Tak Menyangka

Beberapa saat terjadi keheningan di depan kediaman Dewantara, hingga suara pria yang tak lain adalah papah dari Arya berjalan mendekat dan mengeluarkan suaranya.

“Alea, masuklah. Givanya?” Sorot mata ramah dari sosok yang bernama Riko Dewantara mendadak heran dan penuh tanya.

Matanya beralih pada satu benda panjang di genggaman wanita cantik itu. Mulutnya pun seketika terbuka lebar.

Segera ia pun menatap sekeliling dan meminta Alea dan Givanya masuk ke dalam rumah. Tak perduli bagaimana istrinya berdiri mematung.

“Mah, segera masuk. Papah tidak mau ada masalah.” Bisik Papah Riko pada Mamah Vivi.

Menurut dengan suami, Vivi pun masuk tanpa berkata apa pun lagi pada dua wanita yang berdiri di depannya.

Sedih rasanya Givanya mendapat sambutan tak sehangat biasanya. Namun, lantaran tak bisa melihat apa pun, Givanya hanya berusaha berpikir yang positif. Tentu, ia tahu bagaimana baiknya sang calon mertua padanya selama ini.

Tampak empat orang itu duduk di sofa ruang keluarga.

“Ehem.” Riko berdehem mencairkan suasana.

Alea tampak menata kata yang akan ia ucapkan. “Maafkan kami, Tuan Riko. Kami mengalami kecelakaan pada malam undangan anda dan keluarga. Itu sebabnya kami tak bisa hadir ke rumah ini.” Dengan tutur kata yang sopan, Alea mulai membuka suaranya.

“Kecelakaan? Jadi apa itu penyebab Givanya cacat? Apa Givanya buta?” Pertanyaan dengan kata yang kurang halus dari bibir Mamah Vivi sontak membuat dada Givanya mendadak sesak.

Sekali lagi wanita buta itu tak ingin lancang. Ia tetap bungkam menunggu percakapan selanjutnya antar orangtua.

“Iya, benar. Givanya buta akibat benturan kaca yang mengenai matanya.” Jawab Alea dengan memelankan suara. Sungguh berat rasanya mengatakan itu.

Sekuat tenaga ia mengusahan untuk mempersiapkan diri menerima segala kemungkinan terburuk setelah ini.

“Givanya, bagaimana bisa ini terjadi? Kamu tidak ingat bulan depan kamu dan Riko harus menikah? Undangan sudah siap di sebar, tetapi banyak pihak yang sudah tahu tanpa undangan itu sebab saya sudah mengundang mereka secara pribadi.” Kini Givanya bisa mendengar kata yang berubah, dari kata Papah berubah menjadi saya.

“Tidak, ini bukan pertanda buruk untuk hubunganku dengan Arya kan?” Itulah yang di ucapkan Givanya dalam hati.

“Maafkan Givanya, Pah. Givanya juga tidak ingin ini terjadi. Tapi Givanya akan usaha mencari donor mata secepatnya, Pah.” tutur Givanya dengan menunduk menahan tetesan air mata yang siap untuk jatuh.

Tuan Riko menyandarkan punggung di sofa dan menghela napasnya kasar. Pelan pria itu menggelengkan kepalanya kasar.

“Mencari donor mata tidak semudah yang kau pikirkan, Givanya. Keluarga Dewantara adalah keluarga terhormat dan sangat di kenal di mana-mana. Apa kau masih bisa mempertahankan nama besar Dewantara dengan cacat itu? Arya orang yang sangat di segani, apa jadinya Arya jika bersanding denganmu, bahkan untuk bekerja pun kau sudah tidak akan laris lagi, Givanya,” penuturan kasar Tuan Riko sungguh membuat darah dalam tubuh Alea mendidih.

“Cukup, Tuan Riko. Mengapa anda menghina anak saya yang justru sedang tertimpa musibah? Jika bukan undangan keputusan kalian sepihak malam itu, kami pun tak akan mengalami kecelakaan. Apa ini sifat asli kalian? Saya pikir kasih sayang kalian pada Givanya anak saya selama ini tulus.” Alea marah, ia sangat marah kedatangannya yang ingin membicarakan baik-baik dengan baeannya nyatanya tak sesuai harapan.

Givanya pun hanya bisa menangis kali ini, ia sendiri tak ingin hal ini terjadi padanya.

“Sebaiknya lupakan tentang pernikahan itu, Givanya. Kami dulu sangat senang Arya bersama mu, sebab nama Dewantara semakin besar berkat karirmu. Tetapi itu semua kini sudah lenyap. Jauhi Arya, dia berhak mendapatkan yang sempurna. Kami membutuhkan penerus nama Dewantara dari wanita yang tepat. Tentu di urus dengan wanita yang tak cacat.” Makin sakit hati Alea mendengar sang anak di rendahkan.

Ia bahkan menggelengkan kepala tak percaya. Keluarga yang selama ini begitu baik dan hangat padanya mau pun Givanya ternyata hanya seorang penjilat. Tutur kata yang manis hanya menutupi kebusukan mereka.

“Saya sangat menyesal memuji anda tiap kali bertemu. Sungguh saya sangat bersyukur menerima musibah ini, karena sampai kapan pun saya tidak akan sudi memiliki keluarga yang penjilat seperti kalian. Anak saya berduka kalian bahkan tak ada belas kasih sama sekali. Saya akan bicarakan ini semua dengan Arya.” Alea seakan mengancam dua orang di depannya.

“Oh jadi anda ingin menggunakan Arya untuk senjata anakmu itu? Ingat, saya tidak akan tinggal diam. Pernikahan mereka akan di batalkan. Saya tidak akan menerima sampai kapan pun menantu buta!”

Deras sudah air mata Givanya tanpa bisa berkata apa-apa. Baginya berdebat pun tak akan menyelesaikan masalah. Bahkan restu kini tak lagi ia genggam.

“Mami, kita pulang.” Givanya bangkit dari duduknya.

“Mamah, Papah, terimakasih atas semuanya yang selama ini Givanya dapatkan dari kalian. Givanya harap kalian ikhlas dengan kedekatan kita di masa lalu. Givanya sadar tidak pantas untuk Arya. Tapi satu yang perlu kalian tahu, Givanya begitu sangat mencintai anak kalian. Restu kalian tak ada lagi, maka Givanya akan pergi dari kehidupan Arya.”

Givanya mengusap air matanya dan pergi dari sana berkat bantuan tongkat kecil itu. Beberapa kali bahkan ia hampir menabrak kaki meja.

Alea sebagai ibu hanya bisa meneteskan air mata. Tatapan matanya begitu menyiratkan sakit yang mendalam.

Di dalam mobil, barulah Givanya melampiaskan suara tangisnya. Memeluk sang mami sungguh membuatnya tak bisa mengendalikan kesedihan itu lagi.

“Giv, tenanglah. Arya akan tetap menerima kamu, Nak. Mami yakin Arya pria yang baik dan tulus. Kita akan hubungi Arya, sayang.” ujar Alea mengusap lembut wajah basah sang anak.

Givanya menggelengkan kepala menolak. “Tidak, Mami. Givanya tidak ingin menentang restu mereka. Arya anak yang baik. Givanya tidak mau Arya membangkang hanya karena Givanya. Tolong Mami jangan beritahu apa pun Arya. Givanya ingin hidup tenang bersama Mami dulu.” tuturnya yang tampak putus asa.

Di seberang sana, Arya tengah menghubungi beberapa kali ponsel Alea. Sayangnya tak juga mendapatkan jawaban hingga pada panggilan kesekian kali, kening Arya mengernyit heran.

“Tidak aktif? Apa ponsel Mami habis batrai? Ah ada apa sih ini? Mengapa rasanya aku begitu gelisah?” Batin Arya menerka-nerka.

Ingin rasanya segera pulang jika tak mengingat pekerjaan sedang menumpuk di sini.

“Mah, Givanya sudah sampai di rumah belum?” Kini Arya bertanya pada Mamah Vivi pada sambungan telpon.

“Givanya? Memangnya ada apa, Ar? Belum ada nih. Mereka ngomong ke kamu mau kesini? Apa jangan-jangan bohong lagi?” Pertanyaan Vivi sedikit membuat pikiran Arya bertanya.

Tak biasanya sang mamah berucap sinis begitu mengenai calon menantu kesayangannya itu. Givanya adalah calon menantu yang kerap kali di sebut namanya di kalangan ibu sosialita sebab Vivi selalu bercerita bagaimana cantiknya Givanya yang kerap tampil di beberapa merk ternama. Televisi mau pun layar di bangunan-bangunan tinggi di kota mereka.

Terpopuler

Comments

Asnaini Abdullah

Asnaini Abdullah

anak pintar dan sholehah kamu Givanya

2022-12-25

0

Arie

Arie

👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍

2022-11-26

0

Kenzi Kenzi

Kenzi Kenzi

bener2 luar nya doank sayang,
....dlmnya mah.....no no.no.....

2022-11-23

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!