Nasib Pilu

Sarapan pagi telah tersedia dengan sederhana. Jika biasa menu sarapan yang terhidang beberapa roti panggang dan selai bermacam rasa, kini berbeda. Demi menghemat pengeluaran, Alea memasak sayur dan menggoreng tempe untuk sekaligus di makan hingga malam.

“Senja, Mami masak seadanya. Kalau kita sarapan roti takutnya akan banyak pengeluaran sebab cepat lapar. Tidak apa-apa yah?” Mengatakan itu saja air mata Alea sampai jatuh.

Tumis buncis di padukan dengan wortel, tempe goreng berbalut tepung racik. Tak pernah ia bayangkan akan makan seperti ini. Bukan gengsi, namun kehidupan mereka yang berkecukupan sejak lama membuatnya tak tega pada sang anak.

Tersenyum, Senja menjawab. “Wah Mami campurkan dengan wortel? Itu sangat banyak vitaminnya kan, Mi? Tentu saja tidak apa-apa. Lagi pula aku juga bosan sarapan roti.” Sekuat mungkin ia menahan sesak di dadanya.

Demi menghibur sang ibu, Senja terus mengembangkan senyumnya. Keduanya seakan terus bermain drama pura-pura bahagia demi menguatkan satu sama lain.

“Dimakan lah, Nak. Setelah itu Mami mau ke tempat Narti atau tetangga lain untuk nanya lowongan kerja.” Raut wajah Senja berubah sedih.

Inilah hal yang paling ia benci. Membiarkan sang ibu bekerja di usia yang tak muda itu.

Namun, jika tidak bekerja mereka mau makan apa? Bahkan tabungan untuk sewaktu-waktu operasi pun mereka masih kurang. Dengan wajah bersalah Senja menikmati makan.

Ingin rasanya bekerja, namun keadaan seperti ini Senja ragu. Ia takut justru akan membuat sang mami susah jika terjadi sesuatu padanya.

“Mami hati-hati yah? Jangan pernah tinggalkan aku sendiri.”

Keduanya menikmati sarapan yang hampir menjelang siang. Usai sarapan, Alea bergegas untuk pergi. Ia tak lagi mengunci rumah sebab sudah menitipkan sang anak pada Narti tetangga sebelah rumahnya.

“Bosan duduk saja, apa aku bersih-bersih depan rumah saja? Tapi bagaimana aku melihat yang kotor dan bersih?” Sungguh miris rasanya jadi Senja.

Masa bodoh, ia memilih untuk keluar dan melepas sandal. Halaman rumah yang tidak begitu luas membuatnya penasaran. Kaki tanpa alas ia gunakan menginjak tanah bertanam rumput jepang.

“Sepertinya banyak kotoran.” gumamnya mulai berjongkong memunguti kotoran yang ia rasa pasti sangat mengganggu.

Tanpa sadar tumbuhan dimput yang liar beberapa ia turut cabut dengan tangan.

Larut dalam pekerjaan, Senja pun bersenandung ria. Senyum di wajahnya tampak berseri. Tak ada kesedihan yang ia rasakan seperti sebelumnya. Satu jam telah berlalu namun rasanya ia belum puas. Segala sudut halaman ia raba hingga bersih.

Tak sadar dari sudut lain, Senja bernyanyi. Suara itu mengundang seorang pria yang baru saja ingin mencuci motornya terfokus pada wanita cantik.

“Heh heh matanya di jaga. Kamu mau tunangan minggu depan kok jelalatan sih?” Celetuk wanita tetangga sebelah yang tak lain adalah Narti.

Matanya mengikuti fokus sang anak. “Apa sih, Bu?” tanya pria yang cemberut.

“Tobi, kamu jangan aneh-aneh yah? Ingat tunangan itu bukan main-main.” Celetuk Narti lagi.

“Iya, aku tahu. Ibu ini kok negatif saja pikirannya sama anak sendiri. Itu suaranya bagus, Bu.” ujar Tobi jujur.

Sayangnya pujiannya tak membuat sang ibu percaya begitu saja. “Halah, suara apa wajahnya? Sudah sana cuci motor. Ibu mau kesana.” Tunjuk Narti pada sosok wanita cantik yang berjongkok.

Melenggang pergi, Tobi pun terus memperhatikan sang ibu di sana. “Siapa sih itu? Kata ibu tetangganya teman lamanya dulu. Masa iya teman lama umurnya beda jauh banget. Apa jangan-jangan perempuan itu pakai banyak perawatan pengawet muda? Hah kasihan ibu tuanya nggak bisa di tunda.”

Bukan mencuci motor, Tobi justru tertawa cekikikan meledek sang ibu. Mengira teman ibunya adalah Senja. Wanita yang awet muda nan cantik itu.

“Senja,” panggilan Narti membuat nyanyian Senja terhenti. Tangannya meraba tongkat ia letakkan di area tanah sekitarnya. Berdiri dan tersenyum.

“Tante Narti yah? Ada apa, Tante?” tanya gadis itu ramah.

“Kamu ternyata selain cantik suaranya bagus banget. Tuh anak Tante hampir hilaf liat kamu nyanyi.” Narti tertawa sementara Senja hanya tersenyum kecil malu.

“Oh ini kamu kalau bosan, mau keluar ajak anak tante saja. Mumpung masih di rumah nggak kerja. Kan kamu pasti pengen tahu sekitar sini kan? Tadi Tante sudah ngomong ke Mami kamu kok sebelum kerja.” ujar Narti jujur.

Ia tak tega jika Senja seharian hanya di rumah. Dan Alea setuju sebab ia tak ingin anaknya hanya meratapi kesedihan seorang diri di rumah.

“Em jangan Tante. Senja di rumah saja. Lagian rumah masih belum bersih benar.” Tolaknya lembut.

“Oh Senja, hai…aku Tobi. Anaknya temanmu. Bagaimana kalau nanti sore aku ajak keliling. Di kota kecil ini banyak tempat yang seru loh. Tenang aja bensin ku full kok, nggak ngaruh sama bbm yang naik.”

“Auw,” Tobi memekik kaget saat sang ibu mencubit pinggangnya. Namun, suasana receh itu membuat Senja merasa nyaman. Ia terhibur dengan tingkah Tobi.

“Baiklah, kalau sore bisa. Sepertinya ini sudah selesai nanti. Oh iya, Kak Tobi tolong lihatkan di bagian mana yang belum bersih?” Pertanyaan Senja membuat Tobi dan Narti menatap sekeliling mereka.

“Astaga, semuanya bahkan masih sama seperti semula.” Batin Tobi saat matanya mengedar.

Bukan bagian mana lagi, bahkan masih sangat kotor. Daun yang sudah lama menumpuk membuat tanah itu lengket dengan dedaunan dan rumput-rumput liar.

Ibu dan anak itu saling pandang dengan sedih, sementara Senja masih tersenyum memegang tongkatnya.

“Em, tinggal di ujung sana. Biar aku yang mengangkatnya. Kau tarik rumput kecil itu saja.” Tobi bergerak cepat mengeruk dedaunan yang sudah hampir menyatu dengan tanah.

Pada akhirnya Narti pun turut membantu, rasa tak tega membuat mereka tanpa sadar telah membersihkan lingkungan itu dengan sangat bersih.

Setengah jam kemudian,

“Akhirnya selesai juga,” Senja meregangkan pinggangnya.

“Senja istirahatlah. Sudah siang, Tante dan Tobi pulang dulu yah?” ucap Narti lembut. Dan Senja pun mengangguk patuh.

“Jangan lupa nanti sore kita jalan-jalan yah?” sahut Tobi yang di angguki oleh Senja.

Di tempat yang berbeda.

Setengah hari sudah ia bekerja membersihkan rumah besar berlantai dua itu. Keringat penuh menetes di dalam baju yang ia kenakan. Tak terbiasa bekerja keras lagi membuat tubuh Alea sangat lelah.

“Tuhan berikan kekuatan untuk tubuhku. Aku tidak akan mengeluh dengan pekerjaan apa pun yang kau beri. Tapi tolong kasih hamba kekuatan. Hamba sangat ingin menyelesaikan semua pekerjaan ini dengan baik.” Matanya mengedar melihat rumah yang bersih mengkilat. Namun pakaian kotor dan setrikaan begitu banyak yang harus ia selesaikan.

Jam dinding sudah menunjuk angka 1. Artinya makan siang sudah ia lewatkan tanpa mengisi perutnya.

“Senja apa bisa mengambil makannya di dapur? Apa aku harus ijin pulang sebentar?” Air mata menetes saat mengingat sang anak di rumah sendirian.

Dengan modal nekad Alea bergegas mematikan setrikaan dan keluar. Di ruang keluarga tampak sepasang suami istri dengan wajah keturuan asing duduk menikmati film.

“Tuan, Nyonya.” Ucapan Alea terdengar sangat hati-hati.

Keduanya pun menoleh. “Ada apa?” tanya mereka tentu wajahnya sudah tampak ketus dan dingin.

Alea menunduk takut. “Saya minta ijin pulang sebentar, untuk memberi anak saya makan siang. Dia harus minum obat setelah itu saya kembali lagi.”

Tak ada jawaban yang Alea dengar. Namun di detik berikutnya asbak kaca sudah melayang di kaki Alea.

Suara kaca pecah berbentur keramik membuat Alea terlonjak kaget.

“Astagfirullah!” Teriaknya ketakutan. Air mata sudah jatuh dengan deras di wajah wanita paruh baya itu. Bahkan sakit luka di kakinya yang mengeluarkan darah tak lagi ia rasakan.

Terpopuler

Comments

Yasni Nellu

Yasni Nellu

sabar ya bu....

2022-12-31

0

Arie

Arie

😱😱😱😱😱😱😱😱😱😱😱😱

2022-11-26

0

Sheila Ahmad

Sheila Ahmad

majikan kamprett, gak punya hati

2022-11-25

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!