Sesuai keputusan sepihak dari Pramudya, kini dengan berat hati Bulan terpaksa mengikuti permintaan sang suami untuk ikut menghadiri acara keluarga malam nanti.
Mobil yang membawa keduanya pulang dari kantor akhirnya tiba di halaman rumah milik Bulan dan suaminya. Tak ada percakapan selama perjalanan ke rumah sejak ucapan Pram tak bisa Bulan tawar.
“Semoga saja perasaanku bukan pertanda buruk untuk malam ini. Sungguh aku sangat ingin menghindar dari keributan. Tapi apa dayaku, Mas Pram suamiku. Bagaimana aku membantah suamiku?” batin Bulan bermonolog sepanjang ia melangkah memasuki kamar.
“Bulan!” Panggilan Pramudya membuyarkan lamunan wanita itu. Bulan terhenti dari langkah dan menoleh ke belakang dimana sang suami berada.
“Ada apa, Mas? Apa butuh sesuatu?” Dengan patuhnya Bulan bertanya. Inilah yang selalu membuat Pram tak bisa untuk dingin pada sang istri. Mahkluk di depannya tercipta begitu lembut sehingga selalu mampu menyapu kerasnya hati pria itu.
Pram tersenyum. “Siapkah air di bathup untuk kita yah? Kamu tidak lelahkan?” Pertanyaan Pram seketika membuat senyuman mengembang di wajah Bulan.
Dengan penuh pengertian, Bulan tersenyum dan mengangguk. “Iya, Mas. Sebentar aku siapkan yah?”
Hingga beberapa menit Pram menikmati secangkir teh yang Bulan buatkan sebelumnya, kini akhirnya suara sang istri terdengar memanggil.
“Mas, sudah siap airnya.” tutur Bulan.
Keduanya pun menikmati mandi sore itu berdua tentu dengan beberapa tahap yang cukup menguras tenaga. Inilah cara Pram untuk terus membuat pernikahan mereka yang sunyi dari tangisan anak terasa selalu hangat dan penuh cinta. Di tengah letih yang ia rasakan, memanjakan tubuhnya serta Bulan sangat menjadi prioritas untuk pria itu.
Erangan panjang tampak mengakhiri permainan keduanya di kamar mandi.
“Pram, akhirnya kamu tiba juga.” Sapaan hangat dan senyuman mengembang dari wanita yang tak lain adalah Hawa. Kakak kandung Pram.
Namun, senyuman wanita itu surut di detik berikutnya kala matanya memandang sosok di sebelah sang adik.
“Jangan ribut, Kak. Aku yang memaksa Bulan untuk ikut.” ujar Pram mengerti bagaimana keluarganya semua tak menyukai Bulan selama ini.
“Pram, ini acara khusus keluarga. Kamu membawa orang luar tanpa izin dari Ibu.” ujar Hawa lagi memperingati. Meski berdalih dengan menggunakan nama ibu, sebenarnya Hawa adalah orang pertama yang sangat tidak menyukai Bulan.
“Hawa…dimana? Oh Pram? Kamu sudah datang? Baru saja Ibu ingin kakakmu menghubungi kamu.” Usi Dewi adalah ibu dari Pram yang selalu tampil dengan penampilan sanggul modern. Kulit yang masih kencang karena perawatan jutaan di wajahnya sungguh menampilkan kecantikan yang awet muda.
Tanpa berani menyapa, Bulan hanya bisa menundukkan kepalanya takut. Pram tahu istrinya begitu ketakutan. Itulah sebabnya ia pun menggenggam tangan Bulan.
“Bu, Aku hanya bisa hadir sebentar. Bulan sedang tidak sehat.” ujar Pram beralasan.
Tak ingin terlihat buruk di depan sang anak, Usi hanya mengangguk dan berkata. “Apa tidak biarkan saja Bulan istirahat di kamar hotel ini. Kamu bisa tetap lanjutkan acara keluarga kita, Pram. Ibu tidak enak jika kau pergi sebelum opa dan oma membubarkan acara ini. Kau tahu kan posisi Ibu di keluarga ayahmu?”
Niat Pram ingin datang sebentar akhirnya membuat pria itu tampak berpikir. Yah, ia tidak lupa jika oma dan opanya begitu tidak baik pada sang ibu semenjak kepergian sang ayah beberapa tahun lalu.
Kini pandangan Pram tertuju pada wanita di sampingnya. Rasanya serba salah, namun meninggalkan Bulan istirahat di kamar rasanya bukan hal yang buruk. Bulan akan aman pikir Pram.
“Baiklah, Bu.” tutur Pram patuh. Setidaknya Bulan sudah ia gandeng di acara keluarga, sekedar menampakkan wajah sudah cukup menurutnya.
Senyuman terukir di wajah Usi, ia lega sang anak masih mau mendengarkan tutur katanya. Namun, sebenarnya apa yang ia katakan memang benar. Kedudukan Pram sangatlah berpengaruh dalam melindungi sang ibu.
“Sayang, ayo.” Genggaman tangan Pram menuntun sang istri menuju sebuah kamar yang Pram sudah pilih untuk istrinya sekedar merehatkan tubuh.
Setibanya mereka di kamar hotel, mata Bulan tampak mengembun. Ia mendapat pelukan dari Pram dan usapan di kepalanya.
“Mas tepati janji kan? Tidak akan membiarkan kamu di tindas mereka. Sekarang biarkan Mas melindungi nama Ibu, yah?” ujar Pram penuh permohonan.
Bulan tidak bisa menolaknya. Ia tahu sedikit banyak tentang keluarga sang suami yang begitu pelik itu.
“Mas, jangan minum yah? Aku takut Mas kenapa-napa. Dan aku tidak bisa masuk ke sana pasti tanpa Mas.” Bulan tahu Pram sangat tidak biasa dengan minuman. Itu sebabnya ia takut jika suaminya lepas kendali. Dan menimbulkan masalah yang tidak seharusnya terjadi.
“Tidak, Bulan.”
Keduanya pun terpisah saat itu juga. Langkah kaki Pram melebar menuju ballroom hotel.
Acara yang tampak senyap kala pria tua di depan sana sudah berdiri membuka suara.
Pandangan Pram bertemu dengan sosok Pria yang tak lain adalah sang opa.
“Opa senang sekali kita bisa berkumpul kembali malam ini. Opa berharap kalian tetap akan bersatu meski kelak opa dan oma tak lagi ada di sini. Tetaplah jalin tali persaudaraan kalian anak cucu opa dan oma.” Ucapan yang terdengar serak itu membuat seluruh keluarga besar tampak tersenyum.
Mereka sangat senang melihat acara yang khusus keluarga besar ini berjalan dengan lancar. Tak ada satu pun dari mereka yang tidak hadir.
Hingga acara makan malam pun mulai di langsungkan.
“Pram,” panggilan dari seorang wanita yang tak lain adalah kakak dari almarhum ayah Pram.
“Tante Siti.” Sapa Pram dengan wajah datar.
“Mana istri kamu? Bukannya tadi ada sama kamu yah?” tanya wanita paruh baya itu.
Pram sudah menduga, Bulan akan menjadi pusat perhatian keluarganya yang sangat tak menyukai Bulan. “Dia istirahat di kamar, Tante. Badannya sedang tidak enak.” ujar Pram beralasan.
“Tidak enak badan atau tidak enak melihat wajah keluarga suaminya ini? Kamu itu harus tegas dengan istrimu, Pram. Jangan seperti ayahmu, lihat ibumu bahkan senang-senang saja selama ayahmu tidak ada.” Sontak kedua mata Usi membulat mendengar sindiran sang ipar.
Belum usai percakapan mereka, Hawa datang dengan membawa seorang wanita yang di dorong kursi rodanya.
“Ini Oma, Pram. Pram, Oma katanya ingin bicara sama kamu. Aku pergi dulu ke toilet.” Hawa pun pamit usai menyerahkan sang oma pada Pram.
“Oma,” ujar Pram berlutut di depan sang oma yang tampak tak bisa lagi melihat.
“Pram, apa sudah ada kabar untuk cicit Oma? Dimana istrimu?” Pertanyaan Oma membuat Pram meneguk salivahnya kasar.
“Mah, Bulan tadi di bawa istirahat. Pram hadir sendiri sudah cukup kan?” Usi yang menjawab sontak membuat sang oma bersuara ketus.
“Diam kamu! Saya tidak bicara sama kamu. Menjauh dari saya!” Ucapan Oma membuat hati Usi dan Pram perih rasanya.
Terlebih Pram yang sangat menghargai sang Ibu. Namun, Oma jauh lebih harus ia hormati. Ibu dan Oma sama-sama wanita yang penting dalam hidup Pram.
“Maaf Oma, Bulan di…” Belum sempat Pram menjelaskan, Oma sudah bersuara lagi.
“Oma ingin bertemu dengan cucu menantu Oma. Oma sangat ingin memberitahu istrimu agar cepat memberikan cicit pada Oma.” Sontak wajah Pram berubah bahagia.
Akankah ini artinya hati sang oma sudah terbuka untuk Bulan? Sungguh Pram begitu senang mendengarnya. Mungkin perihal cicit membuat wanita buta itu harus menerima cucu menantunya.
“Baiklah, Oma. Biarkan Pram menjemput Bulan.” tutur Pram lagi namun urung lantaran sang oma mencegah.
“Antar Oma menemuinya. Di sini tidak ada yang menyukai istrimu, Pram. Oma harus bicara dari hati ke hati. Usia Oma tak lama lagi, rasanya tak ada waktu yang panjang untuk menunggu cicit dari kalian.” Usai mengatakan hal itu, akhirnya Oma di bawa oleh Pram menuju kamar dimana Bulan berada.
“Emh…ssshh.” Samar-sama Pram mendengar suara dari dalam saat mendorong pintu yang rupanya tidak tertutup rapat.
Kening Pram mengernyit bersamaan dengan oma yang mengerutkan alisnya.
Pelan semakin pelan Pram melebarkan daun pintu dan mendorong kursi roda sang oma.
Betapa terkejutnya Pram mendapati pemandangan di depannya. Mata pria itu membulat sempurna dan keringat di keningnya berjatuhan bersama air mata yang turut menetes.
“Bulan!” Teriakan Pram menggema di ruangan hotel itu.
“Hah?” Sontak Bulan yang tengah berbaring di sofa dengan tubuh pria di atasnya tampak menutup baju yang terbuka beberapa kancing.
Ia mendorong kuat pria yang di atasnya dan menatap ke sumber suara.
“Baj*ngan!!” Pram berlari mendekat dan melayangkan tangannya dengan sangat kasar tanpa henti.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
Muzie✰͜͡v᭄👻ᴸᴷ㊍㊍
Wah bulan di jebakkk nih,,,,kalau pram langsung percaya dan meragukan bulan bener pram laki-laki bodoh,,, kasihan bulan
2022-11-23
4