beres.” gumam Bulan menerka setelah mengingat semuanya.
Ia bingung apa penyebabnya sebab ia sendiri tak memilik pengalaman akan hal itu.
Satu malam keduanya habiskan dengan saling menenangkan diri masing-masing. Sekali pun Bulan tak berusaha membuka pintu kamar yang Pram kunci.
Dan sejak kejadian saat itu, setiap kali Bulan berusaha menjelaskan. Pram selalu menghindar. Meski sangat marah, Pram tak ingin menceraikan Bulan. Ia sangat mencintai istrinya.
Terlebih komitmen pria itu sangatlah tinggi. Menikah sekali dalam hidupnya tanpa ada kata cerai.
Dua minggu berlalu.
Sepulang dari kantor, Pram masuk ke rumah dan menuju kamar tamu. Tubuhnya sangat lelah.
“Tuan, saya siapkan makan malamnya sekarang?” Tanya pelayan yang melihat sang tuan sangat lelah.
Ia bertanya lebih dulu sebab Pram biasanya meminta makan di tengah malam usai menyelesaikan pekerjannya.
Bergadang selama dua minggu lebih menyibukkan diri dengan pekerjaan membuatnya sering lapar tengah malam.
“Tidak usah, Bi. Nanti malam saja. Saya mau istirahat dulu.” ujar Pram berniat masuk ke kamar tamu.
“Em Tuan…” pelayan itu menunduk takut-takut menyampaikan sesuatu. Pram menghentikan langkahnya.
“Ada apa, Bi?” tanyanya.
“Nyonya Bulan…” belum sempat pelayan mengatakan, Pram sudah lebih dulu menyela.
“Jika dia baik-baik saja, biarkan saja mau makan atau tidak, Bi. Dia sudah dewasa lapar pasti akan makan.” ketus Pram menjawab.
“Bukan itu, Tuan. Sejak siang tadi Nyonya muntah-muntah, Tuan. Bibi takut Nyonya kenapa-kenapa.” Mendengar kata muntah-muntah, wajah Pram mendadak kalut.
Ia sangat takut sang istri sakit parah. Segera tas kerja ia taruh sembarang dan Pram langsung menuju kamar utama.
“Bulan,” panggil Pram setengah panik.
Matanya membulat penuh melihat sang istri sudah pucat di tempat tidurnya. Bulan begitu lemah berbaring dengan selimut menutup tubuhnya.
“Mas,” lirihnya tak kuasa menahan sakit.
“Aku nggak bohongi kamu. Aku cinta sama kamu, Mas.” Kata terakhir yang Pram dengar sebelum Bulan menutup mata tak sadarkan diri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments